Jokowi, Tambahan Utang, dan Revolusi Mental yang Terabaikan

Sabtu, 9 September 2017 | 07:27 WIB
0
268
Jokowi, Tambahan Utang, dan Revolusi Mental yang Terabaikan

Harusnya Prabowo malu dan mau berkaca diri bila ia menyindir utang yang sekarang dimiliki oleh Indonesia di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo. Lepas bahwa ini hanya isu politik murahan, mestinya publik juga harus diingatkan bapaknyalah, Sumitro Djojohadikusumo sebagai tokoh yang membuka keran utang secara besar-besaran untuk Indonesia.

Atas namanya memang benar, Indonesia gak punya duit untuk bangkit setelah perekonomian porak poranda usai masa Orde Lama. Tetapi, apa sedemikian buruknya kondisi Indonesia pada saat itu? Pangan memang sulit, harga-harganya memang sempat tak terkendali, dan nilai uang nyaris tak menentu. Tetapi, itu terjadi hanya setelah Peristiwa absurd G 30 S PKI, yang sampai sekarang tak jelas benar siapa dalangnya itu.

Sebelumnya, biar situasi sulit, tetapi nyaris di setiap dada rakyat Indonesia tanpa kecuali, baik itu pribumi maupun non-pri, suku atau agama apapun ada kegairahan bersama untuk pelan-pelan menemukan jati diri bangsanya. Saat itu kesediaan "menderita bareng-bareng" dianggap sebagai kebanggaan. Cita-cita itu ambyar ketika tragedi itu terjadi.

Sejak Orde Baru muncul hingga hari ini, nyaris tiap tahun utang negara ini bertambah. Mangsalah lainnya, kita tidak butuh utangan-pun, banyak kreditor yang menawari!

Utang sudah jadi mekanisme hegemonik hubungan antarnegara. Dan konon sudah jamak, negara berutang. Kepada siapa? Inilah anehnya. Banyak negara donor, pun negara-negara besar dan adidaya itu utang negaranya jauh lebih besar, bahkan telah melampaui proporsi normalnya dibandingkan PDB-nya.

Indonesia terus berutang karena selalu saja dianggap dalam posisi "aman". Ideologi kapitalisme inilah yang ditanamkan oleh begawan ekonomi Indonesia yang bernama Soemitro itu, dan diwarisi hingga kini oleh murid-muridnya. Ia sendiri sebenarnya tokoh yang dapat dianggap kontroversial, secara politis ia adalah anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI), tetapi secara ekonomis ia adalah antek Amerika yang terlibat dalam Pemberontakan PRRI/Permesta.

Jadi tidak aneh, kalau anaknya, Prabowo Subianto, juga selalu berada dalam posisi ambigu dan tidak konsisten. Ia tipikal politisi sekali: apa yang dibicarakan dan yang dikerjakannya berbeda. Ejekan bagi mereka yang berada di luar kategorisasi kuadran kubus kepribadian yang fenomenal itu!

Sebagai pendukung Jokowi, saya terus terang tidak gembira, dengan prilaku Jokowi yang seperti "buaya mangap" itu. Butuh duit nyaris tak terbatas, seolah-olah ia satu-satunya yang bertanggung jawab mengejar ketertinggalan Indonesia. Saya sering berpikir: apa iya Jokowi ingin membangun monumen dirinya dengan jalan tol, pelabuhan, dan bandara?

Secara teknis itu baik, minimal menyadarkan dan membuka mata masyarakat: betapa salah kelolanya pembangunan Indonesia selama 10 tahun di bawah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebenarnya Jokowi sudah benar, jika ia dulu membawa semangat Revolusi Mental. Sayangnya, justru hal inilah yang nyaris tak tersentuh selama tiga tahun pemerintahannya.

Dan kita sampai titik, di mana setiap receh tambahan utang itu diangkat sebagai isu politis. Saya pikir, ini justru bisa menjadi isu yang jauh lebih berbahaya dari tiga alat yang selama ini bisa digunakan untuk menjatuhkan dirinya. Dibanding isu basi tudingan PKI dan antek Cina. Walau kalau Jokowi jatuh, nyaris pasti penggantinya pun juga akan terus menambah utang!

Di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia, ekonomi lagi sulit dan hidup memang makin sulit. Sayangnya Indonesia, sudah kehilangan semangat kebersamaan untuk menjani hidup penuh keprihatinan, sebagaimana dulu pernah bergelora di masa lalu.

Agama yang semestinya membawa manusia ke arah kesederhanaan dan kesalehan, juga sudah berubah tak lebih alat politik.

Dan, karena itulah utang selalu dianggap sebagai solusi!

***