Aku Terbalik Maka Aku Ada

Jumat, 8 September 2017 | 04:42 WIB
0
268
Aku Terbalik Maka Aku Ada

Mister PK punya kesimpulan; ada dua jenis Tuhan. Tuhan yang menciptakan manusia dan tuhan yang diciptakan oleh manusia. Tuhan dengan “t” kecil tentu saja. Untuk mencapai komunikasi dengan Tuhan, manusia menciptakan tuhan dalam kepalanya. Situasi yang disebut oleh Mister PK sebagai situasi salah sambung. Padahal Tuhan sudah memberi “nomor” komunikasi yang sangat jelas untuk berhubungan langsung dengan Tuhan, tanpa perantara berhala dari segala macam jenisnya.

Mister PK adalah mahluk alien dari planet antah berantah. Turun ke planet bumi tanpa sehelai benang pun. Hanya tape recorder besar yang menutupi alat vitalnya. Tape recorder yang ditingalkan oleh pencuri kalung pusakanya.

Itu cuplikan film "PK" karya sutradara Rajkumar Hirani. Kalau saja filsuf macam Rene Descartes bukan lahir tahun seribu enam ratusan lalu, seandainya dia nonton film ini, dia nggak bakalan capek-capek berorasi, "Aku berpikir maka aku ada" (je pense donc je suis), cukup bilang, "Tonton saja film PK!" Selesai.

Walaupun pertama kali menginjak planet bumi PK dalam keadaan telanjang, dia bukan bayi lagi. Bagi mahluk bumi PK adalah seperti bayi yang tiba-tiba dewasa. Karena di planetnya tidak ada kehidupan serba kompleks seperti planet bumi., maka dia bisa bebas mengeritik cara beragama penghuni planet bumi tanpa harus menanggalkan pemikiran sebelumnya, karena sebelumnya dia memang tidak dapat asupan pemikiran apa pun. PK bukan sedang berpikir, dia cuma heran. Tepatnya, "aku heran maka aku ada".

Cara berpikir mahluk planet bumi mustahil bisa spererti itu. Sejak bayi kita sudah dibekali asupan macam-macam. Dinyanyikan, dibisiki shalawat jelang bobo, dinasihati, diberi asupan paham politik,ajaran agama. Mana mungkin kita bisa "menanggalkan" latar belakang, pengalaman hidup kita dalam menilai sesuatu seperti yang diajarkan Descartes atau dilakukan oleh Mister PK.

Orang-orang yang teriak, "Saya Pancasila, Saya Indonesia" sebenarnya bukan sedang membanggakan ideologi Pancasila atau hasrat nasionalismenya tiba-tiba memuncak, tapi mereka sedang mengucapkan “ujaran kebencian” dengan cara lain dengan kelompok di luar kelompoknya. Memberi sinyal pada kelompoknya bahwa dia benar-benar bukan kelompok lainnya. Mereka sedang bicara pancasila dengan “p” kecil.

Penyebabnya tentu saja karena pada saat kita berpikir, kita tidak bisa melepaskan asupan ajaran yang sudah masuk ke dalam diri kita, telah menjadi darah, menadi daging. Hingga kita hanya berpikir kepentingan diri dan kelompok yang sepaham.

Mereka berteriak di tengah jalan, Kita... kita... kita..." sampai tengorokan kering. Tapi apa maknanya? Mudah saja menjawabnya. Lihat saja atribut yang mereka gunakan. Bendera-bendera, kaos, dan lambang warna. Mereka bukan sedang mengajari persatuan, tapi mengajak masuk kedalam kelompok mereka. Faktanya saat teriak itu mereka tidak mau melepas mereka punya atribut.

Ketika mereka mengoceh sampai bibir kaku dengan latar belakang tulisan besar "Merawat Kebersamaan" mereka bukan sedang mengajak kita bersama-sama menjaga kedamaian, tapi mereka sedang membangun aliansi agar mereka nampak sangat berbeda dengan kita.

Coba saja kita praktikkan ajakan mereka untuk merawat kebersamaan, mereka pasti ngamuk. Karena merawat kebersamaan adalah milik mereka, kita cuma dianggap plagiat. Contoh yang paling nyata adalah ketika perayaan ultah FPI mengundang tokoh lintas agama. Mestinya 'kan mereka menyambut baik, tapi apa reaksi mereka? Malah sebaliknya. Ini benar-benar situasi salah sambung.

Lalu bagaimana caranya kita bisa memahami cara berpikir mereka? Tidak perlu menjadi mahluk Alien, atau capek-capek membaca Descartes, cukup taruh kepala di bawah, kaki di atas.

Aku terbalik maka aku ada.

***