Mister PK punya kesimpulan; ada dua jenis Tuhan. Tuhan yang menciptakan manusia dan tuhan yang diciptakan oleh manusia. Tuhan dengan “t” kecil tentu saja. Untuk mencapai komunikasi dengan Tuhan, manusia menciptakan tuhan dalam kepalanya. Situasi yang disebut oleh Mister PK sebagai situasi salah sambung. Padahal Tuhan sudah memberi “nomor” komunikasi yang sangat jelas untuk berhubungan langsung dengan Tuhan, tanpa perantara berhala dari segala macam jenisnya.
Mister PK adalah mahluk alien dari planet antah berantah. Turun ke planet bumi tanpa sehelai benang pun. Hanya tape recorder besar yang menutupi alat vitalnya. Tape recorder yang ditingalkan oleh pencuri kalung pusakanya.
Itu cuplikan film "PK" karya sutradara Rajkumar Hirani. Kalau saja filsuf macam Rene Descartes bukan lahir tahun seribu enam ratusan lalu, seandainya dia nonton film ini, dia nggak bakalan capek-capek berorasi, "Aku berpikir maka aku ada" (je pense donc je suis), cukup bilang, "Tonton saja film PK!" Selesai.
Walaupun pertama kali menginjak planet bumi PK dalam keadaan telanjang, dia bukan bayi lagi. Bagi mahluk bumi PK adalah seperti bayi yang tiba-tiba dewasa. Karena di planetnya tidak ada kehidupan serba kompleks seperti planet bumi., maka dia bisa bebas mengeritik cara beragama penghuni planet bumi tanpa harus menanggalkan pemikiran sebelumnya, karena sebelumnya dia memang tidak dapat asupan pemikiran apa pun. PK bukan sedang berpikir, dia cuma heran. Tepatnya, "aku heran maka aku ada".
Cara berpikir mahluk planet bumi mustahil bisa spererti itu. Sejak bayi kita sudah dibekali asupan macam-macam. Dinyanyikan, dibisiki shalawat jelang bobo, dinasihati, diberi asupan paham politik,ajaran agama. Mana mungkin kita bisa "menanggalkan" latar belakang, pengalaman hidup kita dalam menilai sesuatu seperti yang diajarkan Descartes atau dilakukan oleh Mister PK.
Orang-orang yang teriak, "Saya Pancasila, Saya Indonesia" sebenarnya bukan sedang membanggakan ideologi Pancasila atau hasrat nasionalismenya tiba-tiba memuncak, tapi mereka sedang mengucapkan “ujaran kebencian” dengan cara lain dengan kelompok di luar kelompoknya. Memberi sinyal pada kelompoknya bahwa dia benar-benar bukan kelompok lainnya. Mereka sedang bicara pancasila dengan “p” kecil.
Penyebabnya tentu saja karena pada saat kita berpikir, kita tidak bisa melepaskan asupan ajaran yang sudah masuk ke dalam diri kita, telah menjadi darah, menadi daging. Hingga kita hanya berpikir kepentingan diri dan kelompok yang sepaham.
Mereka berteriak di tengah jalan, Kita... kita... kita..." sampai tengorokan kering. Tapi apa maknanya? Mudah saja menjawabnya. Lihat saja atribut yang mereka gunakan. Bendera-bendera, kaos, dan lambang warna. Mereka bukan sedang mengajari persatuan, tapi mengajak masuk kedalam kelompok mereka. Faktanya saat teriak itu mereka tidak mau melepas mereka punya atribut.
Ketika mereka mengoceh sampai bibir kaku dengan latar belakang tulisan besar "Merawat Kebersamaan" mereka bukan sedang mengajak kita bersama-sama menjaga kedamaian, tapi mereka sedang membangun aliansi agar mereka nampak sangat berbeda dengan kita.
Coba saja kita praktikkan ajakan mereka untuk merawat kebersamaan, mereka pasti ngamuk. Karena merawat kebersamaan adalah milik mereka, kita cuma dianggap plagiat. Contoh yang paling nyata adalah ketika perayaan ultah FPI mengundang tokoh lintas agama. Mestinya 'kan mereka menyambut baik, tapi apa reaksi mereka? Malah sebaliknya. Ini benar-benar situasi salah sambung.
Lalu bagaimana caranya kita bisa memahami cara berpikir mereka? Tidak perlu menjadi mahluk Alien, atau capek-capek membaca Descartes, cukup taruh kepala di bawah, kaki di atas.
Aku terbalik maka aku ada.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews