Borobudur yang Malang, Kini Dianggap Simbol Kebengisan Myanmar

Rabu, 6 September 2017 | 07:09 WIB
0
801
Borobudur yang Malang, Kini Dianggap Simbol Kebengisan Myanmar

Candi terbesar di dunia ini, walau dianggap salah satu dari tujuh keajaiban dunia (tentu dari salah satu versi, karena orang bisa bikin versi berbeda-beda menurut seleranya sendiri), menyimpan banyak sekali catatan "kemalangan". Candi yang diarsiteki Gunadarma ini (sekarang jadi nama universitas di Depok yang sejak beberapa lama terkenal hobi tawuran itu), dibangun Abad VIII, dan ditinggalkan pendukungnya abad XIV, seiring masuknya "agama baru".

Pemeluk agama yang belakangan membuat sejarah versinya sendiri dengan mengatakan bahwa candi ini sebenarnya dibangun Nabi Sulaiman, lokasinya tidak jauh dari Kabupaten Sleman. Klaim ini merupakan awal dari klaim sejarah sejenis bahwa Pattimura, Gajah Mada, dan lain-lain yang notabene memiliki keyakinan sendiri, diklaim sebagai bla bla bla... Kalau jujur nanti banyak yang marah dan dianggap menyindir sentimen SARA.

Kemalangan Borodudur berlanjut setelah ditinggalkan dan dionggokkan oleh penganutnya selama 400 tahun. Ia dianggap ditemukan kembali oleh Sir Stamford Raffles pada kurun 1814. Sehingga menyebut Borobudur dalam sejarah dunia harus selalu menyebut Raffles.

Mungkin padanannya, bila menyebut benua Amerika harus juga menyebut Columbus. Sial banget: jadi orang Jawa sebagai pembangun dan pemiliknya, ia standarnya sama dengan orang Indian, hanya tuan rumah yang boleh disebut seperlunya saja!

Namun Raffles juga berjasa, dialah yang membuat catatan pertama yang termaktub dalam buku legendarisnya History of Java, buku yang terakhir-akhir ini oleh National Geographic dilecehkan karena dianggap "mencuri banyak data" orang lain, tanpa menyebutkan sumber referensinya itu.

Kemudian sejak zaman politik etis berlaku, Borobudur dijadikan simbol kepedulian pihak kolonial pada restorasi kekayaan lokal. Dan kepedulian ini mencapai puncaknya ketika UNESCO bekerja sama dengan Pemerintah Orde Baru, merestorasi secara total.

Restorasi ini, menimbulkan "kemalangan baru" karena pada tahun 1985 dipasangi 9 bom, yang menyebabkan 9 stupanya rusak. Jumlah sembilan ini konon jadi artifisal sekali, karena muncul banyak tafsir daripadanya.

Kenapa dibom? Golongan ekstrem kanan "cemburu", menganggap pemerintah lebih memberi perhatian pada batu daripada manusia. Absurd!

Ketika pemugaran Borobudur selesai. munculah watak kapitalisme yang sesungguhnya, yang menjadikan Borobudur melulu sebagai "obyek penderita dan cash cow". Itu ditunjukkan baik dari investor nasional, internasional, pemerintah daerah, dan maupun penduduk lokal.

Sedemikian runcing perseteruannya, hingga pernah suatu masa Pemerintah Jateng sedemikian marah pada Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Karena walau Borobudur ada di wilayahnya, tapi 90 persen devisanya malah masuk ke DIY.

Hal terakhir inilah yang kemudian membuat tiket masuk ke situs ini jadi sangat mahal, antara lain atas nama PAD. Dan lebih buruk lagi, pengelolaannya dilakukan di bawah sebuah perusahaan yang harus untung dan naik terus tiap tahun.

Karena itu saat ini, orang akan mudah jengkel setelah capek naik turun candi, pulangnya harus melewati lorong panjang bak labirin berisi para pedagang. Yang lebih banyak menyebalkannya dari pada menunjukkan sikap kesantunan dan kerendahan hati, selayaknya kultur tempat wisata spiritual.

Dan terakhir, walau sempat didaku sebagai warisan Nabi Sulaiman, banyak kelompok yang saat ini sedang berkonsolidasi untuk "memutihkan" Borobudur. Candi ini dianggap menjadi simbol dan representasi kebengisan pemerintah junta militer Myanmar yang semena-mena terhadap orang Rohingnya.

Bagi saya ini bodor sekali, mereka ini lupa sebagian orang Rohingnya yang mereka bela secara buta itu sebagian juga ada yang beragama Hindu dan Buddha. Mengapa jadi Borobudur yang malah bernasib malang untuk ke sekian kali?

***