Jokowi Dikatakan Diktator, Mengapa Megawati Pasang Badan?

Senin, 14 Agustus 2017 | 22:59 WIB
0
353
Jokowi Dikatakan Diktator, Mengapa Megawati Pasang Badan?

Cukup mengejutkan jagat politik jika tiba-tiba Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri membela Presiden Joko Widodo yang disebut-sebut lawan politiknya sebagai diktator. Ia berbicara lantang dan terbuka, bahkan menantang orang-orang yang menuding Jokowi sebagai diktator itu untuk membuktikan tuduhannya.

Pembelaan disampaikan dalam kapasita Megawati selaku Ketua Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Tidak terima Jokowi dituduh sebagai pemimpin diktator, sekali lagi Megawati minta orang yang menuduh Jokowi diktator untuk membuktikan omongannya.

"Kalau Pak Jokowi dibilang sebagai diktator, orang yang ngomong itu, hayooo sanggup membuktikan kediktatorannya Pak Jokowi atau enggak?" ujar Megawati lewat bahasa tutur yang khas di sela pidato penguatan pendidikan Pancasila di halaman Istana Presiden Bogor, Sabtu 12 Agustus 2017.

Megawati kemudian menantang orang yang menuduh Jokowi sebagai pemimpin diktator untuk menemui Jokowi langsung. Ia ingin mengecek apakah orang tersebut berani atau tidak mengatakan tuduhannya langsung di depan Jokowi. "Bilang saja, Pak saya mau ketemu sama Bapak sebagai Presiden, berhadap-hadapan. Nah, itu baru jantan," lanjut Megawati sebagaimana dikutip Kompas.com.

Siapa orang atau sekelompok orang yang dimaksud Megawati, yang telah menuding Jokowi sebagai otoriter? Beranikah orang yang disebut "baru jantan" oleh Megawati menampakkan batang hidungnya di depan Jokowi untuk membuktikan bahwa Jokowi benar otoriter?

Mari kita melihat sejenak ke belakang perihal peristiwa politik di Cikeas, kediaman mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Beberapa waktu lalu, Presiden Ke-6 RI yang juga ketua umum Partai Demokrat itu kedatangan tamu istimewa, yaitu ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.

[caption id="attachment_2732" align="alignleft" width="300"] SBY dan Prabowo (Foto: Kompas.com)[/caption]

Meski diembel-embeli pertemuan antar kedua ketua umum parpol hanya membicarakan 20 persen ambang batas pencalonan presiden yang telah disahkan DPR, tetapi dalam keterangan pers kepada media kritikan malah langsung ditujukan kepada Jokowi selaku Presiden RI. Memang tidak ada kata-kata "diktator" yang terlempar di Cikeas saat itu, tetapi coba simak pernyataan SBY ini;

"Saya harus sampaikan bahwa power must not go uncheck. Saya ulangi sekali lagi. Power must not go uncheck. Artinya apa, kita, kami, harus memastikan bahwa penggunaan kekuasaan oleh para pemegang kekuasaan itu tidak melampui batas, sehingga cross the line (melewati batas), sehingga masuk yang disebut abuse of power. Maka rakyat akan memberikan koreksinya sebagai bentuk kesetiaan kami kepada negara, kepada pemerintah, kepada pemimpin, kami akan terus mengingatkan."

Prabowo Subianto pun di tempat yang sama berpendapat senada. Menurut dia, perlu ada kelompok atau pihak yang melakukan pengawasan terhadap penguasa. "Kita harus lakukan check and balances, kekuasaan harus diawasi dan diimbangi," katanya.

Wajar Megawati pasang badan membela karena kata diktator  memiliki makna yang menyeramkan. Kamus Besar Bahasa Indonesia misalnya mengartikan diktator sebagai kepala pemerintahan yang mempunyai kekuasaan mutlak, biasanya diperoleh melalui kekerasan atau dengan cara yang tidak demokratis.

Selain itu, secara politis SBY dan Prabowo, adalah musuh besar Megawati. SBY mempecundangi Megawati dalam dua kali Pilpres, yakni Pilpres 2004 dan Pilpres 2009. Sedangkan clash dengan Prabowo terkait persoalan Pilpres 2014 di mana Megawati ingkar dari kesepatan Batu Tulis yang seharusnya mendorong Prabowo sebagai calon presiden, malah memajukan Jokowi.

Sementara menurut Wikipedia diktator adalah seorang pemimpin negara yang memerintah secara otoriter/tirani dan menindas rakyatnya. Biasanya seorang diktator naik takhta dengan menggunakan kekerasan, seringkali dengan sebuah kudeta. Tetapi ada pula dikatator yang naik takhta secara demokratis.

Dari pengertian ini saja terpatahkan, bahwa kekuasaan yang dimiliki Jokowi selaku Presiden RI tidaklah mutlak. Ia harus berbagi berbagi peran dan tugas dengan DPR dalam membuat Undang-udang dan menentukan anggaran. Dalam kerja, Presiden bahkan diawasi DPR. Kekuasaan yang diperoleh Jokowi pun bukan diraih lewat kekerasan atau kudeta, melainkan lewat pemilu yang demokratis. Juga belum ada indikasi Jokowi menindas rakyatnya sendiri.

Tetapi itu kata orang sehat. Bagi orang yang masih kecewa akibat kalah menyakitkan dalam Pilpres 2014 yang kemudian berkongsi "mengganggu" jalannya pemerintahan dengan segala cara, Jokowi sebagai diktator adalah benar belaka.

Apalagi, cap diktator untuk Jokowi muncul setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Beleid ini langsung memakan korban, yakni dibubarkannya ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Diktator Kebijakan, bukan Orangnya

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah termasuk orang yang mencurigai cap diktator bagi Jokowi muncul setelah lahirnya Perppu itu. Namun demikian, ia tidak merasa Jokowi seorang dikator, sebab dari sisi penampilan dan wajah Jokowi disebutnya tidak terlihat sebagai seorang diktator. Akan tetapi, kebijakan penerbitan Perppu yang membatasi gerak Ormas menurut Fahri secara tidak langsung menunjukkan sisi otoriter Jokowi.

"Dia membuat Perppu bukan undang-undang. Dan dia buat pasal-pasal yang memungkinkan pemerintah tunjuk jari dan membubarkan satu lembaga, menghilangkan kebebasan," kata Fahri, Kamis 10 Agustus 2017 di Jakarta. "Hari ini korbannya ormas, besok korbannya bisa media, besok korbannya bisa parpol, korbannya organisasi buruh organisasi intelektual, bisa," imbuhnya.

Jokowi sendiri gusar dengan predikat "diktator" yang disandangnya itu. Beberapa kali ia menyampaikan bahwa dirinya bukanlah seorang diktator.

Pertama, ketika bersilaturahim dengan ulama beserta para santri di Pondok Pesantren Minhaajurrosyidin Lubang Buaya, Jakarta Timur, Selasa 8 Agustus  2017, Jokowi meminta santri tidak takut untuk naik ke atas panggung. "Enggak usah takut! Presidennya enggak diktator kok," kata Jokowi. "Sekarang di medsos banyak yang menyampaikan, Pak Presiden Jokowi itu otoriter, diktator. Masa wajah saya kayak gini wajah diktator," kata Jokowi.

Kedua, sehari kemudian saat membuka simposium internasional bertajuk "Mahkamah Konsitusi Sebagai Pengawal Ideologi dan Demokrasi dalam Masyarakat Majemuk" di Aula Universitas 11 Maret, Kota Solo, Jawa Tengah. Saat itu Presiden menegaskan, konstitusi tidak memungkinkan kepemimpinan diktator di Indonesia.

"Merujuk konstitusi kita, tidak ada satu pun institusi yang memiliki kekuasaan mutlak, apalagi seperti diktator," ujar Jokowi. Ia pun menjelaskan alasan mengapa tidak ada pemerintahan otoriter di Indonesia. "Ya memang tidak ada yang seperti itu (kekuasaan absolut atau otoriter)," tegasnya.

Jokowi menyatakan heran atas isu yang menerpa dirinya. Sebab, ketika awal menjabat Presiden ketujuh RI, Jokowi diterpa isu bahwa dirinya tidak tegas, "klemar-klemer" hingga "Presiden ndeso". Isunya kini malah berbalik. Tidak tanggung-tanggung, Jokowi dituduh otoriter.

Jokowi pun mengaku tidak habis pikir atas isu-isu semacam itu. "Awal-awal 'kan banyak yang menyampaikan, saya Presiden 'ndeso', Presiden tidak tegas, klemar-klemer. Eh begitu kami menegakkan undang-undang, malah balik lagi. Loncat menjadi otoriter, diktator. Yang benar yang mana? Yang klemar-klemer, yang ndeso atau yang diktator dan otoriter?" kata Jokowi dengan nada tanya.

Wakil Ketua DPR lainnya, Fadli Zon, mengatakan, sikap diktator seorang pemimpin tidak dilihat dari ucapan dan wajahnya, melainkan bisa diukur dari tindakan dan kebijakan yang dikeluarkan seorang pemimpin. Fadli menilai banyak tindakan dan kebijakan pemerintahan Joko Widodo yang mengarah pada gaya pemerintahan diktator. Ia menyebut langkah Jokowi yang menerbitkan Perppu Ormas yang bergaya diktator karena bisa membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan.

Selain itu, Menurut Fadli, penangkapan demonstran dengan tuduhan makar juga menunjukkan kediktatoran Jokowi. Orang yang membuat dan menyebarkan ujaran kebencian kepada pemerintah di media sosial, katanya, juga kerap ditangkap oleh aparat kepolisian.

"Dan hate speech yang ditangkap itu yang hanya mengkritik pemerintah, tapi yang tidak kritik pemerintah dibiarkan. Jadi ini kecenderungan yang mengarah kepada kediktatoran," simpul Fadli.

Fadli mengingatkan Jokowi agar tidak bertindak kebablasan. Sebab, katanya, tidak sedikit diktator dunia yang awalnya juga menjual demokrasi dan kebebasan berekspresi, namun lama kelamaan akibat kekuasaan yang besar, para pemimpin dunia itu kerap lupa dengan janjinya dan berakhir menjadi seorang diktator.

"Kita harus ingatkan karena ada pepatah mengatakan, 'power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely'," pungkas Fadli.

Sebagai Presiden yang sedang menjabat, memang Jokowi bernasib "sial" karena sering direcoki mantan Presiden yang berkomplot dengan orang yang berambisi menjadi Presiden. Dalam hal ini, Presiden SBY yang selama 10 tahun menjabat termasuk bernasib "baik", sebab ia tidak mendapat rongrongan dari mantan Presiden sebelumnya, yaitu Megawati atau BJ Habibie.

Tidak seperti Jokowi, SBY juga jarang direcoki para politikus Senayan. Adem ayem saja.

***