Beda Menjadi Menteri Era Soeharto dengan Presiden RI Setelahnya

Sabtu, 5 Agustus 2017 | 19:07 WIB
0
909
Beda Menjadi Menteri Era Soeharto dengan Presiden RI Setelahnya

Meskipun profesi yang sangat bergengsi, menjadi menteri boleh dibilang cuma urusan garis tangan. Tidak ada sekolah khusus untuk menjadi menteri. Meski dekat dengan Presiden sekalipun, siapapun Presidennya, kalau garis tangan belum didapat, tetap saja tidak akan menjadi menteri.

Di Indonesia, jabatan menteri sangat-sangat prestisius, seolah-olah jabatan itu merupakan pencapaian tertinggi prestasi hidup manusia. Banyak politisi, petinggi partai politik, pengusaha, dan bahkan anggota Dewan, mengincar posisi yang sejatinya dibuka setiap lima tahun sekali itu.

Kalau ada pertanyaan siapa Presiden paling hebat dalam mengatur orang-orangnya sebagai menteri, saya harus menjawab; dialah Presiden Soeharto. Pada zaman Soeharto berkuasa selama 32 tahun, tidak pernah terdengar kabar ia melakukan "kocok ulang" alis reshuffle menteri-menterinya. Kecuali pada saat akhir-akhir kekuasaannya, saat ia mengganti Menteri Penerangan Harmoko oleh Jenderal Hartono.

Apa musabab yang mengakibatkan Harmoko dipecat? Keselahan Harmoko sederhana, ia terkesan terlalu "berkuasa" di Golkar sehingga kadang ucapan dan tindak-tanduknya tidak terkontrol. Di sisi lain, Soeharto sebagai Dewan Pembina Golkar, merasa harus punya estafet kekuasaan dan orang yang digadang-gadang memimpin Golkar adalah puterinya sendiri, Siti  Hardijanti Rukmana.

[caption id="attachment_2682" align="alignleft" width="236"] Harmoko[/caption]

Harmoko licin bagai belut dalam hal kekuasaan dan politik. Ia pernah marah kepada saya selaku jurnalis hanya karena satu berita yang saya tulis di Harian Kompas. Jelang kampanye Pemilu 1997, saya meliput pidato Harmoko di Makassar, Sulawesi Selatan. Di depan ribuan kadernya, Harmoko dengan lantang mengatakan, kalau mau Golkar bisa memenangkan suara 100 persen di provinsi tersebut.

"Tetapi kita (Golkar) tidak serakus itu, masih menyisakan sisa suara lainnya untuk partai lain," kata Harmoko.

Saya merekam ucapan itu, mengutipnya secara utuh dan dimuat di Harian Kompas dengan judul kira-kira "Golkar Bisa Menangkan 100 Persen Suara di Sulsel". Selang beberapa hari, saya dipanggil khusus saat ada liputan Golkar di Semarang, Jawa Tengah. Lalu dimaki-maki habis-habisan. "Tahu kamu? Saya diamarahi Pak Harto gara-gara berita yang kamu tulis itu, ngerti!?" teriaknya.

Ya takutlah dimarah-marahi oleh seorang menteri sambil nunjuk-nunjuk hidung saya, apalagi dia bilang sudah menyampaikan protes ke pemilik koran, duh.... Anehnya, saya tidak pernah diberi sanksi apapun oleh pimpinan Harian Kompas. Jelas itu bukan kesalahan saya dalam liputan, wong saya sudah siap menyertakan bukti rekaman jika diperlukan.

Karena sudah diangkat menteri sejak tahun 1983, untuk menjaga agar tidak kehilangan muka, saat memecat Harmoko, Soeharto membuat pos setingkat menteri yang benar-benar dibuat-buat, yaitu Menteri Urusan Khusus yang sering diplesetkan menjadi Menrakus. Belakangan, nasib baik membawa Harmoko menjadi Ketua MPR dan sempat meminta Soeharto turun sebagai Presiden RI karena desakan mahasiswa reformasi.

Demikian "firm" dan mantapnya nama-nama menteri yang diangkat Soeharto seolah-olah nama itu menjadi jaminan mutu dalam mem-back up pembangunan yang dicanangkannya.

Masing-masing menteri mendapat tugas sesuai bidang kerjanya atau kementriannya. Anak-anak sekolah dasar wajib menghapal nama-nama menteri, mulai Menteri Luar Negeri Adam Malik sampai Menteri Agama Idham Chalid. Lebih dari 30 menteri atau setingkat menteri yang selalu mendampingi Soeharto selama lima periode lebih ia berkuasa.

Komposisi menteri zaman Soeharto berbeda dengan rezim-rezim setelahnya, apalagi setelah Orde Reformasi di mana jatah menteri seolah-olah diperuntukkan bagi politisi atau pengurus partai politik pemenang Pemilu. Di zaman Soeharto, para menteri diisi para profesional, pakar, purnawirawan, teknokrat atau ABRI aktif, dan hanya segelintir saja pengurus partai yang berasal dari Golkar. Tidak mungkin ada menteri yang berasal dari PPP dan PDI.

Soeharto tumbang dan mengundurkan diri 21 Mei 1998. Yang menjadi Presiden RI penggantinya adalah BJ Habibie yang menjadi wakilnya. Sebelumnya, Habibie adalah Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), sebuah organisasi "orang-orang pintar dan terdidik" yang didirikan di Malang, Jawa Timur, 7 Desember 1990.

ICMI adalah "legitimasi pengaruh" Soeharto setelah ia mulai "menelantarkan" ABRI. Kecenderungan Soeharto menjadi "hijau" (sebagai simbol Islam), tercermin dari para petinggi militer dari Panglima ABRI sampai Kepala Angkatan yang diisi "Jenderal Hijau". Karena pengaruh BJ Habibie demikian kuat di ICMI, para pembantunya pun diisi oleh orang-orang ICMI.

Demikian juga pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menggantikan BJ Habibie, produk terakhir Presiden RI yang dipilih oleh MPR. Karena Gus Dur berasal dari kalangan ormas keagamaan Nahdlatul Ulama dan juga dikenal sebagai tokoh yang berkawan dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, maka orang-orang yang saya sebutkan barusan mewarnai kabinetnya, yaitu para menetri yang mendampinginya.

Di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tentu saja para menteri banyak diisi oleh mereka yang telah berjasa terhadap Partai Demokrat yang didirikannya dan telah menjadi kendaraan politik yang mengantarkannya ke Istana. Tidak lupa teman-teman dekat SBY semasa bertugas di militer, beberapa di antaranya menjadi menteri atau pejabat tinggi setingkat menteri. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga saat itu menaruh orang-orang dekatnya sebagai menteri.

Jadi incaran parpol

Berbeda dengan di zaman rezim setelahnya, posisi menteri (demikian juga duta besar), seolah-olah menjadi bancakan para petinggi partai politik. Jika Presiden saat pemilu disokong sejumlah partai atau partai yang menyokong setelahnya, maka sudah dipastikan ada "jatah" dari partai tersebut.

Sialnya, "jatah" itu lebih sering terisi oleh para petinggi partai yang kental dengan politiking-nya, bukan oleh para profesional yang mumpuni di bidangnya. Tidak jarang gonta-ganti menteri terjadi, seperti gonta-ganti pasangan saja.

Jika dahulu, zaman Soeharto menjadi menteri harus benar-benar profesional, pakar, teknokrat, dan orang-orang yang menguasi bidangnya, di zaman setelahnya, termasuk di zaman Presiden Joko Widodo, keputusan mengangkat menteri dilakukan melalui "jembatan" partai terlebih dahulu.

Artinya, Presiden memberi jatah kepada beberapa partai pendukungnya, maka partai politik tersebut mencarikan calon menteri dari kadernya. Sialnya lagi, sangat jarang petinggi partai mencari kader yang benar-benar profesional di bidangnya. Sering ketua partai politik menunjuk dirinya sendiri sebagai calon menteri. Kalau salah pilih menteri diawal, maka terjadilah kocok ulang itu.

Memang benar ada dari kalangan profesional yang diangkat atau menjadi orang dekat Presiden, tetapi karena menjadi Presiden tidak bisa berjalan sendirian saat Pilpres dan harus disokong partai lain, maka Presiden harus memberi jatah kepada partai secara proporsional (kalau bisa) tergantung seberapa besar partai tersebut memberikan sumbangsihnya bagi Presiden terpilih.

Sekadar mengingatkan, meski menteri adalah pembantu Presiden, belum tentu seorang "pembantu" dalam hal ini menteri loyal kepada "majikannya", yaitu Presiden. Contohnya saat Presiden Soeharto kolaps dan menunjukkan kekuasaannya akan tumbang, sejumlah menterinya seperti Akbar Tanjung dan Ginandjar Kartasasmita menyatakan ketidakloyalan mereka dengan tidak mau lagi diangkat sebagai menteri atau bahkan mengundurkan diri. Selain Akbar dan Ginandjar, ada sekitar 10 menteri lainnya menolak diangkat kembali menjadi menterinya Soeharto.

Harmoko sendiri membelot dan berbalik melawan Soeharto saat ketua MPR berada di genggamannya. Harmoko yang dipecat Soeharto berbalik meminta Soeharto mundur, satu tindakan politik yang menyelamatkan Harmoko dari perundungan dan sempat dianggap sebagai "pahlawan reformasi" saat ribuan mahasiswa mengepung gedung parlemen.

Bagaimana dengan BJ Habibie? Ternyata dia pun dianggap sebagai "Brutus" (yang mengkhianati Julius Caesar) oleh Soeharto selain Ginandjar, Akbar, dan Harmoko. "Kesalahan" Habibie saat itu, kalau boleh dibilang itu sebuah kesalahan, adalah tidak mau diajak sepaket dengan Soeharto saat Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI. Publik tahu, naskah pidato Soeharto yang bersejarah itu disusun Yusril Ihza Mahendra.

Bukan tanpa argumen. Habibie saat itu berpandangan, menurut konstitusi, jika Presiden mangkat atau mengundurkan diri (karena suatu sebab), maka Wakil Presiden-lah yang menggantikan kedudukannya, bukan mundur satu paket.

Sebaliknya, Soeharto menghendaki dirinya dan Habibie sama-sama "berhenti" sebagai bentuk kesetiaan dan nahkoda pemerintahan dijalankan triumvirat. Presiden Soeharto sangat kecewa atas tindakan wakilnya itu. BJ Habibie kemudian "membangkang" dan tercatat sebagai Presiden Ke-3 RI setelah Soekarno dan Soeharto.

***