Prabowo Subianto dan Lelucon Politik Yang Menipu Rakyat

Jumat, 28 Juli 2017 | 08:15 WIB
0
600
Prabowo Subianto dan Lelucon Politik Yang Menipu Rakyat

"Macan" tidak harus mengaum keras setiap lima tahun sekali, setiap kali pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres). Pada pertengahan jalan menuju Pilpres berikutnya, "macan" mengaum lebih awal, bahkan lebih keras dari sebelumnya. "Macan" itu adalah Prabowo Subianto, sebuah julukan yang disematkan para pendukung kepadanya pada Pilpres 2014.

"Kita tidak mau ikut bertanggung jawab, tidak mau ditertawakan sejarah. Silakan berkuasa hingga 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun, 50 tahun, namun di ujungnya sejarah yang menilai, Gerindra tidak mau ikut melawan sesuatu di luar akal sehat dan logika!"

Itulah "auman" Prabowo Subianto, mantan Danjen Kopassus yang paling keras dan menampar pemerintah yang sedang berkuasa, saat mengkritik pedas Undang-undang Pemilu yang telah disahkan DPR pada 20 Juli 2017 melalui mekanisme voting. Empat "fraksi oposisi" yaitu Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Amanat Nasional.

Kritik keras itu tentu saja diarahkan Prabowo terhadap ketentuan ambang batas 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara nasional presiden atau presidential threshold. Partai politik atau gabungan partai baru bisa mengajukan calon presiden-calon wakil presiden jika memperoleh ambang batas itu.

"Presidential threshold 20 persen, menurut kami, adalah lelucon politik yang menipu rakyat Indonesia," kata Prabowo usai bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di kediaman SBY, Puri Cikeas, Bogor, Kamis 27 Juli 2017 malam.

Burhanuddin Nur, mahasiswa S2 Kenotariatan di Makassar menanggapi pernyataan Prabowo mengenai Presidential Threshold sebagai sebuah lelucon yang menipu rakyat dengan mengatakan justru pernyataan Prabowo itulah yang lelucon yang sebenarnya. Alasannya, pernyataan itu Prabowo sampaikan tepat saat berada di samping SBY yang telah mendapat keberuntungan menjadi Presiden selama dua periode berkat ambang batas itu.

"Lebih lelucon lagi adalah bahwa Prabowo sendiri pernah mencoba peruntungannya untuk menjadi Presiden dengan Presidential Threshold 20 persen itu sendiri. Lah, sekarang kok minta gratis untuk mau menjadi Presiden. Kata orang Makassar, 'usaha ko cowok'," tulis Burhanuddin di status Facebook yang mendapat reaksi keras dari para pendukung Prabowo. 

Sejujurnya, tidak ada satu partai politik pun yang memperoleh 20 persen kursi atau 25 persen suara nasional pada Pemilihan Umum Legislatif 2014, termasuk partai pemenang pemilu PDI Perjuangan.

Menurut Prabowo, pemilu merupakan hal penting untuk mengukur kualitas demokrasi suatu negara. Fraksi Partai Gerindra menurutnya tidak ingin terlibat dalam pengesahan Undang-undagng Pemilu yang dikatakannya bisa merusak demokrasi itu sendiri, terutama terkait ketentuan ambang batas presiden tersebut.

Sebagaimana telah terjadi, empat fraksi di DPR, termasuk Partai Demokrat dan Gerindra, yang kedua ketua umumnya bertemu di Cikeas tadi malam, menginginkan ambang batas pemilihan presiden 0 persen. Mereka menilai, ambang batas pemilihan presiden bertentangan dengan prinsip keserentakan pada Pemilu 2019.

Ketua Fraksi Partai Gerindra di DPR Ahmad Muzani saat membahas Rancangan Undang-undang Pemilu di rapat paripurna DPR pernah menyampaikan pernyataan keras, bahwa aturan ambang batas presiden itu bertentangan dengan konstitusi dan tidak relevan digunakan pada Pilpres 2019. Alasannya, persyaratan ambang batas berdasarkan perolehan suara pada Pemilu 2014.

"Apakah mungkin, tiket yang sudah kita robek untuk pertunjukan pesta demokrasi tahun 2014 mau kita gunakan pada pesta demokrasi berikutnya? Logika ini yang selalu kami pertanyakan. Bukan soal threshold-nya. Melainkan penggunaan dua kali yang dalam pandangan kami (Gerindra), ini belum sesuai dan bahkan bertentangan dengan Undang-undang yang ada," urai Ahmad Muzani kala itu.

Bahkan jika aturan ambang batas ini diteruskan, kata Muzani, presidential threshold 10 persen atau 15 persen atau 20 persen atau 25 persen pun tidak sesuai bahkan bertentangan dengan Undang-undang.

Sedangkan SBY pada "Diplomasi Nasi Goreng" di Cikeas tadi malam itu tegas mengatakan, penyatuan kesepahaman antara Demokrat dan Gerindra tidak harus berujung pada terbentuknya Koalisi. SBY mengingatkan, koalisi yang pernah terbentuk, yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP), pun bersifat cair dan disebutnya "telah bergeser". SBY menyebut dirinya dan Prabowo hanya ingin mengawal jalannya pemerintah agar tidak menyakiti rakyat.

Ikut atau Boikot Pilpres 2019?

Pernyataan Prabowo "Kita tidak mau ikut bertanggung jawab" yang disampaikan usai bertemu SBY adalah penting digarisbawahi, apakah Gerindra akan mengikuti Pilpres atau sebaliknya memboikot pelaksanaan Pilpres 2019.

Penggalan kalimat "tidak mau ikut" juga bisa dimamakan tidak akan mengikuti keputusan apapun yang disahkan "koalisi pemerintah" di DPR, termasuk pengesahan ambang batas pemilihan presiden.

Jika Prabowo konsisten dengan pernyataannya "tidak mau ikut bertanggung jawab" yang bermakna tidak akan ikut Pilpres 2019, maka presiden petahana, Joko Widodo, akan melaju sendirian sebagai calon tunggal yang tidak bisa diakomodir Undang-undang Pemilu. Komisi Pemilihan Umum harus mencari lawan bagi Jokowi.

Di antara keenam "parpol pemerintah", hanya PDI Perjuangan yang belum menyatakan sikap mendukung Jokowi, panggilan akrab Presiden RI saat ini, untuk menjadi calon presiden pada Pilpres 2019.  Pada Pilpres 2014, Jokowi diusung oleh partai yang kini masih dikemudikan Megawati Soekarnoputri itu.

Apakah Jokowi kelak bakal menghadapi calon lain yang diusung PDI Perjuangan dan siapa sosok capres yang bakal diusung PDI Perjuangan nanti untuk "melawan" Jokowi, adalah hal sangat menarik untuk diikuti.

PepNews! akan mengawal semua proses dan dinamika terkait Pilpres 2019 dan "pritilannya" secara jernih dari sudut pandang yang paling muskil sekalipun.

***