Tiga Pendapat Yusril tentang KPK dan Pansus Ini Perlu Dipertimbangkan

Sabtu, 15 Juli 2017 | 23:51 WIB
0
249
Tiga Pendapat Yusril tentang KPK dan Pansus Ini Perlu Dipertimbangkan

Sebagai pakar hukum tatanegara, politisi sekaligus mantan pejabat pemerintah, Yusril Ihza Mahendra tidak ragu mengeluarkan pendapat mengenai polemik antara KPK dan Pansus Angket DPR. Selain pernyataan-pernyataannya kepada pers, Yusril menegaskan sikapnya saat rapat dengar pendapat umum dengan Pansus Angket DPR, Senin 10 Juli 2017.

Apapun pendapat pakar hukum tata negara sekaligus politisi dan pengacara ini sering menuai tanggapan, pro maupun kontra, apalagi untuk kasus KPK dengan Pansus Angket DPR terhadap KPK yang sedang memanas, sudah dapat dipastikan bakal membelah dua kubu yang pro dan kontra tadi.

Intinya, keberadaan Pansus Angket DPR yang ingin KPK dilemahkan atau bahkan dihapuskan, dipertanyakan. Di sisi lain, keberadaan KPK yang sekadar lembaga "tambahan" dalam ketatanegaraan moden, juga digugat.

Jalan masuk Pansus Angket DPR terhadap KPK yang dibentuk untuk keperluan melemahkan KPK itu adalah kasus korupsi e-KTP yang kebetulan melibatkan sejumlah anggota DPR yang kini duduk selaku anggota Pansus Angket DPR. Agun Gunandjar Sudarsa, Ketua Pansus, bahkan terindikasi terlibat dalam kasus korupsi e-KTP. Buktinya, politisi Partai Golkar ini bolak-balik dipanggil KPK.

Cara penyidik KPK bekerja sebagaimana dikemukakan salah satu tersangka kasus korupsi e-KTP Miryam S. Haryani sebagai penuh intimidasi dan tekanan, telah membuat Pansus Angket DPR jatuh "terperosok" mengurusi perkara yang sedang disidik KPK, yaitu perkara korusi e-KTP yang melibatkan sejumlah anggota DPR.

Pendapat Pertama

Sebagai pakar hukum tata negara, Yusril berpendapat, jika KPK terus menerus mengatakan Pansus Angket DPR terhadap KPK yang dibentuk DPR tidak sah, sementara DPR mengatakan sah, maka KPK harus melawannya di pengadilan. "Bukan dengan cara menggalang opini dengan menciptakan berbagai stigma negatif kepada mereka yang mengatakan Pansus itu sah," kata Yusril sebagaimana ia tulis di laman Facebook-nya.

Menurut Yusril, KPK adalah lembaga negara dan bukan LSM, sehingga tidak pada tempatnya jika KPK bermain politik.

Jika KPK melawan dengan hukum secara gentleman, kata Yusril, ini akan menjadi contoh bernegara yang benar dan memberikan pendidikan politik kepada rakyat di mana hukum dijadikan sebagai mekanisme untuk menyelesaikan konflik secara adil dan bermartabat. "Kalau cara ini ditempuh, maka kita benar-benar akan menjadikan hukum sebagai panglima di negara ini," katanya.

Atas tantangan Yusril ini, KPK melalui juru bicara Febri Diansyah mengatakan, KPK belum berencana membawa persoalan sah tidaknya Pansus Hak Angket ke pengadilan. KPK, kata Febri, lebih memilih fokus menangani kasus megakorupsi yang sedang diusut atau tengah ditangani. Tak lupa Febri menyatakan menghargai pendapat para pakar dan akademisi.

Pendapat Kedua

Mengenai keberadaan dan legalitas Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK yang dipertanyakan berbagai pihak, baik akademisi, ahli pemerintahanmaupun maupun pakar hukum tata negara, Yusril tegas berpendapat bahwa DPR bisa atau dimungkinkan membuat panitia khusus hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi.

Yusril berpendapat, karena KPK dibentuk dengan Undang-undang, maka KPK bisa diangket. Namun menurut peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Hifdzil Alim, pendapat Yusril ini dinilainya "agak kacau". Alasannya, jika ukurannya adalah KPK dibuat dengan Undang-undang, maka Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung (kekuasaan kehakiman) juga bisa diangket oleh DPR karena keberadaannya pun berdasarkan Undang-undang.

Selain itu, DPR dibentuk atau dipilih selain diamanatkan oleh konstitusi, juga sebelumnya dibuatkan undang-undang, yaitu undang-undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan DPR Daerah sebagaimana tertuang dalam Undang-undang nomor 17 Tahun 2014 dan perubahannya. Berarti, kata Hifdzil, "Atas dasar karena dibentuk atau dipilih melalui Undang-undang, maka DPR juga bisa di angket."

Dengan kata lain, DPR bisa membentuk Pansus Angket untuk membubarkan dirinya sendiri. Hifdzil menambahkan, hak angket merupakan kewenangan DPR untuk menginvestigasi kebijakan pemerintah, dalam hal ini Presiden RI dan atau Wakil Presiden dengan ujung menyatakan pendapat adalah pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden pada masa jabatannya.

Pendapat Ketiga

Yusril  berpendapat bahwa KPK merupakan bagian dari Eksekutif, karenanya DPR berhak menggunakan hak angket terhadap KPK. Namun pendapat ini dipertanyakan advokat sekaligus aktivis hak asasi manusia, Todung Mulya Lubis. Ia bahkan menyebut pendapat Yusril itu sebagai "salah". Yusril menganggap DPR berhak menggunakan hak angket terhadap KPK.

Bahkan dengan nada keras sebagaimana dikutip Kompas.com Todung mengatakan begini, "Yusril Ihza Mahendra salah kalau anggap KPK bagian dari eksekutif. Saya kira pembahasan tradisional mengenai ilmu tata negara menghasilkan orang seperti Yusril Ihza Mahendra ini, yang melihat arsitektur ketatanegaraan kita hanya eksekutif, legislatif, dan yudikatif."

Menurut Todung, dalam perkembangan tata negara modern, arsitekturnya sudah berubah. Ia menunjuk apa yang terjadi di Indonesia sendiri sebagai contoh dengan munculnya lembaga-lembaga seperti KPK, PPATK, Komnas HAM, KPK yang dikenal sebagai state auxiliary agency (lembaga non-struktural).

Tidak hanya Indonesia, lembaga tambahan ini menurut Todung juga berkembang di negara-negara yang mengalami reformasi atau transisi dari pemerintahan yang otoriter ke demokrasi. Todung menyebutnya sebagai "Pilar Kelima" sebab lembaga ini ada karena check and balance yang menjadi tuntutan publik.

Atas dasar ini Todung tegas menolak adanya Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK. Alasannya sederhana, Pansus sangat mengganggu kerja-kerja KPK seperti ancaman DPR yang tidak mau menyetujui anggaran untuk KPK.

***