Joko Widodo di Mata Saya

Kamis, 6 Juli 2017 | 06:43 WIB
0
298
Joko Widodo di Mata Saya

Jokowi atau Joko Widodo adalah Presiden RI ke-7. Ia menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkuasa selama 10 tahun (dua periode). Sebelumnya, Jokowi adalah Gubernur DKI Jakarta dengan wakilnya Basuki Tjahaja Purnama. Sebelum menjadi gubernur, Jokowi adalah Walikota Surakarta. Dalam Pilpres 2014, Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla berhasil mengalahkan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.

Saya mengenal Jokowi secara pribadi, sekaligus jabat tangan pertama kalinya, saat dia masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Selaku COO Kompasiana saat itu, seingat saya tahun 2012, saya mengundang Jokowi sebagai narasumber utama dalam Tokoh Bicara di Gedung Kompas-Gramedia, Palmerah Barat. Saat itu saya bertindak selalu moderator yang otoriter, berhubung banyaknya pertanyaan yang diajukan dari hadirin yang di antaranya belasan wartawan media arus utama.

Tentu saja yang ditanyakan wartawan adalah kesiapannya menjadi Presiden RI dan kebetulan pula beberapa pekan sebelumnya sebuah buku terbitan kelompok KG yang saya beri kata pengantar, saya menyebut Jokowi sebagai calon kuat Presiden RI di Piplres 2014. Saat itu jawaban Jokowi adalah sebuah kalimat dalam bahasa Jawa yang menjadi terkenal dan bahkan menjadi olok-olok, "Ora mikir.... ora mikir....!!" Maksudnya tentu saja tidak berpikir soal pencalonannya itu.

Lama tidak bersua, tahu-tahu Jokowi sudah menjadi Presiden RI yang ke-7. Sungguh sesuatu yang di luar dugaan kalau kemudian beberapa waktu lalu saya bersama 13 blogger lainnya diundang makan siang di Istana.

Tentu saja setelahnya, siapapun yang makan siang dengan Jokowi di Istana, akan menjadi olok-olok para "haters" sisa-sisa laskar pendukung Prabowo Subianto. Di sana saya bisa bersalaman dengan Presiden Joko Widodo dan berbincang-bincang tentang segala hal.

Menjadi unik dan menarik saat staf Istana, Teten Masduki, mengingatkan bahwa apa yang menjadi percakapan di Istana tidak boleh ditulis alias off the record, kecuali isu yang tidak sensitif. Celah ini saya manfaatkan untuk menulis feature tentang "Sisi Lain Istana" di Harian Kompas secara saat itu saya masih tercatat sebagai wartawan Kompas, karena "isu yang tidak sensitif" itu masih abu-abu. Toh ketika tulisan itu dimuat di Harian Kompas, Kang Teten tidak marah malah sebaliknya, berterima kasih.

Namun demikian, saya menceritakan bahwa yang bertemu dengan Presiden Jokowi adalah para blogger yang tergabung di Kompasiana. Presiden Joko Widodo dikenal suka bicara terbuka dan blak-blakan, termasuk saat acara santai bersama penulis warga Kompasiana di Istana Negara. Kepada 14 Kompasianer, sebutan para penulis warga tersebut, Presiden menumpahkan pandangannya selama dua jam usai santap siang, termasuk curahan hatinya, mengenai segala hal terkait dirinya serta aktivitasnya sebagai presiden.

[caption id="attachment_2521" align="alignleft" width="300"] Foto: Agus Suparto[/caption]

Acara yang dipandu staf khusus Teten Masduki berlangsung cair, serius tapi santai, dan presiden menjawab hampir semua pertanyaan para penulis warga. Didahului penjelasannya mengenai pengalihan subsidi BBM, yang selama ini dinikmati masyarakat golongan mampu, untuk membangun infrastruktur jalan, dam, pelabuhan, jaringan rel kereta api di seluruh Indonesia yang justru sangat diperlukan masyarakat yang lebih luas.

Presiden misalnya mengungkapkan keadaan perairan Indonesia sebelum adanya gebrakan penenggelaman kapal asing yang ditengarai mencuri ikan di perairan Indonesia. “Kalau malam hari, di perairan Maluku itu seperti pesta, penuh lampu. Itu kapal-kapal asing yang sedang mencuri ikan,” ungkap Presiden.

Presiden menyatakan ingin membuktikan kebenaran informasi tersebut dan berminat menyaksikan langsung di lokasi, tetapi oleh stafnya disarankan untuk tidak nekat blusukan ke perairan Maluku. Solusinya adalah foto satelit yang menunjukkan “pesta” kapal asing itu benar adanya. “Lagi pula kalau saya ke sana (perairan Maluku) sekarang, kapal-kapal asing itu sudah tidak ada. Kapok,” kata Presiden.

Meski demikian, Presiden tetap meminta dan “menagih” Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk menenggelamkan 100 kapal asing yang tertangkap tangan sedang mencuri ikan di perairan Indonesia. “Ada 38 lagi kapal asing yang akan ditenggelamkan,” kata Presiden, “Saya maunya tetap 100. Tetapi sekarang mungkin sudah sulit menangkap kapal asing sebanyak itu.”

Kepada penulis warga, Presiden juga mengungkapkan hal-hal yang dianggapnya lucu terkait pengangkatan Susi Pudjiastuti ketika berdiskusi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Presiden mengaku sudah mempelajari riwayat hidup Susi dari A sampai Z, termasuk karier pendidikannya. Pak JK, kata Presiden, bertanya soal pendidikan Susi yang “hanya” lulus SMP. “Tetapi saya katakan, meski lulus SMP, Ibu Susi menguasai lima bahasa asing, Inggris, Jerman, Perancis... padahal waktu itu saya asal sebut saja,” kata Presiden sambil tertawa.

Hal sensitifpun, semisal soal pengangkatan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan, Presiden bicara apa adanya. “Saya harus menghitung dengan tepat, makanya keputusannya agak lambat. Ini masalah politik yang rentan pemakzulan.” Kali ini Presiden bicara tanpa tawa. Serius. Juga soal kritikannya terhadap Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) saat Konferensi Asia-Afrika yang dianggap tidak bisa berbuat banyak di sejumlah wilayah konflik, Presiden mengaku tidak harus takut terhadap pemilik hak veto, termasuk Amerika Serikat. “Memang kenyataannya (PBB) begitu kok,” katanya.

Tentang pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba, Presiden mengingatkan bahwa itu keputusan pengadilan dan eksekusi seharusnya dilaksanakan pada masa pemerintahan sebelumnya. Untuk penolakan grasi dan imbauan pemimpin negara-negara yang warganya dihukum mati, Presiden mengaku mendapat tekanan sangat berat. Lobi pun gencar dilakukan. Tetapi, kata Presiden, dirinya selalu menjelaskan mengenai betapa krisisnya rakyat Indonesia oleh narkotika akibat ulah gembong narkoba.

Presiden juga bicara soal alasan pemberian grasi kepada sejumlah tahanan politik Papua. Menurut Presiden, harus ada pendekatan lain yang lebih menusiawi kepada rakyat Papua. Dia berjanji minimal tiga kali dalam setahun akan mengadakan kunjungan kerja ke provinsi paling timur Indonesia itu.

Peristiwa lain yang berkesan dan diceritakan kepada penulis warga Kompasiana adalah mengenai tanda tangannya di Perpres yang ramai diberitakan. Perpres itu mengenai tunjangan uang muka pembelian kendaraan bagi pejabat negara yang naik dari Rp116,6 juta menjadi Rp210,9 juta, bertepatan dengan kenaikan harga BBM. Menjadi heboh manakala Presiden mengaku tidak membaca terlebih dahulu apa yang harus ditandatanganinya.

Menurut Presiden, adalah tugas kementrian terkait dan sekretaris negara yang menyortir dan membacanya secara detail sebelum ia menandatanganinya.

Presiden merentangkan kedua tangannya dari atas sampai bawah untuk menggambarkan setumpuk dokumen yang harus ditandatanganinya setiap hari, yang tumpukannya bisa melebihi satu meter. “Lha kalau saya baca semua dokumen itu, Presiden Tata Usaha namanya,” kata Joko Widodo, kali ini sambil tertawa.

***

Catatan: Sebagian jawaban saya di atas sudah termuat di Harian Kompas dengan judul "Presiden Tata Usaha", Mei 2015 dan dimuat kembali di Selasar karena menjawab pertanyaan yang diajukan.