Estiningsih Mewakili Kebiadaban Kita

Sabtu, 24 Desember 2016 | 06:16 WIB
0
476
Estiningsih Mewakili Kebiadaban Kita

Kelahiran mata uang baru melahirkan masalah baru. Di antara masalah paling serius, saat para pahlawan menjadi sasaran penghinaan oleh generasi penerusnya sendiri, yang hanya menikmati kemerdekaan yang pernah mereka rebut dengan darah hingga nyawa.

Cut Meutia, menjadi salah satu nama pahlawan dari Aceh, yang menjadi salah satu figur yang dicantumkan Bank Indonesia dalam salah satu nominal terkini di lembaran rupiah.

Semestinya, akan ada apresiasi karena adanya seorang pahlawan dari kalangan perempuan yang dimunculkan dalam uang yang notabene akan digunakan dalam keseharian masyarakat. Bahwa, perempuan di negeri ini pun tak ketinggalan andil dalam menegakkan negara ini. Sayangnya, ia dihina justru oleh salah satu cucunya di negerinya sendiri, dan juga dari kalangan perempuan.

Dwi Estiningsih, nama "sang cucu" yang tampaknya memang sangat salehah. Berstatus dosen, dan notabene berpendidikan tinggi. Menempuh pendidikan hingga magister, katanya.

[irp posts="2343" name="Uang Baru Bukan untuk Keributan Baru"]

Apa dilakukannya, karena gambar Meutia yang beredar dan berada di lembar rupiah tidak berhijab, tanpa kerudung dikenakannya, justru melecehkan pahlawan tersebut.

Estiningsih sendiri adalah perempuan. Sekali lagi, dia perempuan. Sayang sekali, caranya menghargai sesama perempuan pun masih terpagari hanya oleh selembar kain di kepala, dan terkesan menafikan apa yang ada di dalam kepala.

Tak heran jika kritikan yang bermunculan kepadanya, Estiningsih, banyak yang berkisar protes karena latar belakangnya sebagai pendidik, namun gagal menunjukkan karakter selayaknya pendidik.

Tapi, Estiningsih tidak sendiri.

[irp posts="2289" name="Apa Penting dan Perlunya Berpikir Minoritas?"]

Penikmat kemerdekaan negeri ini yang gagal menghargai pahlawannya masih berselemak di tanah yang pernah ratusan tahun dikungkung penjajahan ini.

[caption id="attachment_2368" align="alignleft" width="205"] Kebiadaban kita atas para pahlawan - Gbr: Ist[/caption]

Kasus Frans Kaisepo, pahlawan nasional asal Papua, yang juga tercantum di salah satu rupiah terbaru diluncurkan, pun turut menjadi sasaran.

Tak sedikit yang mengata-ngatainya dengan nada rasis; dari yang menyinggung soal wajahnya, namanya yang tak populer, hingga latar belakangnya sebagai orang Papua. Mereka tidak tahu, sosok yang mereka rendahkan itulah yang menjadi pelopor dalam mengenalkan adanya negara baru bernama Indonesia pada 1945. Dia dan beberapa temannya juga yang lebih dulu mengibarkan merah putih di Papua.

Sayang sekali, perbedaan telah menjadi alasan untuk membenarkan penghinaan. Mungkin seperti inilah kehinaan kita sendiri, yang sebenarnya hanya menjadi penikmat saja dari sebuah kemerdekaan yang susah payah dikejar.

Andai mata kita cukup terbuka. Kemerdekaan itu diburu tanpa sempat memikirkan apa pakaian terpantas yang dapat dikenakan, atau bagaimana mengoperasi wajah agar terlihat cukup tampan dan memesona untuk dipandang.

Mereka, para pahlawan itu tak ada waktu memikirkan memoles tubuh dan wajah seperti Estiningsih dapatkan saat negeri ini sudah merdeka. Mereka hanya dapat mencurahkan pikiran dan tenaganya pada bagaimana melepaskan kuku penjajah dari negerinya.

Ah, Estiningsih itu bagian dari wajah kita hari ini. Wajah yang terlalu peduli pada bagaimana terlihat elok dan cantik, dan leluasa mengucurkan rupiah demi rupiah hanya agar terlihat "wah". Tapi kita menjadi pemilik akal, pikiran, dan hati yang terlalu sempit; hanya mengukur pahlawan dari pakaian yang dikenakan, dan dari bentuk wajah yang diberikan Tuhan.

Bangsa kita sudah hina. Kita sendiri yang menghinanya, yang terlihat dari bagaimana kita menghina mereka yang

[caption id="attachment_2369" align="alignright" width="169"]

Wajah kebiadaban lainnya[/caption]

telah menjadikan nyawanya sendiri sebagai taruhan; untuk anak-anak dan cucu mereka yang tidak tahu berterima kasih ini.

Ah, andai kita cukup berterima kasih, dan mengeluarkan air mata; mengenang bagaimana kesulitan mereka di zaman itu, dan seperti apa mereka menahan perut yang lebih sering kosong daripada terisi, hanya agar merdeka. Kita hari ini hanya anak-anak durhaka, yang sama sekali tidak tahu berterima kasih, dan buta untuk melihat jernih bahwa sejarah negeri ini terbentuk dari begitu banyak perbedaan; kepercayaan hingga bentuk wajah.

Hari ini, hanya karena kepercayaan tertentu lebih banyak yang meyakininya, maka keangkuhan dan kepongahan pun dikesankan sebagai sesuatu yang paling layak untuk dibenarkan.*