Kita dan Ramalan Soekarno

Jumat, 23 Desember 2016 | 06:21 WIB
0
440
Kita dan Ramalan Soekarno

Tepatlah kiranya ramalan Soekarno, bahwa musuh yang akan dihadapi penerusnya kelak adalah sesama saudaranya sendiri. Itulah yang kini terpampang jelas di depan hidung kita sendiri.

Tak dapat ditampik, kepentingan dan ambisi telah mengubah banyak hal. Egoisme telah membuat kita mengorbankan begitu banyak hal. Bahkan negara pun digadaikan, nama baik direntalkan, sedangkan kehormatan entah sudah seperti apa lagi bentuknya.

Ini bukan soal bagaimana kecenderungan yang lebih sering kita perlihatkan saja, tapi juga tentang sesuatu yang telah menyatu dengan kita.

Betapa, karena alasan beda suku dan beda agama telah menjadi fakta yang sering kita jadikan alasan untuk saling menjatuhkan hingga menyingkirkan. Ada kecenderungan, yang sama dengan kita yang terpantas untuk mendapatkan segalanya.

Itu yang dengan berbusa-busa telah disitir dan disindir oleh banyak tokoh bangsa.Dari Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Dawam  Raharjo, Romo Mangun, dan berbagai tokoh lainnya.

Sepertinya kuping kita telah ditulikan dengan kecintaan berlebihan kepada diri sendiri dan apa saja yang melekat dengan ego kita sendiri.

Kecintaan terlalu kuat itu acap kali melemahkan. Melemahkan mata hati, melemahkan nalar, dan melemahkan dalam banyak hal. Apakah  ini mengada-ada?

Ya, mungkin mengada-ada. Tapi bisa dilihat juga, bagaimana percaturan politik dan kualitas politikus yang selama ini acap casciscus, di tivi, koran, dan di hampir semua media.

Apa yang mereka perankan, apa yang mereka perlihatkan, masih dapat dibilang hanya sedikit yang betul-betul mengarahkan dan mengerahkan pikiran dan tenaganya hanya untuk menghancurkan yang mereka pandang sebagai lawan.

Contoh sederhananya di saat negara sedang berhadapan dengan ancaman terorisme, misalnya. Ada saja kalangan yang hampir selalu  membawa-bawa topik "pengalihan isu", karena melihat semuanya seakan seperti dagelan saja.

Parahnya lagi, upaya pemelintiran yang mengarah pada pelecehan aparat negara itu dianggap sebagai sebuah sikap kritis yang diperlukan karena alasan sebagai alat kontrol agar kekuasaan tak semena-mena. Apakah hanya itu caranya? Tidak adakah cara yang lebih bermartabat, atau lebih mendidik?

[irp posts="2348" name="Telolet dan Bangsa Yang Jenaka"]

Jika menyimak kecenderungan, pola-pola rendah dan merendahkan nalar masyarakat itu lebih berbahaya, tapi justru itu lebih sering dijadikan senjata. Sebab dengan pola itu, masyarakat yang memang sebagian besar dapat dikatakan berpendidikan terbatas, gampang  terhasut, lebih mudah disetir.

Situasi ini agak mirip dengan yang terpampang dalam lembaran-lembaran sejarah saat negara ini masih di tangan pemerintahan kolonial. Mereka tak tergerak untuk membuat masyarakat terdidik, berpengetahuan baik, melainkan terkesan menikmati kedunguan yang meraksasa. Sebab, manusia hanya mudah untuk dikuasai lahir batin ketika mereka betah dalam kedunguan itu.

Itulah yang kini terjadi, dan dilakukan oleh hampir semua kalangan yang merasa punya pengaruh; entah politik, sosial, ataupun religi.

[irp posts="2254" name="Isu Makar Menyatu Dengan Gerakan Anti Ahok"]

Di sana, pemerintah justru terkesan tak sepenuhnya berdaya. Pemerintah seperti dimakan perasaan serba salah. Walhasil, berbagai isu yang yang melecehkan negara dan simbol-simbolnya, seperti terbiarkan begitu saja.

Ya, mungkin di sana ada niat mulai. Agar rakyat tetap bebas berekspresi, tetap menunjukkan diri apa adanya, dan merdeka dengan  pikiran sendiri. Ah, andai kebebasan itu betul-betul sesuatu yang berkelas dan bermanfaat. Faktanya, lebih banyak yang tanpa berdosa memilih mendangkalkan nalar publik.

[caption id="attachment_2054" align="alignleft" width="300"] Ahmad Dhani (Foto: Detik.com)[/caption]

Proses pendangkalan itu memang acap dianggap tak terlalu berbahaya dibandingkan pendangkalan lain-lainnya, terutama yang berbau agama yang kerap diposisikan sebagai hal di atas segalanya--bahkan di atas kemanusiaan itu sendiri. Maka itu, pendangkalan itu juga yang terus dilakukan.

[irp posts="2343" name="Uang Baru Bukan untuk Keributan Baru"]

Siapa yang melakukan? Ya, seringnya mereka yang terlanjur diposisikan sebagai tokoh publik, sebagai tokoh agama, yang kata-kata mereka tidak diberikan ruang untuk digugat oleh pengikutnya kecuali harus diikuti begitu saja. Mereka memosisikan diri sebagai nabi yang merdeka dari kesalahan.

Sialnya, di sanalah sebagian pengikut memilih menjadi budak, yang hanya mendengar tanpa menimbang ulang. Tak peduli bahwa pilihan itu hanya akan membunuhnya, dan menghancurkan apa saja di sekelilingnya.

Uhm, ini hanya gerutuan yang tak terlalu penting. Ini dapat saja direnung-renungkan lagi, atau bahkan dilupakan sama sekali. Tak masalah, selama kita tak betul-betul lupa, kita ini masih sebangsa.

***