Waspadai Ulah Nakal Spin Doctors Dalam Aksi 212

Jumat, 2 Desember 2016 | 08:53 WIB
0
886
Waspadai Ulah Nakal Spin Doctors Dalam Aksi 212
sumber gambar: https://www.japantimes.co.jp/opinion/2015/05/30/cartoons/abe-spin-doctor/#.XAJXQWgzbIU

Perang asimetris di linimasa terkait demonstrasi 212 yang bakal dihelat di Jakarta hari ini, memang tak bisa dihindari. Demonstrasinya malah sudah lebih dulu ramai di media sosial. Tawuran pendapat dan adu argumen terjadi di kanal-kanal media sosial seperti Facebook dan Twitter. Bahkan, sebagian pertikaian virtual itu menjadi rujukan pemberitaan media mainstream.

Alhasil, mau tak mau, suka tak suka, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan dilematis bahkan absurd, antara menjaga silaturahim virtual atau kekeuh membela yang didemo atau pendemo. Kita pun mengikuti alur destruktif theatre of simulacrum yang dirancang para aktor secara terkonstruk.

Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra, kerap menegaskan peristiwa semacam ini sebagai simulasi realitas. Tindakan yang lahir dalam term simulacra (hiperealitas), memang bertujuan membentuk persepsi publik yang cenderung palsu atau seolah-olah mewakili realitas persepsi mayoritas.

[irp posts="2168" name="Demo 212; Unjuk Rasa, Unjuk Soliditas, dan Unjuk Kelemahan"]

Tindakan semacam ini, percaya atau tidak, memang dijalankan secara terkonstruk, cenderung sporadis namun terukur jelas sasarannya. Para desainer simulacra ini, tentulah profesional. Mereka bekerja dengan cara membuat riakan bahkan keriuhan tanpa memperdulikan pemaknaan dan pertautan simbolik yang logis. Lalulintas persepsi kerumunan yang mandek tanpa tahu sabab-musababnya, itulah goal pekerjaan para kreator simulacra.

Siapa mereka? Dalam istilah political public relations, mereka dikenal sebagai spin doctors; They operate on the public mind. Mereka adalah kreator-kreator keberpihakan. Realitas maupun fantasi yang mereka kelola, akan didistribusikan langsung dalam pikiran kita secara masif lewat kanal-kanal media, dari media arusutama hingga media sosial.

Nah, terkait demo 212 ini, sudah pasti menjadi ruang kerja para spin doctors. Dari 4 tipopologi pengguna internet (diseminator, publisis, propagandis, dan hactivis), dua di antaranya adalah tipe spin doctors yakni propagandis dan hactivist.

Propagandis adalah spesialis “tukang rusuh” yang mampu melegitimasi atau mendelegitimasi isu-isu strategis. Psyco game adalah keahlian mereka dengan target bubble politics. Dari demo 411 pun, para spin doctors klan propagandis ini sudah menyesaki ruang publik dengan kabar-kabar nonakurat dan isu-isu yang menggelinding bak bola salju.

Contoh paling verifikatif, ya, menyoal aksi demo 411 yang dipersepsikan kacau gara-gara polisi yang represif, dan sekelompok perusak taman dan bagi-bagi uang. Terlepas benar tidaknya segelintir isu itu, yang jelas pikiran publik dibelah dua antara pro demonstran dan haters pemerintah. Mereka juga kadang memproduksi ujaran-ujaran kebencian atau gambar-gambar provokatif.

Selain itu ada para Hactivist. Saya sebut tipe ini, “pasukan elite”. Tugasnya berat, salah satunya meretas informasi rahasia, menyebar isu-isu sensitif, dan berfungsi sebagai alat perlawanan terhadap rezim yang berkuasa. Bisa bayangkan ketika Kepolisian sebagai institusi pelindung masyarakat pun terjebak "kreativitas" mereka soal makar?

Meskipun isu makar itu bagi saya hanyalah "lelucon", tapi isunya mampu memantik sentimen masyarakat tuk lebih solid lagi. Solid dalam ketidakpercayaan publik akan kinerja kepolisian menangani kasus Ahok. Makanya, aksi yang membawa simbol sang legenda Wirosableng ini, langsung disambut secara simbolik sebagai suatu tindakan heroisme bela agama jilid III.

[irp posts="2150" name="Jangan Sakiti NKRI dengan Gerakan Pemisahan atau Pembubaran!"]

Dampak dari kinerja spin doctors ini, dalam teori simulacra dapat dibagi dua;

Pertama, sebagai reality by proxy yang lahir dari ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Polisi bekerja atas nama penegakan hukum, namun di sisi lain lamban menangani kasus ini lantaran terjebak dalam tarik-menarik kepentingan. Sudah bukan rahasia umum, delik kasus Ahok ini dianggap tak adil bagi sebagian orang lantaran dianggap ada perlakuan istimewa di mata hukum.

Begitupun para pembela agama yang mengaku "berjihad" melawan penghinaan Alquran, bertindak mewakili agama yang kudus, namun kerap realitasnya berlawanan. Mereka juga tampil sebagai provokator pancasila yang agamais ini. Kerap pula membajiri khutbah-khutbah keagamaan dengan sebaran kebencian atas kaum lainnya. Kadang tindakannya pun melukai adab keberagamaan masyarakat Indonesia yang pluralis ini.

Meski begitu, tak dinafikan juga bahwa sebagian besar peserta dari aksi demo 212 ini pun banyak yang demonstran murni, dimana mereka tidak tersandera kepentingan manapun. Untuk mereka, salut 4 jempol. Juga ada upaya-upaya persuasif dari kepolisian dalam menyelesaikan kasus penistaan agama ini.

Kedua, solusi imajiner yaitu proses menjadikan sesuatu yang non-empiris, serta mengobjekan kesan lewat kecanggihan teknologi simulasi, sehingga menjadi fakta yang dapat dilihat dan dirasakan publik. Agak serem, sih, saat kita tak lagi mampu membedakan mana realitas sungguhan dan mana realitas rekaan.

Akibat realitas sungguhan dan realitas palsu sering dihadirkan dalam satu frame, maka keduanya pun menjadi kabur maknanya. Publik tak tau mana yang mesti "diimani" sebagai fakta umum, sedangkan pilihannya cuma dua, menjadi haters atau lovers. Posisi tengah adalah posisi paling rawan fitnah, lantaran dianggap plin-plan.

Jadi, sekali lagi, dalam hal ini, kita mesti lebih bijak memamah informasi yang berseliweran di sosial media dan media-media arus utama. Kesalahan mengonsumsi informasi, berakibat fatal pada obesitas subjektif yang dapat menganggu modal-modal sosial kita. Lantaran termakan berita-berita tak jelas, teman tak kenal, lawan malah disayang.

Hati-hati, para spin doctors itu, berkantor dalam pikiran Anda.

***