Antara Diplomasi Jokowi, Kuda Prabowo dan Lebaran Kuda

Rabu, 23 November 2016 | 12:00 WIB
0
689
Antara Diplomasi Jokowi,  Kuda Prabowo dan Lebaran Kuda

Jika ditanyakan, hewan apa paling populer di Indonesia pada tahun 2016 ini, maka saya akan menunjuk ke kuda.

Hewan tunggangan ini kembali berada di tingkat elite, terlebih saat Presiden Joko Widodo pun menungganginya saat sowan ke Hambalang baru-baru ini, bersilaturahmi dengan Prabowo Subianto, yang sama-sama menunggangi kuda masing-masing, bukan saling menunggangi.

Patut dicatat, sejak dahulu kala pun kuda sejatinya memang menjadi simbol kegagahan sendiri. Ia tak hanya digunakan prajurit di medan perang, atau dinaiki jenderal saat memberikan komando, tapi juga saat seorang raja berburu atau ia sendiri harus turut berperang.

Walaupun, iya, raja yang betul-betul ada di medan tempur lebih banyak terdapat di cerita dongeng saja. Alasannya sederhana, untuk apa repot-repot mengangkat panglima jika urusan tempur hingga dapur pun diurus presiden, eh raja.

Tapi sekali lagi, raja memang identik dengan kuda. Terlepas belakangan, kuda justru tak identik dengan presiden.

[irp posts="1420" name="Efek Prabowo Subianto di Pusaran Pilkada DKI Jakarta"]

Kuda saat ini lebih akrab dengan mantan presiden, hingga muncul istilah "lebaran kuda". Atau, dengan mantan calon presiden, yang memang disanjung meski mengalami kegagahan dan terbukti sebagai pecinta kuda, meski ia terlihat tak tertarik ikut-ikutan mengkhayalkan kuda bersalam-salaman di hari lebaran.

Yang jelas kuda telah berada di titik elite lagi.

Padahal sebelum tahun ini, kadar elite kuda sempat jatuh. Soekarno, Soeharto, B.J Habibie, Abdurrahman Wahid, hingga Megawati Soekarnoputri tak satupun meniru-niru Napoleon Bonaparte yang bergaya dengan kedua kaki depan kuda tunggangan terangkat tinggi-tinggi untuk menegaskan kegagahan. Tidak ada.

Kok, tak dimasukkan nama Susilo Bambang Yudhoyono? 'Kan dia juga mantan presiden negara ini yang tidak pernah bergaya dengan pose ala Napoleon? Beliau beda.

Kenapa Esbeye beda? Saya juga perlu banyak tanya, mewakili kalangan yang terlalu banyak tanya tapi acap terlalu sedikit tampil sebagai pemberi jawaban.

[caption id="attachment_1711" align="alignleft" width="368"] Jokowi dan Prabowo (Foto: Merdeka.com)[/caption]

Patut dicatat, Pak Esbeye memiliki sangat banyak kuda yang dimainkan. Sejak ia belum menjabat presiden, terpilih sebagai presiden, terpilih lagi, sampai ia sendiri menyandang status kembali sebagai pemilih saja. Tidak lebih.

Ingat, kuda yang dimainkan, ditunggangi tanpa perlu diduduki punggungnya. Hanya kuda itu yang tampaknya dipelihara oleh beliau. Sebagian dibiarkan ke alam liar, seperti juga sebagian lainnya justru dibiarkan check-in ke hotel-hotel tanpa terusik untuk check-out cepat-cepat. Kelas prodeo, sih hotelnya.

[irp posts="1981" name="Prabowo Takkan Jegal Jokowi, Memangnya Siapa Yang Mau Jegal?"]

Hotel kelas itu satu sisi lebih elite daripada hotel melati. Karena memang banyak yang sebelumnya elite masuk ke sana tanpa harus bayar meski berdompet tebal dan mahalebar, ketika hotel kelas melati justru lebih banyak didatangi orang-orang yang memiliki ukuran dompet mirip-mirip dompet sayalah yang tak lebih besar dari ukuran saku.

Agak bedanya, mereka dari kalangan pejabat yang terbukti bersalah hingga masuk ke hotel kelas prodeo itu tak lagi elite kalaupun kelak sudah check-out. Agak lebih buruk daripada copet jalanan. Itu yang menyedihkan.

Kenapa, karena copet jalanan setelah keluar dari hotel kelas prodeo itu justru menjadi lebih elite dibandingkan sebelumnya: dipandang lebih matang, lebih berpengalaman, hingga lebih hati-hati dalam melanjutkan karier copetnya.

Kalangan copet itu, sebelumnya hanya kelas copet biasa, selepas dari sana justru mendapatkan "kenaikan pangkat luar biasa": menjadi pelatih copet amatir, membawahi copet pemula, dan menjadi jenderal yang menyiapkan segala hal dalam menggempur calon korban di bus, angkot, bangku taman, atau trotoar dan pasar-pasar.

Mereka mempermalukan kuda-kuda yang pernah dimiliki Esbeye! Ini masalah, hingga terminologi "lebaran kuda" pun seketika populer, booming, dan viral di jejaring sosial. Karena dalam istilah itu ada harapan tulus dan suci agar saat lebaran, di mana tradisi maaf memaafkan berlangsung, negara juga akan memaafkan kuda-kudanya.

Sekali lagi, itu adalah kuda berkaki dua, bukan empat. Yang betul-betul memiliki kuda yang bukan kiasan, ya Prabowo Subianto. Walaupun jika bermain-main kiasan, dia memang punya juga kuda-kuda berkaki dua, yang mengenal pesta, wanita, hingga harta.

Prabowo memang kalah di Pilpres 2014 lalu, tapi belum ada "kuda" penting yang dimainkan di dalam permainan catur politik yang termakan oleh lawan, atau aparat di bawah lawan.

Bahkan jika dibandingkan sahabat setia kalangannya, seperti Partai Keadilan Sejahtera yang kerap apes; tak pernah ke lokalisasi pelacuran tapi justru tertangkap kamera menyaksikan video porno. Menolak riba dan bunga bank, tapi tak sedikit yang gagal menolak untuk korup.

[irp posts="492" name="Melihat Jokowi, Prabowo, dan SBY Bertarung di Pilpres 2019"]

Bahkan di sisi riwayat korup, Gerindra yang hampir tak berbau agama terbilang lebih bersih saat ini. Walaupun partai ini tak latah menolak riba atau lokalisasi, tapi masih lebih eleganlah. Fadli Zon sebagai salah satu elite partai ini, sangat kebapakan dan sangat perhatian kepada anak gadisnya. Betul-betul seorang politisi yang mampu mengajarkan ilmu "parenting" luar biasa, alias di luar yang biasa terjadi, hingga alat negara pun bisa disulap menjadi sopir anaknya.

Taoi lagi-lagi Fadli Zon terbilang lebih pelit dibandingkan koleganya dari PKS. Jika Fadli memanjakan anaknya saja, ada mantan presiden PKS bahkan mampu memanjakan anak gadis orang lain. Betapa sebuah kasih sayang yang luar biasa bukan? Kiranya, mungkin kelak Fadli juga bisalah membuka sayap, agar tak hanya memanjakan anak gadis sendiri, tapi juga tertarik memanjakan anak-anak gadis orang seperti mantan presiden partai sahabatnya.

Fadli memang salah satu "kuda" bagi Prabowo. Ia tipe "kuda" yang memiliki kualifikasi dan kualitas jauh di atas kuda lainnya; bisa mengikik dan siap kapan saja untuk menendang.

Tapi Jokowi saat bertandang ke Hambalang tak meminta Fadli agar dapat turut ditungganginya, cukup kuda alamiah saja. Fadli terlalu ilmiah.

[irp posts="1684" name="Salero, Kuda Prabowo, Senang Karena Badan Jokowi Ringan"]

Menghadapi "tunggangan" sekelas Fadli, hanya Prabowo yang paling mengerti. Sekuat dan segagah apa pun seekor kuda, sepanjang dapat ditunggangi, maka mudah dikendalikan. Konsep ilmiah Prabowo lebih praktis, seekor kuda boleh makan apa saja dan bergerak ke mana saja, tapi tali kendali tak boleh lepas darinya.

Di sinilah terketemukan alasan di balik kunjungan Jokowi ke "kandang kuda" Prabowo, dan berlanjut kunjungan Prabowo ke istana negara tanpa membawa kuda tergagah yang dimilikinya.

Sikap lapang dada dan besar hati Prabowo terlihat di sini. Ia menyambut Jokowi ke tempatnya selayaknya sahabat, bukan musuh meski pernah bersaing. Ia pun tak merasa rendah diri melakukan kunjungan balasan.

Bagi Prabowo ada prinsip tegas, negara adalah sesuatu yang lebih penting daripada "kandang kuda". Sementara Jokowi pun memahami sekali, bahwa untuk menundukkan kuda seberingas apa pun, dibutuhkan tangan ahli yang telah melatih dan memberi makan kuda-kuda tersebut.

Kaitan dengan Pak Esbeye? Beliau sejauh ini tak terlihat sebagai pengasuh kuda yang lihai. Ketidaklihaian ini bisa membahayakannya, sebab bukan cerita baru jika tali kekang kuda berada di tangan tak tepat justru kaki kuda yang terarah ke dadanya.

Itu pedih! Untuk ini, kiranya Anda dapat sedikit membayangkan ekspresi pedangdut Mansyur S merapatkan satu tangan ke dada saat menyanyikan lagu-lagu berisikan kekecewaan. Dan, selesai membaca artikel ini, Anda bisa terkekeh alih-alih mengerutkan kening.

***