Jin Berpikir Maka Saya Berpikir, Inilah Beda Bang Ali dengan Ahok

Senin, 21 November 2016 | 15:59 WIB
0
434
Jin Berpikir Maka Saya Berpikir, Inilah Beda Bang Ali dengan Ahok

Dulu sewaktu masih muda, suatu saat saya menyutradarai lenong betawi yang pemainnya anak-anak muda. Walaupun secara garis besar masih menggunakan pakem lenong, tapi ada beberapa modifikasi. Untuk urusan musik pengiring, saya menyewa group musik lenong dari pinggiran Jakarta.

Saya ingin group musik itu juga ikut latihan barang satu ada dua kali, tapi resikonya mau latihan kek, mau pentas kek, bayarannya sama. Maka diambil jalan tengah, saat sesi latihan cukup diwakili oleh pemain musik gesek tehyan atau kong ahyan, dan kendang.

Saya minta beberapa contoh lagu, barangkali ada yang cocok buat beberapa adegan. Ketemu satu lagu. Saya tanya, apa judulnya. “ Jin Berpikir,” jawabnya. Saya kira dia becanda, tapi memang betul lagu itu judulnya “Jin Berpikir. “ Ada satu lagu lagi judulnya "Jin Murka".

Memang dasar anak muda kurang piknik budaya, lagu instrumental itu sebenarnya sudah cukup populer di kalangan seni musik betawi. Judul lengkap lagu itu, “Mars Jin Berpikir,” "Mars Jin Murka", biasa juga dimainkan oleh group tanjidor.

[irp posts="109" name="Siapa Bilang Ahok Tak Bisa Dikalahkan?"]

Walhasil, bukan hanya jin yang berpikir, saya juga ikutan berpikir, siapa penciptanya? Bagaimana dia bisa punya ide memberi judul rada aneh kaya gitu? Kira-kira apa yang dipikirkan jin? Siapa yang nyuruh mikir? Waktu itu kan Cak Lontong belum jadi apa-apa, mungkin juga belum lahir.

Sekarang gantian saya berpikir, memikirkan jin yang berpikir. Apakah Jin sedang mengamalkan falsafah cogito ergo sum, "aku berpikir maka aku ada" yang diusung filsuf Prancis, Descartes? Berarti Jin itu sedang mencari kebenaran dengan meragukan semua hal, meragukan apa saja yang ada di sekelilingnya, termasuk dirinya.

Kalau itu soalnya, biarlah jin kesurupan Descartes. Lagipula saya kurang sreg dengan aliran rasionalisme wa bil khusus yang dikaitkan dengan agama. Saya mau ambil premis Descartes secara kampungan saja. Saya mau meragukan satu hal, dan meyakinkan hal lainnya.

Saya meragukan pendapat yang bilang, gubernur DKI sekarang sebagai reinkarnasi Ali Sadikin. Saya yakin itu tidak tepat.

Kalau soal marah, ibu rumah tangga yang telat menerima uang gajian juga marah. Kalau soal galak, preman juga galak. Selfi sebagai tanda dicintai rakyat, Caesar dengan hanya modal goyang oplosan juga dulu banyak yang minta selfi, Arya dengan hanya modal marahin Eyang Subur juga banyak yang minta selfi.

Saya ingat dulu ketika sekolah saya diliburkan, para guru dapat undangan tatap muka dengan gubernur Ali Sadikin di sebuah bioskop di pasar kebayoran lama. Ibu saya bukan guru tapi juga dapat undangan. Saya masih ingat kegembiraan yang luar biasa terpancar dari wajah ibu saya seolah tak sabar ingin bertemu dengan gubernur DKI yang walaupun terkenal galak tapi sangat dicintai rakyat. Anak-anak sekolah tentu saja tak dapat undangan, tapi tidak menyurutkan saya dan teman-teman untuk melihat langsung wajah sang Gubernur. Terpaksa saya dan kawan-kawan melompat pagar bioskop.

Saya juga berpikir, gubernur DKI yang sekarang ini hanya sibuk bicara soal pembangunan fisik. Bang Ali dulu juga membangun fisik dengan proyek MHT-nya, tapi dia tidak melupakan membangun budaya, kesenian. Jasa Bang Ali sangat besar mengangkat kesenian teater betawi, lenong dan topeng betawi ditempatkan di tempat terhormat, Taman Ismail Marzuki. Tempat yang selama itu dianggap sebagai tempat berkumpulnya strata tertinggi para seniman, yakni para dewa kesenian yang sulit dijangkau oleh seniman pinggiran seperti lenong dan topeng betawi

Melalui pembinaan yang terkonsep dengan baik, akhirnya lenong betawi menjadi demam baru warga Jakarta, menembus kalangan papan atas, menggugah para anak muda pelaku kesenian, termasuk saya untuk berlenong ria, hal yang sebelumnya seperti mustahil.

[irp posts="907" name="“Risalah Istiqlal” FPI Makin Mantapkan PDIP untuk Segera Dukung Ahok"]

Apa yang dibuat gubernur sekarang? Mengurangi anggaran dinas pariwisata dan kebudayaan. Memang sih ada kesalahan manajemen anak buahnya yang ngurusin kebudayaan, tapi 'kan mestinya anak buahnya yang dijewer, bukan mengorbankan anggaran untuk membangun kebudayaan.

Ali sadikin juga dikenal sangat peduli pada bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa, wa bil khusus ibu kota sebagai pusat transit pariwisata. Dia memerintahkan mengganti kata asing dengan bahasa Indonesia, dia memberi contoh dengan mengganti Jakarta Fair menjadi Pekan Raya Jakarta, Super Market dengan Pasar Raya, Plaza dengan Pusat perbelanjaan. Tentu saja ada pengecualian untuk nama brand baik yang komersil maupun non komersil, seperti nama perusahaan, nama rumah ibadah, dan sejenisnya.

Setelah Bang Ali lengser, kegemaran bahasa asing mulai mewabah kembali sampai dengan gubernur yang sekarang dengan memberi contoh istilah asing, Three in One, Bus way, Car Free Day, Car Free Night, dan banyak lagi yang lainnya. Jreng…

Dengan apa Bang Ali membangun? Sebagian memang dengan uang judi. Itulah kontroversinya. 'Kan waktu itu Bang Ali nggak kepikiran buat ketawa ketiwi dengan pengembang sambil menengadahkan tangan minta kontribusi lima belas persen.

Itu cuma sebagain kecil perbedaan Bang Ali dengan gubernur sekarang, masih banyak contoh lain, silakan dilengkapi. Saya sedang berpikir.

***

Daru, jambe, 20092016