Spanduk, Pilkada DKI Jakarta dan Pengaruh Kuat Haji Lulung

Rabu, 16 November 2016 | 06:00 WIB
0
441
Spanduk, Pilkada DKI Jakarta dan Pengaruh Kuat Haji Lulung

Jika ditanyakan siapa figur di DKI Jakarta yang memiliki pengaruh kuat saat ini, maka saya pribadi akan spontan menjawab; "Haji Lulung!"

Kenapa? Bukan semata-mata karena dia terkenal sebagai tokoh yang konon membawahi sejumlah besar preman di kota metropolitan ini, bukan juga karena dia adalah salah satu anggota legislatif DKI. Melainkan, karena dia menyimpan keunikan tersendiri yang tak dimiliki para anggota dewan lainnya.

Ia memang bertampang --meminjam istilah Betawi-- agak garang, dan bahkan dapat dikatakan bandel. Itu menunjukkan karakternya sebagai seorang politisi pemberani, di sisi lain juga ia menunjukkan kekuatan dalam memegang prinsip.

Itu harus diakui sebagai kelebihan yang tidak sederhana.

Soal gerakannya dalam dunia politik? Nah, apakah dia sudah "bermain cantik" atau "terlalu nakal" sama sekali tak dapat divonis. Toh, terbukti dia selama ini belum pernah tercatat kedapatan sedang bermain nakal dengan perempuan manapun. Setidaknya begitulah yang dapat diberikan jempol, jika merujuk pada koran-koran lampu merah.

Lha, kok jadi ke koran lampu merah? Jangan sepelekan media itu, walaupun harganya mungkin tak lebih dari serebo, atau setara dengan koin yang acap Anda gunakan untuk kerokan. Tidak sesederhana itu.

Mau tak mau harus diakui bahwa sebagian besar masyarakat menengah ke bawah, yang memiliki jumlah berkali lipat dibandingkan kelas menengah ke atas, maka koran lampu merah menjadi salah satu referensi penting! Kok bisa?

Nah, Anda yang terbiasa bergaul dengan kalangan elite mungkin kurang memerhatikan fakta ini. Sementara saya yang terbiasa menghirup asap kendaraan di jalanan, dan kerap duduk di kaki lima, ya hapal sekali pemandangan seperti ini.

Anda tahu, jika berita pertama yang acap menggoda para pembaca koran-koran seperti itu, biasanya akan bau-bau mesum sedikit dan esek-esek sedikit. Cuma sedikit-sedikit sih, dan mereka takkan menggubris peribahasa bahwa yang sedikit itu lama-lama akan jadi bukit. Sebab ada bukit-bukit lain yang mampu memanjakan mata.

Jadi, jangan heran jika mereka akan terpaku lama di depan berita berjudul besar --terkadang jauh lebih besar dari kolom untuk berita itu sendiri, semisal; Uh-oh di Kamar Mandi, Sepasang Remaja Diarak; Enak-enak di Rumah Tetangga, Suporno Di-massa; Mendesah Kencang, Ketahuan Suami, Selingkuhan Lari Tunggang-langgang; atau, Suami tak Pulang-pulang, Suami Tetangga Datang Menggoyang...

Sebaiknya tidaklah diperkarakan soal kualitas berita, atau hal-hal lain yang terlalu melangit. Jangan permasalahkan bahwa itu mendidik atau tidak. Pasalnya, terkadang lewat koran-koran seperti itulah, mereka yang belum mendapatkan kesempatan "naik kelas" dari menengah ke bawah ke menengah ke atas, dapat melarikan gelisah dan berhenti sejenak untuk berkeluh kesah.

Soal pengaruh ke akhlak, ke moral, kembali ke lagu-nya Iwan Fals saja biar tak membuat Anda terlalu mengerutkan kening hingga pening; "Masalah moral, masalah akhlak, biar kami cari sendiri!"

[irp]

Ya, kembali ke persoalan Haji Lulung, dan kita memaksa menggunakan kacamata kita yang kita klaim sebagai kacamata terbaik, tetap saja takkan dapat dikenakan mereka. Sebab terkadang mereka yang Anda posisikan sebagai masyarakat grassroot atau apapun yang sejenis dengan itu, yang paling akrab maka itulah yang paling benar.

Jadi, jika Anda membeberkan berbagai temuan selayaknya Tim Pencari Fakta untuk sebuah kasus besar pun, takkan membuat mereka lantas berhenti memuja Haji Lulung. Sekalipun di film kartun Upin Ipin ada figur Mail yang mirip dengannya, bahkan lebih imut, takkan membuat mereka tergoda.

Di situlah Haji Lulung menancapkan pengaruhnya.

Jangan pertanyakan soal seberapa panjang kuku Haji Lulung untuk menancapkan pengaruhnya, karena koran-koran lampu merah memiliki kemampuan menjadi jembatan sekaligus jalan tol bagi beliau untuk berbicara dari hati ke hati atau dari lambung ke lambung-- karena di lambung itulah makanan berdiam dan mampu membuat orang-orang diam.

Lalu, kemarin hebohlah berita yang menyorot soal spanduk, yang konon melibatkan Haji Lulung. Katanya sih berisikan kata-kata yang menodai Pilkada DKI Jakarta.

Tapi lagi-lagi, itu bukanlah sesuatu yang luar biasa atau sesuatu yang asing, sebab mereka jauh lebih dulu akrab dengan berita-berita beraroma penodaan. Misal saja, ya begitu; Dinodai Ayah Tiri, Anak 13 Tahun Lanjutkan Uh-oh dengan Anak tetangga; Istri Tergoda Suami Tetangga, Suami Incar Janda! 

Ya, seperti berita-berita yang sering memanjakan mereka. Kita mau apa?

***