Presiden Donald Trump dan Tahta Canda Gedung Putih

Jumat, 11 November 2016 | 05:53 WIB
0
231

Donald Trump sahih terpilih sebagai presiden Amerika Serikat. Dia pun berubah wujud bak serigala bagi sekalangan domba. Ada yang gelisah, dilanda ngeri, hingga ada yang membayangkannya hingga terbawa mimpi.

Itu mirip canda. Bukan, tapi memang suatu candaan paling serius alias betul-betul candaan yang dikesankan dengan bahasa-bahasa terlalu serius.

Seharusnya, jika bercanda ya bercanda saja, jika serius ya serius saja. Jangan seperti saya yang ingin mencandai Amerika, tapi terpaksa serius.

Padahal saya sedang mendengar musik bertajuk "Soldier of Fortune", dan ingin mencandai malam yang kehilangan bintang oleh gelap yang terentang dan terasa makin panjang. Itu bukan puisi, tapi saya cuma ingin bilang Trump sudah turut bikin saya tak tenang.

Alhasil, saya harus beranjak ke lemari buku, dan membuka-buka lagi buku-buku lama. Lagipula, buku-buku lama itu terkadang seperti pacar lama, meski tak lagi pernah tersentuh tapi tetap terkenang jua.

Begitulah. Hap! Buku lama pun berpindah ke tangan saya --jangan jadikan hap-hap, itu bikin para perempuan menjerit jika para pria justru terkontaminasi selera Saiful Jamil.

Ya, buku itu adalah What Happened: Inside the Bush White House and Washington's Culture of Deception yang ditulis oleh Scott McClellan.

McLellan sendiri bukan sosok asing di Gedung Putih. Tapi ia memang asing dengan iklan deterjen pemutih, apalagi obat keputihan. Dia pernah jadi juru bicara di gedung itu, lumayan lama, dari tahun 2003 sampai 2006. Setara masa dibutuhkan pelajar SMA untuk mengubah statusnya menjadi mahasiswa jika tak pernah tinggal kelas.

[irp]

Apa yang istimewa dari buku itu? Keberadaan George W. Bush yang konon pernah menjadi horor bagi Amerika dan teror bagi dunia. Horor paling menakutkan adalah kebohongan, dan itu mengalahkan horor yang mampu diperankan oleh almarhumah Suzanna.

Apakah Bush memang melakukan kebohongan dengan sengaja, seperti misalnya saat menginvasi Irak dan memvonis Saddan Hussein memproduksi apa yang disebut "weapons of mass destruction" alias senjata pemusnah massal?

Tidak, dia tidak sengaja, menurut McClellan, membohongi publik Amerika dan dunia.

Di situlah hal menarik terjadi, tak terkecuali ketika Barack Obama yang dari Partai Demokrat akhirnya terpilih. Apakah dia dapat menghindar dari warisan kebohongan Bush? Tidak. Walaupun secara latar belakang, jelas Bush dari Partai Republik dan Obama dari Demokrat --tapi jangan paksakan melibatkan Pak Esbeye di situ.

Obama tak dapat sepenuhnya membersihkan diri dari warisan itu. Mungkin ini mirip cerita dosa warisan di kalangan beberapa aliran agama. Seharusnya warisan itu, setidaknya beberapa petak sawah saja, beberapa ekor kerbau, dan beberapa alat untuk membajak. Tapi, sebagai analogi yang agak dipaksakan saja, yang diwariskan justru tinja kerbau saja.

Selayaknya tinja kerbau, aromanya tak terlalu menyengat. Rasanya pun, mungkin sedikit mirip burger, atau spaghetti, atau mungkin juga sushi. Ya, mirip jika makanan-makanan itu jatuh di atas kotoran kerbau, dan Anda pun tergoda mencicipi variasi rasa yang ada di sana.

Saya sendiri sih belum mencobanya, karena memang lebih terbiasa menikmati nasi di warteg yang canggih itu, touchscreen, tinggal tunjuk lalu tersaji dalam hitungan sekian menit saja.

Kira-kira begitulah Obama mendapatkan warisan dari Bush sekaligus dari Partai Republik. Dia sama sekali tak dapat menyeret Golkar atau PAN yang memiliki penciuman tajam soal bagaimana mendapatkan warisan yang lebih berharga dibandingkan beberapa petak sawah. Lagipula, dua partai disebut terakhir belum membuka "gerai" di Washington, walaupun gerai-gerai makanan AS sebaliknya justru membanjiri Indonesia.

Maksudnya begini, wajah Gedung Putih sama sekali tidaklah berbeda baik di saat Bush ada di sana hingga Obama mengganti tempatnya. Tapi di sisi lain, di tengah citra Bush yang sarat kebohongan, Obama tetap saja dituntut untuk lebih jujur, sementara ada script drama yang sama sekali yang tak dapat diutak-atik olehnya.

Apakah keteledoran Bush hingga memaksa mewariskan hal itu karena dia kurang tenaga yang bagus? Patut dicatat dia pernah punya Donald Rumsfeld yang tak hanya identik dengan pengaruh kuat di Pentagon, tapi urusan pemerintahan pun ia dikenal cukup memakan asam garam, ditambah terasi, jeruk nipis, sedikit terasi, jadilah sambal terasi. Dan, Rumsfeld kenyang dengan itu.

Colin Powell pun yang dipercayakan sebagai menteri luar negeri "Kabinet Kerja" ala Bush, adalah figur jenderal sekaligus pendekar pilih tanding, jika meniru bahasa komik Asmaraman S. Kho Ping Ho.

Tapi dikelilingi orang-orang seperti itu pun bukan segalanya. Ada persoalan realita yang lebih mampu memengaruhi isi kepala seorang presiden. Sebab Bush pun terpukul oleh berbagai peristiwa yang menghantam negaranya. Alhasil ada langkah-langkah yang dilakukannya namun luput membaca sejelas-jelasnya pada apa yang terjadi setelahnya. Maka itu, soal warisan tadi menjadi hal tak terelakkan.

Mengutip McClellan lagi, sejatinya entah kalangan Republik dan Demokrat, sama-sama memiliki sangat banyak orang yang menutupi kesalahan alih-alih menyelesaikannya.

Ya, dari sanalah riwayat warisan dosa tadi akan sama saja dipikul, entah jika kemarin Trump kalah dan Hillary Clinton menang, ataupun sebaliknya seperti fakta yang terjadi.

[irp]

Menarik juga apa yang disitir McClellan lagi, bahwa sejatinya tindakan-tindakan buruk yang ada di lingkaran Gedung Putih itu tidaklah karena mereka meniatkan untuk merugikan siapa-siapa. Itu dilakukan hanya demi dapat bertahan dalam permainan bernama kekuasaan.

Apa kabar dengan Trump nantinya?

Yang jelas dia tidaklah berenang di kolam yang berbeda. Warna air dan rasanya, entah bercampur air kencing atau tidak, yang jelas dia sudah menceburkan dirinya ke kolam itu.

Dia dapat saja membuat kolam itu kembali bersih, atau mungkin saja dia membuatnya kian beraroma pesing. Maklum, konon pria yang sudah memasuki usia senja, 70 tahun, dapat saja sengaja-tak sengaja mengencingi tempatnya berenang sendiri.

Yang jelas, jika merujuk ke McClellan lagi, yang saya alihbahasakan secara serampangan sedikit, sering kali presiden AS kerap mengikuti pendahulunya untuk turut mengencingi kolam yang sama. Soal aroma, itu urusan nanti saja. Persoalannya hanya pada mana yang paling menyengat saja, itulah yang akan divonis paling berdosa.

***