Kurang hiburan kerap menjadi alasan banyak orang untuk memikirkan hal negatif dan berdampak pada tindakan mereka. Sementara dalam keringnya inspirasi, tak sedikit orang cenderung memilih melakukan sesuatu yang buruk. Tampaknya itulah yang menjadi alasan munculnya gagasan sebuah acara bertajuk Tolerance Film Festival, yang akan berlangsung sepanjang tanggal 13-15 November 2016.
Acara itu sendiri, menurut pihak penyelenggara, Institut Francais d'Indonesie, diadakan untuk menyambut Hari Toleransi Sedunia yang jatuh pada tanggal 16 November.
Lembaga yang dulu terkenal bernama Pusat Kebudayaan Prancis itu mengadakan kegiatan nonton film bareng itu sama sekali tidak memungut biaya dari calon pengunjung alias gratis. Walaupun film-film yang mereka tayangkan dalam kegiatan itu adalah film-film terkenal dan kerap menjadi referensi kalangan pegiat hak asasi manusia dan pluralisme.
[irp]
Di antara film-film yang akan dihadirkan di acara itu adalah film Dancing in Jaffa dan Besa: The Promise pada Minggu (13/11). Keesokan harinya ada pemutaran film In Line for Anne Frank dan The Bottle in Gaza Sea juga film Of Many (Senin, 14/11), berlanjut dengan film Where Do We Go Now dan film My 100 Children (Selasa, 15/11).
Bagi para penggemar film-film berkelas, film-film tersebut sama sekali tak asing lagi lantaran kerap menjadi bahan diskusi di seminar-seminar atau obrolan-obrolan lepas. Pasalnya, meski memiliki latar belakang cerita berbeda, namun seluruhnya mengandung pesan penting atas toleransi.
Maka itu, saya pribadi, saat mendapati kabar atas rencana pemutaran film itu sendiri berinisiatif untuk membantu mempublikasikan lewat Twitter dan Facebook. Bahkan kepada Monique Rijkers, salah satu kru penyelenggara acara, saya sampaikan janji untuk mempublikasikan hal ini juga lewat artikel.
Apa yang menjadi motivasi saya pribadi? Saya kira tak jauh juga dari motivasi mereka yang menjadi penyelenggara acara nonton bersama itu.
Toleransi masih menjadi persoalan di Indonesia. Tak sedikit yang masih melihat apa saja yang berbeda sebagai musuh atau lawan. Alhasil satu sama lain cenderung saling curiga.
Itu jelas persoalan yang tidak mengada-ada. Lantaran konflik demi konflik yang pernah terjadi di negeri ini, tak sedikit yang lahir berasal dari masalah terasingnya toleransi, dan teralienasinya karakter yang dewasa dalam kemajemukan.
Sebut saja di Sumatra, pernah terjadi beberapa konflik dari awal Indonesia merdeka hingga negeri ini layak disebut kakek --andai ia berwujud manusia-- masih belum sepenuhnya berhenti dari persoalan itu. Tak kurang halnya di timur Indonesia dan beberapa tempat lainnya, persoalan kepercayaan dan antipluralisme kerap menjadi pemicu persinggungan satu pihak dengan pihak lainnya yang lagi-lagi berujung pada konflik.
Itulah kenapa, saya pribadi melihat gagasan pemutaran film yang berisikan pengajaran dan inspirasi atas pentingnya toleransi menjadi hal penting. Terlebih, jamak diketahui, tak sedikit dari pemeluk agama di Indonesia cenderung menerima sebuah doktrin yang mengarah pada permusuhan dan anti-perbedaan, tanpa mengkritisinya.
Ada semacam ketakutan untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda ketika mereka berhadapan dengan realitas yang semestinya menuntutnya untuk lebih luas membaca persoalan. Dari mulai takut murtad, takut sesat, hingga ketakutan-ketakutan yang sejatinya sangat absurd.
[irp]
Sementara para pihak yang memiliki kepentingan pada konflik cenderung memanfaatkan situasi tersebut untuk memuluskan rencana buruk mereka; meraup keuntungan dari konflik, atau menjadikan konflik sebagai jembatan untuk sebuah tujuan yang hanya mereka yang paling tahu riilnya.
Maka itu, mengakrabkan publik dengan aktivitas-aktivitas positif seperti diadakan oleh Institut Francais d'Indonesie, semestinya menjadi sebuah agenda yang layak diadakan secara rutin. Terlebih di sebagian tempat, persoalan intoleransi masih sangat menonjol. Maka itu, kepada Monique sempat saya sampaikan via email sebuah pertanyaan, adakah kemungkinan agar acara ini kelak diadakan juga di daerah-daerah?
Ekspektasinya tentu saja, agar pendidikan publik lewat film-film berkualitas bisa membawa dampak positif, mengurangi sebuah masalah dengan cara edukatif dan menginspirasi.
Terlebih lagi, ide pendidikan dengan cara ini terbilang memikat, lantaran penonton dapat menemukan pembelajaran penting tanpa mereka harus merasa digurui atau didikte. Toh, akhirnya, pelajaran terbaik acapkali datang dari perenungan yang datang dari referensi-referensi terbaik.
Sayangnya, sementara ini sepanjang 13-15 Nov 2016 acara tersebut baru berlangsung di Jakarta saja, di Auditorium IFI Jl Thamrin No 20, Jakarta (sebelah Sarinah).
Mudah-mudahan saja ke depan pihak penggagas acara ini tertarik untuk mengadakan hal serupa ke daerah-daerah lainnya. Eh, bagi jomblowan/wati atau nonjomblo yang ingin hadir ke acara itu, registrasi 30 menit sebelum film dimulai. Tempat terbatas! katanya, seperti terbatasnya peluang sebagian teman jomblo Anda itu.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews