Air Mata di Indomaret

Senin, 31 Oktober 2016 | 17:16 WIB
0
441
Air Mata di Indomaret

Seorang kasir Indomaret seberang Jakarta Post, Palmerah, Jakarta, menunjukkan mata berkaca-kaca seperti ingin menangis saat saya datang. Bukan karena saya ingin melamarnya, sebab saya sudah beristri. TAPI...

Karena saya kembali ke sana untuk membayar belanjaan popok untuk bayi saya, yang tadinya hanya dia tulis satu sehingga kami pun membayar sesuai harga dicatat olehnya, sementara yang kami ambil dua.

Saya dan istri tahu ada yang kurang dari bayaran kami setelah saya salat zuhur, ketika istri meneliti lagi struk belanjaan di rumah karena penasaran, "Kok bisa murah sekali?" sehingga terdeteksi, si kasir silap dan menulis harga sesuai satu popok.

Sehabis salat itulah saya putuskan kembali ke Indomaret itu tadi, dan membayar yang kurang walaupun kesalahan pembayaran karena kekeliruan pencatatannya.

Berada di depannya itulah, saya melihat mata kasir yang hampir menangis, karena mungkin tidak menyangka jika saya kembali ke sana dan menunjukkan kepadanya kekurangan yang ada dan membayar lagi kekurangan itu.

Mencatat momen ini mungkin saja saya disangka ingin pamer kejujuran atau dinilai karena ingin dilihat sebagai orang baik. Ya, itu kembali pada pikiran masing-masing.

Tapi yang saya pikirkan adalah: mereka yang bekerja di sana pastilah bergaji lebih kecil dari saya, dan dapat dibayangkan bagaimana jika dengan sedikit gaji harus dipotong lagi untuk keteledoran yang tak disengaja. Selain, saya juga ingin agar popok yang dikenakan bayi saya pun betul-betul dari sesuatu yang halal dan baik.

Ya, itu menjadi sebuah cerita yang saya alami dan saya lakukan. Sempat saya share di Facebook, dan syukurnya banyak yang mengaku terinspirasi.

[irp]

Dan, itu bukan kejadian pertama di mana saya harus berjuang melawan ego yang memang selalu ingin untung dan menang sendiri.

Pernah ada lagi cerita yang mirip kasus tersebut. Harus saya tulis juga di sini, sekali lagi bukan karena ingin terlihat baik atau dipuji hebat, tapi berharap nilai kebaikan dari kejadian nyata dapat lebih menyentuh, masuk jauh lebih dalam ke ruang-ruang rasa, ke sudut-sudut nurani.

Beberapa tahun lalu, saya pun pernah berbelanja lemari plastik dengan harga sekian ratus ribu. Karena kesibukan aktivitas belanja itu sendiri saya lakukan persis menjelang toko itu tutup.  

Entah karena lelah atau memang si pemilik toko yang lengah, dalam satu kardus itu berisi dua lemari! Karena memang belum dirakit, jadi si pemilik toko tidak menyadari jika di dalam kardus itu berisikan dua lemari jika dirakit.

Jadi, saya sendiri yang memang hanya berniat membeli satu lemari pun mengira di dalamnya pastilah satu lemari. Pemilik toko pasti takkan keliru.

Tapi setiba di kontrakan --saat itu masih lajang-- dan merakit lemari plastik itu dengan hanya ditemani bocah tetangga, kok rasanya terlalu banyak. Susunannya seperti dua kali ukuran lemari sedang secara normalnya.

Bocah tetangga yang masih belasan tahun itupun jadi teman diskusi, ada apa dengan ini? Hingga tersadar, oh ini ada yang lebih.

Sempat terpikir, ah ini saya untung, satu bisa dijual dan satu lagi untuk dipakai sendiri. Dan, uang yang tadi saya keluarkan pun kembali lagi.

Tapi, ada suara yang lebih halus, dan itu suara nurani yang biasanya hanya bicara teramat kecil dan bisa didengar jika bersedia menyimak pesannya.

"Sudahlah, kalaupun kamu untung dengan menjual lemari yang lebih itu, uang itu akan habis, tapi nanti rasa bersalahmu belum tentu habis. Percayalah, kebaikan itu mampu melahirkan lebih banyak kebaikan, untuk orang dan juga untukmu sendiri. Sedang kecurangan, tak hanya merugikan orang tapi juga merugikan kamu sendiri. Tak ada kebaikan yang merugikan, apalagi barang lebih itu memang bukan milikmu."

Tak perlu pikir panjang lagi. Sebab gamang justru sering bikin terhalang untuk menambah catatan kebaikan yang dapat dilakukan.

Ya sudah, saya nyalakan lagi motor, meski agak kurang yakin juga toko tadi sudah tutup atau masih buka. Yang saya pikirkan, ini tak boleh ditunda, karena bisa saja pikiran curang nanti kembali datang menyerang tanpa dapat terhalang.

Berangkat lagi meski harus melewati beberapa desa dan berjarak berkilo-kilometer.

Tiba di depan pemilik toko, dia seorang Tionghoa, dia justru terlihat kaget. Dan, secara tidak sadar dia nyeletuk, "Saya susah menemukan orang jujur di sini sehingga ke pengunjung toko pun sering curiga. Tapi sekarang, yang Anda lakukan ini membuka mata saya. Terima kasih sekali, Tuhan pasti suka orang-orang baik seperti Anda."

Ah, bukan sanjungan yang saya suka dari sana. Tapi ada perasaan lega dan puas, dapat mengalahkan kerakusan dan ego diri sendiri yang selalu ingin untung.

Ada cibiran yang datang, mungkin dari setan di kanan kiri saya sendiri dan berwajah tak terlihat, tapi cibirannya sangat terasa, "Lu, di jaman gini masih sok jujur, sok baik, sedang orang-orang makin kaya karena tak takut lakukan cara apa saja."

Memberi senyum pada cibiran itu, saya jawab saja dengan jawaban yang sejatinya tertuju ke diri sendiri, "Apakah ada keburukan yang bisa membawa kebaikan? Apakah iya, kebaikan dapat membawa keburukan?"

Menang. Tapi berusaha keras untuk tidak bangga. Sebab ke depan pastilah godaan dan tantangan akan jauh lebih besar. Tak perlu merasa diri sebagai orang baik,  begitu saya tekankan ke diri sendiri, sebab perasaan kagum pada diri sendiri dan merasa diri baik hanya bikin saya tak termotivasi menambah kebaikan. Berusaha melihat secara apa adanya pada diri sendiri, tak berlebihan, menceritakan sebuah kebaikan hanya agar lebih termotivasi  untuk lebih baik.  

Tak perlu. Tak perlu berkhayal jika baik pada seseorang lalu seketika mendapatkan bonus, diangkat jadi menantu oleh pak haji di kampung Anda, atau ada bidadari yang ingin mengulang cerita Jaka Tarub yang numpang mandi kamar mandi Anda. Sudah, khayalan itu tak perlu.

[irp]

Jika ada godaan-godaan meraih untung karena memang situasi menguntungkan, seperti mendapatkan "bonus" dari kesilapan orang, jangan tergoda. Tapi jika sudah sangat tergoda, kembalikan dulu barang orang, dan nanti mungkin Anda bisa mendapatkan nomor WhatsApp si kasir, atau nomor hape anak gadis pemilik toko Tionghoa tadi.   

Tapi, lebih baik tidak berharap apa-apa, apalagi cuma mengimpikan sebuah kebaikan hanya untuk satu nomor WA. Toh, kalaupun Anda jomblo, dan semua gadis sudah menunjukkan lampu merah ke Anda, tetap saja jangan langgar lampu lalu lintas. Nah, ending cerita ini harus saya tutup begini, agar catatan saya tak disamakan dengan sinetron Cinta Fitri atau Golden Ways-nya Mario Teguh.

Cukuplah saya dilihat selayaknya saya yang apa adanya, seperti lagunya Bang Haji Rhoma, "Tak seorang pun dalam dunia, yang tak pernah berdosa..." dan, lirik panjangnya saya pun lupa. Tapi, ya jika sudah banyak dosa jangan sampai menambah banyak dengan merugikan orang.

Yang harus ditambah, ya cukuplah isi rekening dengan cara-cara jujur saja, dan juga tak perlu berharap Kanjeng Dimas selekasnya keluar dari penjara agar dapat menggandakan rekening Anda yang tinggal 100 ribu itu.

Biasa-biasa saja, dan bikin hidup lebih berirama dengan lagu-lagu dangdut yang Anda punya. Jika belum punya, datangi saya saja, bukan untuk menggandakan uang, tapi untuk menikmati dangdut bersama-sama. Ya, agar saat rekening menipispun masih tetap gembira he-he.

Sekali lagi, sori, ending catatan saya tidak sesyahdu film-film Bang Rhoma, atau se-wah talkshow Mario Teguh. Tapi jika Anda melakukan itu, dan Anda masih jomblo, percayalah itu mampu membuat gadis incaran Anda luluh.

***