Media Pilkada, Selamat Datang Media Kawan dan Media Lawan!

Senin, 17 Oktober 2016 | 06:01 WIB
0
294
Media Pilkada, Selamat Datang Media Kawan dan Media Lawan!

Siapa yang kelak menjadi pemimpin memang tak hanya ditentukan oleh siapa saja mencalonkan diri sebagai bakal pemimpin. Melainkan, siapa yang memilih dan bagaimana ia memilih, akan sangat memengaruhi seperti apa rupa pemimpin nanti. Tak terkecuali menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, hal itu pun takkan dapat ditampik begitu saja.

Berangkat dulu dari siapa yang memilih tentu memiliki kaitan dengan berbagai hal yang ada pada para pemilih, dari pribadi hingga komunal. Terutama dari sisi pribadi, kejelian seorang calon pemilih dan kejernihannya melihat siapa yang akan ia pilih, sangat menentukan. Dan, ini pun tak lepas dari bagaimana individu tersebut mencari informasi, menyaring, dan menetapkan keputusan.

Persoalannya, dikaitkan dengan level individu terlebih dulu, takkan banyak orang yang bersedia mencari informasi sekadar untuk memperkaya referensinya dalam menetapkan pilihan. Ada di antaranya yang beralasan bahwa berkonsentrasi pada pekerjaan dan kegiatan sehari-hari yang lebih menguntungkannya, jauh lebih memikatnya alih-alih menyediakan waktu untuk menggali informasi.

Itu terjadi pada mereka yang pesimistis bahwa hasil dari pilihannya memang akan berdampak luas.

Di sisi lain, memang ada sebagian kalangan yang aktif dengan media, selain membaca media mainstream, mereka pun getol memanfaatkan media sosial untuk menyimak seperti apa perkembangan tren yang berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Namun kalangan kedua itu pun bukan tanpa masalah. Lantaran acap kali yang terjadi adalah jebakan tren yang kerap membuat seorang calon pemilih tidak sadar. Mereka juga rentan  luput memerhatikan kualitas pesan, kualifikasi pemberi pesan, hingga sejauh mana kesahihan sebuah pesan.

Ada di antara mereka yang bahkan memutuskan untuk membagi media itu dalam dua kategori; media kawan dan media lawan.

Persoalan dari kategorisasi itu, mereka hanya bersedia membaca media yang masuk dalam kategori kawan, dan tak tertarik menyimak media yang diposisikan sebagai lawan.

Di situ sering terjadi, munculnya kesimpulan bahwa media-media yang didudukkan sebagai media kawan tak hanya dikunyah saban waktu, tapi acap kali diterima begitu saja tanpa adanya semacam filter.

Apakah kecenderungan itu hanya terjadi pada kalangan awam yang memang tak berpendidikan? Saya pribadi akan mengatakan, tidak.

Sebab ada beberapa kasus saya bertemu dengan beberapa kenalan dan teman yang notabene berpendidikan di atas strata-satu, namun kerap antipati pada media yang dinilainya condong ke kalangan yang tidak disukainya. Jika diajak berdiskusi pun, mereka takkan bersedia diajak berdiri di kutub yang berbeda, walaupun ajakan itu ditujukan untuk mendapatkan sebuah gambaran lebih utuh atas suatu informasi.

Jadi, itu menjadi salah satu hal yang serius, sebenarnya, namun acap tak diperhatikan sebagai sesuatu yang serius. Ya jika menyimak kecenderungan yang terjadi di media sosial, tesis yang saya sebutkan tersebut akan dengan mudah terlihat.

[irp]

Betapa, misalnya, karena kebetulan satu media kadung di-stereotype-kan sebagai media yang memang dimiliki oleh agama tertentu, maka pemeluk agama lainnya cenderung curiga. Alih-alih berpijak pada objektivitas, mereka cenderung memerangkapkan diri pada anggapan subjektif bahwa itu adalah media dari agama lain dan itu pasti ditujukan untuk kepentingan agama tersebut.

Itu hanya sebuah contoh kecil yang akan dengan gampang ditemukan di perbincangan-perbincangan di media sosial, entah dalam obrolan serius atau saat pengguna medsos sedang tertarik untuk ngalor-ngidul.

Sementara, kemauan untuk membuka diri pada informasi yang lebih berimbang, tentu saja akan membantu sudut pandang seorang calon pemilih pun lebih terang. Ia takkan terjebak pada suatu informasi yang hanya bersifat dugaan, atau bertendensi fitnah atau agitasi dan semisalnya.

Berbeda jika memilih menutup diri di tengah derasnya informasi, namun secara radikal hanya memilih media "kalangan sendiri", nyaris mustahil membuka sudut pandang dan menjernihkan penglihatan dalam mencari siapa yang terbaik yang dapat ia pilih.

[irp]

Tapi patut dicatat juga bahwa para tim sukses dapat dipastikan akan sangat memanfaatkan fungsi media. Terlebih, seperti pernah dilansir Indonesia Indicator per 2015 lalu, bahwa 11 dari 13 kemenangan yang diraih pasangan gubernur-wakil gubernur adalah mereka yang paling banyak diekspose media.

Jadi di sini, selain berharap para calon pemilih bersedia membuka diri mencari informasi atas calon yang ingin mereka pilih secara lebih objektif, juga pantaslah kita berharap pada tim sukses masing-masing kandidat. Ya, setidaknya jangan sampai ambisi merebut kursi, lalu turut andil membuat nalar rakyat ikut mati.

Walaupun iya, merujuk lagi pada kesimpulan yang pernah dilansir Indonesia Indicator, sentimen publik atas kandidat tertentu kerap memengaruhi siapa yang akan menjadi pemenang.

Di sinilah, keterbukaan dan kesediaan para tim sukses dalam mencerdaskan publik untuk tidak terlalu bermain di ranah sensitif, sepertinya pantas diharapkan. Toh, cara-cara baik lebih menjanjikan hasil baik daripada cara buruk yang secara muluk diharapkan membawa hasil baik bukan?

***

[irp]