Imbas Pemecatan dari Kabinet Jokowi Untungkan Anies di Pilkada?

Senin, 10 Oktober 2016 | 18:28 WIB
0
440
Imbas Pemecatan dari Kabinet Jokowi Untungkan Anies di Pilkada?

Apakah imbas pemecatan Anies Baswedan selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan oleh Presiden Joko widodo akan menguntungkan posisinya selaku calon Gubernur DKI atau malah sebaliknya? Meski dari sisi teknis "pemecatan" terkesan negatif, namun dari sisi politis pemecatan bisa jadi menguntungkannya jika dapat diolah menjadi sebuah isu.

Dari sisi citra, Anies terbilang punya citra yang sangat bagus. Pernah terkenal dengan gagasan pendidikannya meski ada yang menyebut idenya hanya adopsi ide lain, ditambah riwayat organisasi dan perjalanan karier yang terbilang sangat mulus. Sekarang, ia tercatat sebagai salah satu kontestan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 2017.

Sekali lagi, selalu saja muncul pertanyaan, apakah takkan ada dampak dari pemecatannya dari kabinet Presiden Joko Widodo selalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan?

Itu memang bukan pertanyaan baru. Tapi pantas juga untuk kita berasumsi bahwa calon pemilih di Pilkada nanti akan sangat dipengaruhi oleh orang-orang cerdas, selain para pemilih itu sendiri pun berasal dari kalangan yang memiliki taraf berpikir kelas ibu kota, yang memiliki basis pengalaman sekaligus "proximity" alias kedekatan dengan kondisi terkini Jakarta yang takkan begitu saja mudah dikaburkan oleh media.

Sekelumit asumsi dengan realitas itu juga, sedikit banyaknya akan sangat memengaruhi alam pikir calon pemilih, seperti apa mereka melihat Anies dan bagaimana mereka mendudukkannya di tengah kontestan lainnya.

Cerita pemecatan Anies dari posisi menteri, satu sisi memang terkesan takkan terlalu berdampak. Terlebih Presiden Jokowi dan orang-orang di lingkaran terdekatnya, nyaris sama sekali tak mengumbar, apa sih kesalahan Anies dan apa kekurangannya sehingga harus didepak dari kabinet.

Pramono Anung yang konon salah satu tangan kanan Jokowi pun tak menyebutkan spesifik, ada apa konkretnya di balik pemecatan itu. Alih-alih mengumbar cela dan kekurangan Anies, pihak istana cenderung diplomatis dalam menjelaskan motif pemecatan tersebut.

"Pak Anies juga bekerja dengan baik, tapi tentunya ada ekspektasi yang diinginkan Presiden dan Wapres ke depan ini yang mungkin berbeda," ujar Pramono pada Juli lalu.

Sedikitnya, hal itu juga menguntungkan Anies. Sebab, meski benar ia dipecat, namun publik hanya dapat berasumsi dan menduga-duga, ada apa di balik pemecatan itu. Artinya, itu takkan menjadi bumerang baginya, lantaran dia dan orang-orangnya dapat saja "membius" publik semisal; bahwa pemecatan itu hanya bertendensi politis. Apalagi bagi publik yang sudah lebih dulu punya simpati atasnya, maka "bius" tersebut akan lebih berpengaruh menguntungkan baginya.

Belum lagi, cara Anies menanggapi pemecatan itu sendiri terbilang lumayan elegan. Dia tidak terlalu mengumbar hal-hal yang berpotensi memicu pertanyaan terlalu gencar, ada apa dan ada apa di balik itu? Di sini Anies telah menunjukkan dirinya sebagai figur yang lihai dalam mengelola opini publik terhadapnya.

Juga, ada fakta lain yang kian memunculkan semacam aura positif darinya. Pasalnya ia juga tidak menjadikan pengalaman kedekatannya dengan pemerintah sebagai senjata untuk menyerang balik secara sporadis. Katakanlah itu mungkin akan digunakannya di masa depan, itu cerita lain, tentunya.

Alih-alih menunjukkan kekecewaan atas pemecatan itu, tampaknya Anies masih keukeuh dengan prinsip yang dipegangnya sejak remaja. Maklum, dia pernah terlambat lulus dari sekolah lanjutan atas, dan saat menanggapi keterlambatan itu, dia pernah berujar, "Kita ditarik dulu ke belakang sebelum kemudian bisa meloncat dengan jauh."

Ringkasnya, di masa lalu, terlambatnya ia menyelesaikan satu jenjang pendidikan, mampu diatasinya dengan membayarnya lewat seabrek pencapaian: tercatat sebagai rektor termuda hingga menjadi menteri. Sedangkan kini, fakta yang dialaminya di kementerian tentu saja bukanlah masalah kelas "sekolah lanjutan".

Bagi publik, itu bukan tak mungkin menjadi salah satu acuan untuk mempertimbangkan memilihnya. Sedangkan bagi Anies sendiri, hal itu bisa menjadi batu sandungan serius jika disulap lawan sebagai senjata untuk menghantamnya.

Sekali lagi, fakta yang tak dapat ditampik dari masyarakat DKI Jakarta adalah, mereka akan gampang mempersetankan citra. Selain, para calon pemilih dari kalangan muda pun dapat sangat berpengaruh karena pikiran kritis mereka seperti halnya dimiliki Anies di masa muda. Mereka mungkin bukan pendukung garis keras kontestan manapun, namun efek keberadaan mereka di lingkaran-lingkaran RT/RW pun bisa sangat berpengaruh.

Satu sisi Anies dapat dipastikan sangat menyadari berbagai kemungkinan itu, apalagi di ruang-ruang kuliahnya pun ia kerap menyinggung kesadaran lewat bahasa "grass roots understanding". Sebagai petunjuk, ia memang sosok yang jeli hingga hal-hal yang terkadang tak diperhitungkan banyak orang, termasuk pada apa yang berkembang di level akar rumput.

Semoga saja, fakta pemecatannya dari kementerian yang selama ini terkesan tak berpengaruh pada citranya, betul-betul tidak menjadi bola es yang awalnya kecil saja. Tapi luput dari perkiraan sampai kian membesar dan menghantamnya hingga sulit untuk kembali terbangun.

***