Tanggapan Anies Baswedan di Facebook tentang Kekeliruan Ahok

Minggu, 9 Oktober 2016 | 13:00 WIB
0
345
Tanggapan Anies Baswedan di Facebook tentang Kekeliruan Ahok

Media sosial adalah media terbuka, sangat terbuka, di mana semua warga yang telah berkhidmat untuk menjadi anggotanya, boleh berkomentar atau bikin status apa saja. Saking bolehnya; umpatan, sampah, sumpah serapah, cacian, makian, hasutan, ucapan dan ungkapan kebencian pun ada di “danau besar” bernama Facebook. Ini satu sisi.

Sisi lainnya, para penggunanya (users) Facebook alias Facebookers bisa bersikap kebalikan dari yang pertama, yakni toleran, menyejukkan, welas-asih, mendamaikan, menjelaskan, rendah hati, atau memadamkan api peperangan.

Dua sisi yang saling bertentangan diametral ibarat langit dan comberan ini hidup menjadi satu dalam “danau besar” Facebook itu. Dengan kata lain, Facebook bisa memunculkan wajah “neraka” maupun “surga” serta “keburukan” sekaligus “kebaikan” dalam ruang yang sama.

Tentu saja postingan Anies Baswedan, calon gubernur DKI Jakarta, yang berjudul Tanggapan terhadap Pernyataan Gubernur DKI harus dimasukkan sebagai “kebaikan” dan beraroma “surga” pula.

Postingan Anies ini sangat spektakuler, menyedot perhatian banyak orang, warga Facebook lainnya. Bayangkan, baru ditayangkan 16 jam lalu sudah diberi jempol, tanda cinta, tanda kaget, atau tanda menangis hampir menyentuh 4.500, dibagikan oleh 1.288 pengguna, dan dikomentari oleh lebih dari 1.700 komentator.

Secara strategi komunikasi di media sosial, postingan ini sungguh sangat berhasil karena mendapat sambutan yang demikian gempita untuk sebuah postingan boleh dibilang baru nongol. Mungkin karena nama besar Anies Baswedan sendiri atau karena posisinya yang terjun ke dunia politik sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Namun dalam literasi, nama besar ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan konten yang ditulisnya, khususnya terkait tanggapan publik.

Sebaliknya, dalam realitas politik, siapapun yang mencemplungkan diri dalam dunia itu, dunia politik, maka ia tidak lebih dari politikus yang mengejar kekuasaan. Tiga calon gubernur plus tiga calon wakil gubernur DKI Jakarta, harus digolongkan sebagai politikus pencari kekuasaan, tanpa terkecuali, tanpa harus melihat latar belakang mereka sebelumnya. Tidak peduli resi, begawan, ilmuwan, atau negarawan, jika sudah nyemplung ke dunia politik, ya mereka itu politikus!

 

Jangan lupa pula, politik adalah identik dengan "menghalalkan segala cara" demi tujuan memenangi pertarungan. Maka kata sifat seperti culas, licik, kasar, keji, biadab, harus menjadi "makanan" sehari-hari dan harus siap pula menerima muntahan lawan atas sifat-sifat tersebut.

 

Pendek kata, pokoknya politik dalam upaya menggapai kekuasaan itu penuh intrik dan siapapun harus siap dengan konsekuensi itu.

Yang menarik perhatian, dari 1.700 komentar itu, berdasarkan identifikasi pengguna, mereka rata-rata Ahokers, sebutan untuk pendukung dan simpatisan Ahok. Boleh jadi di antara 1.700 komentar itu ada pendukung dan simpatisan Agus Harimurti Yudhoyono juga, tetapi identifikasi terhadap pecinta Agus sulit dilakukan. Alih-alih mendapat simpati, minimal dari pendukung dan simpatisan Anies, yang terjadi malah sebagian besar komentar yang bernada antipati.

Bagaimana persisnya pernyataan Anies yang dalam kancah pemilihan gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Sandiaga Uno dalam postingannya yang spektakuler tersebut, sebaiknya ditayang-ulang kembali di sini;

Tanggapan terhadap Pernyataan Gubernur DKI

Asslkm wr wb

Ibu, Bapak, teman-teman semua,

Hari-hari ini ketenteraman terganggu, kenyamanan terusik dan kemarahan tersulut oleh pernyataan Gubernur DKI Jakarta.

Pernyataan Gubernur DKI Jakarta dalam sebuah acara resmi pemerintah daerah dengan merujuk pada ayat suci Al-Quran sangatlah tidak perlu, tidak relevan dan tidak tepat. Karena itu jangan justru menyalahkan orang banyak yang merasa tersinggung, namun introspeksi diri adalah langkah yg lebih bijak dan dewasa.

Gunakan cara dan kata yang patut, serta rasa hormat bila menyebut sesuatu yang dipandang sebagai suci oleh siapapun. Bangsa ini bhinneka, maka hormatilah kebhinnekaan itu.

Di Indonesia ini tak terhingga banyaknya orang yang bekomitmen dan bekerja untuk menjaga suasana damai dan saling menghormati. Bukan pekerjaan yang ringan. Mereka semua itu menjaga suasana negeri ini agar terbebas dari sentimen negatif terkait SARA dalam kehidupan sehari-hari. Kamipun memiliki komitmen itu, apalagi dalam kampanye Pilkada ini.

Komitmen dan ikhtiar menjaga kedamaian serta mengeratkan tenun kebangsaan itu harus bersama-sama, dan itu semua tidak bisa dikerjakan hanya oleh sebagian kita sementara ada pihak menganggap sepele, apalagi tak sensitif tentang pentingnya menghormati.

Menjaga tenun kebhinnekaan jadi berat, sulit dan rumit jika ada pihak yang terus-menerus mengancam dengan pernyataan-pernyataan tak sensitif dan tak menghormati. Ikhtiar banyak orang yg berusaha merawat kedamaian itu jadi dicederai oleh ucapan tak sensitif dan tindakan tak patut.

Dan, apabila ada pihak-pihak yang merasa perlu untuk menuntut secara hukum atas pernyataan itu, maka itu harus dipandang sebagai suatu yang wajar ditempuh dalam sebuah negara hukum seperti Indonesia. Kata dan perbuatan bisa memiliki konsekuensi hukum. Kita harus menghormatinya.

Maka sekali lagi, mari jaga komitmen menjadikan Pilkada DKI Jakarta ini sebagai pesta demokrasi dan festival gagasan yang penuh dengan kesejukan dan keceriaan.

Mari kita semua menjaga keeratan tenun kebangsaan kita.

Salam,

Anies Baswedan

8 Oktober 2016

Demikian aslinya postingan Anies, tidak ada satupun huruf yang diubah, kecuali dimiringkan (italic) saja untuk membedakan dengan ulasan. Dan, apa yang diunggah Anies di media sosial Facebook itu harus dimasukkan sebagai “kebaikan” atau “surga”, terkait ucapan gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok soal Surah Al Maidah 51 yang sedang ramai dibicarakan.

Mengapa berisi “surga” atau kebaikan”? Sebab, tida ada dalam postingan itu hasutan, cacian, makian, atau ucapan kebencian lainnya. Sebaliknya, postingan Anies mengajak warga Jakarta khususnya dan rakyat Indonesia umumnya untuk tetap menjalin tenun kebhinekaan dan tidak mudah terprovokasi gara-gara pernyataan Ahok itu.

Sebagai gantinya, Anies menghormati pilihan sebagian warga yang yang akan menempuh jalur hukum atas pernyataan Ahok yang dinilai sebagian orang sebagai kontroversial tersebut.

Demikianlah hukum media sosial, maksud baik tidak selamanya diterima sebagai kebaikan, meski isinya penuh kebaikan. Sebagaimana terbaca dalam sejumlah komentar untuk postingan mantan mendkibud itu, tidak sedikit yang mengangap Anies sedang "mengail di air keruh" atas kekeliruan Ahok, lawannya.

Dari sisi ilmu media sosial, suatu postingan kebaikan namun kemudian menjadi "back fire" bagi si penulis maupun pembagi kebaikan itu, jelas ini menunjukkan adanya strategi komunikasi yang keliru. Bukan Anies yang keliru mungkin, tetapi tim medsos Anies yang tidak bisa membaca psikologi massa warga maya, buta-rasa politik dan masih meraba-raba denyut serta nafas media sosial.

Demikianlah sekelumit dinamika Pilkada DKI Jakarta.

***