3 Hal Ini Bisa Bikin Ahok Terlempar dari Pusaran Pilkada DKI 1

Sabtu, 8 Oktober 2016 | 07:15 WIB
0
243

Tak bisa dipungkiri, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memanglah episentrum dari ingar-bingar kontestasi DKI 1. Atmosfer dan magnitude helatan 5 tahunan ibu kota ini terasa spesial dan semakin kuat menggema lantaran sosok Ahok.

Kalau dalam bahasa media, Ahok itu news maker. Lah, bagaimana tidak, hampir seluruh aktivitasnya diburu wartawan, tak terkecuali perihal ceplas-ceplosnya yang amat kontroversial dan tak lazim bagi warga DKI.

Meskipun Ahok leading dalam banyak survei elektabilitas, kinerjanya dielu-elukan, bahkan Google pun secara algoritma tahu rekam jejak kinerja Ahok, bukan berarti petahana ini tak punya cacat.

Setidaknya, kita bisa mendiagnosa hal itu dari perspektif komunikasi politik.

Pertama, lemahnya retorika politik. Sudah rahasia umum warga DKI bahwa retorika Ahok yang blak-blakan dan ceplas-ceplos itu, cenderung menyayat, "setajam silet". Masalah klasiknya bukan pada substansi perkataan Ahok, melainkan pada instrumen bahasa yang digunakannya secara sporadis. Tak jarang Ahok melakukan verbal agresif pada lawan bicaranya, baik saat rapat dinas yang formal maupun saat komunikasi informal. Dalam pandangan Aristoteles, ada dua hal yang hilang dari gaya retorika Ahok:

1) Ethos ethical or personal appeals”, di mana kredibilitas dan etika berbicara sang orator dianggap jauh lebih penting ketimbang pesan politiknya. Seribu kali sayang, tak sedikit diksi-diksi cacian begitu luber dari mulut Ahok. Sehingga, substansi bicara Ahok menjadi sumir bagi audiensnya. Publik malah fokus pada diksi caci-maki yang begitu telanjang dan terpampang nyata.

2) Phatos, berkaitan dengan dimensi yang menyentuh emosi dalam retorika. Dalam kasus penggusuran, verbal empati Ahok memang tak nampak, malah sebaliknya keluar kata-kata seperti “manusia perahu” yang bernada antipati.

Sebenarnya, ada satu lagi elemen rerotika yaitu Logos, berkaitan dengan penggunaan argumentasi logis dan fakta verifikatif. Tapi pada bagian ini, Ahok tentu banyak amunisinya dan unggul dari paslon lainnya.

Hingga menjelang tutup periode pertama ini, gaya retorika Ahok sama sekali tak berubah, malahan melekat sebagai karakter politisi low context culture. Nampaknya, Ahok tak terlalu peduli menyoal retorika publiknya yang bermasalah. Padahal, hampir seluruh bangunan pesan komunikasi politik diarahkan oleh kemampuan seni berbicara (art of speech).

Kedua, pribadi eksplosif. Memang Ahok bukan satu-satunya, masih ada Risma dan Ganjar yang juga eksplosif, terutama saat melakukan sidak atas lambannya kinerja perangkat pemerintahan di zona kuasa mereka. Tapi Ahok lebih dikenal eksplosif lantaran saban hari selalu saja ada berita Ahok marah, Ahok ngamuk dll. Jadinya Ahok itu, si eksplosif yang sering terekspos. Apakah ini merugikan Ahok?

Meminjam teori dramaturgi khas Erfing Goffman, bahwa setiap pemimpin/politisi perlu memainkan peran di panggung depan (front stage) dan peran di panggung belakang (back stage). Maka, kilau panggung depan merupakan zona citra yang mesti dijaga baik-baik.

Hal ini bukan melulu soal politik citra, melainkan marwah seorang pemimpin secara pribadi maupun institusi bisa ditentukan lewat peran panggung depannya. Sehingga, friksi yang menimbulkan segregasi di hadapan publik, akan sangat mereduksi value sang aktor.

Ketiga, kebijakan yang kontroversial. Polemik RS Sumber Waras, suap reklamasi, dan penggusuran merupakan sandungan paling serius di antara semua faktor. Selain diskursus publik yang massif dan kritis akan persoalan ini, fakta hukum juga bisa menjadi satu-satunya alat paling mujarab untuk menjungkirbalikkan Ahok, bahkan sebelum pertarungan DKI 1 dimulai. Tapi di level ini, seluruh sumber daya relasi kuasa akan bermain.

Bahasa awamnya, “siapa yang bekingnya kuat, dia yang selamat dari jerat hukum.” Bukan mencurigai Ahok, tapi selalu ada kemungkinan “otak-atik” aturan di meja penguasa, atau dalam pandangan Lukes disebut kong kali kong alias konspirasi penguasa dan pengusaha. Taklid pada kebijakan Ahok tanpa nalar kritis dan pengawasan, itu sama persis dengan tidak mendukung Ahok bersih.

Panasnya temperatur konstelasi Pilgub DKI yang mekanistik-pragmatik begini, rasanya tiga faktor di atas tak bisa disepelekan.

Kejengahan publik tak boleh dinafikan, terlebih usai Ahok beralih tunggangan ke partai politik yang memunculkan gerakan “Balikin KTP Gue” di media sosial. Kalau Ahok abai dengan persoalan-persoalan semacam ini, bukan tak mungkin ia bakal terjungkal di arena pemilihan “jawara” DKI 1.

***