Mereka Yang Hilang dan Pergi

Minggu, 2 Oktober 2016 | 19:05 WIB
0
265
Mereka Yang Hilang dan Pergi

Cerpen: Pepih Nugraha

Satu persatu sahabatku berpulang. Berpulang karena dipanggil Tuhan, atau menghilang karena masuk bui. Dulu, semasa duduk di sekolah dasar, kami dikenal sebagai lima sekawan, seperti kisah Enid Blyton. Kami berbeda sifat, juga berbeda nasib. Orang tahu, dari lima sekawan itu, akulah yang dikenal sebagai “si miskin dan pemalu”. Mau dikata apa, orangtuaku memang tidak berpunya, sekadar buruh tani di kampungku.

Bapak buruh tani, kerjanya mencangkul sawah atau ladang. Kadang lebih sering menganggur manakala kemarau panjang datang. Emak tukang mengerat padi jika musim panen tiba. Selebihnya perempuan yang kuhormati itu sering kujumpai membawa ayakan, menyusur bibir sungai untuk mencari ikan-ikan kecil terutama udang air tawar.

Kalau rezeki datang, udang renik ini bisa dijual kepada Haji Kanung, tetangga yang berpunya. Hasil penjualan udang tawar dibelikan bumbu dapur secukupnya, juga ikan asin sekadarnya. Jika udang tak cukup dijual, emak menggorengnya dengan minyak kelapa yang dia bikin sendiri. Rupa udang itu menjadi merah menyala tatkala tersengat wajan berisi minyak goreng panas. Kadang kalau sudah perut melilit, kuambil saja udang merah yang masih setengah matang itu langsung dari penggorengannya. “Sabar toh, Nak, sebentar lagi juga matang,” kata emak.

Kata orang, kemiskinan itu diturunkan, bahkan kutukan. Sejujurnya, aku mengumpat habis kalimat menyesatkan yang sialnya menimpaku kini. Masalahnya sederhana, aku seperti kena tuah kalimat itu; miskin. Miskin harta.

Tanpa pernah kusadari, apa yang kukerjakan sehari-hari ini sampai usiaku hampir menyentuh 50 adalah apa yang pernah almarhum bapak lakukan dulu, kecuali Saodah, istriku. Rupanya ia tidak mau mengikuti mendiang emakku dulu yang tanpa diminta membantu bapak apa saja yang dia bisa.

Odah, demikian aku memanggilnya, lebih suka tinggal di gubuk, berdandan dengan bedak dan gincu yang dibelinya di pasar kecamatan, dan lebih sering ngobrol ngalor-ngidul dengan tetangga.

“Sekali-kali beranikan diri pergi ke kota, cari nafkah seperti teman-temanmu itu. Atau, kamu ‘kan bisa jadi pembantu di salah satu temanmu yang sudah kaya-raya itu,” suatu subuh Odah berkata saat aku baru saja selesai salat. Bukan sekali-dua dia mengungkapkan hal ini, menyuruhku ke kota mencari nafkah.

Rujukannya empat kawanku sekampung yang sering dia lihat di televisi tetangga itu. “Teman-temanmu berhasil dan jadi kaya karena pergi ke kota, lha kamu? Sampai tua kamu tetap miskin kalau hanya bertahan di sini!”

Kudirikan salatt subuh dua rakaat dan usai salat berdoa untuk kesalamatan istriku, juga tiga anakku. Lamat-lamat Odah masih mengumpat dan menarik selimutnya lebih tinggi. Tidur lagi. Anak-anak terbangun dan berebut ke belakang untuk buang hajat.

Tujuh tahun lalu, secara kebetulan kami berlima berkumpul lagi di kampungku. Kebetulan yang sangat langka di mana empat sahabatku datang berkumpul. Idul Fitri mempertemukan kami saat sholat Ied. Aku mengenakan sarung yang kupakai sudah tiga lebaran ini, sarungku yang terbaik. Baju koko yang kupakai hasil panen melimpah dua tahun lalu. Sedangkan peci hitam yang kupakai warnanya sudah luntur dan memudar terjilat matahari.

“Hidupmu begini-begini saja di sini, kamu mau ikut ke Jakarta bersamaku?” tawar Bunaya, satu dari empat temanku itu. “Kau bisa jaga rumah atau bersih-bersih mobil keluarga.”

“Sudahlah, di tempatku saja,” timpal Murod, temanku lainnya. “Kau bisa jaga tanaman kami dengan baik.”

“Di tempatku juga mungkin lebih baik,” kata Daen, “Kau cukup siangi kebun duren monthongku atau kasih makan burung-burungku."

“Atau di tempatku saja,” susul Sulhan, “Kau bisa menata buku dan koleksi botol minumanku, gimana?”

Atas penawaran sahabat-sahabat baikku itu, aku menarik nafas panjang dan coba melempar senyum. “Terima kasih,” kataku. “Aku tak punya nyali hidup di kota.”

Itu dulu, tujuh tahun lalu.

Setahun lalu, kampung kami digegerkan oleh kedatangan mobil ambulans yang meraung-raung memecah keheningan desa. Orang berhamburan ingin melihat mayat Bunaya yang ditembak mati polisi karena diduga sebagai bandar narkoba besar. Istriku terbelelak melihat mayatnya saat kuajak melayat ke rumah orangtuanya. “Pantas temanmu itu kaya raya, bandar narkoba!”

Murod lain lagi. Tak lama setelah Bunaya berpulang, dia membuat berita karena harus berurusan dengan KPK. Ia dicokok petugas saat sedang menyogok menteri agar mendapat jatah impor daging sapi bernilai milirian rupiah. Odah menonton Murod, temanku itu, yang terborgol saat hendak dijebloskan ke dalam tahanan. “Oalah, pantas temanmu itu kaya-raya, rupanya korupsi.”

Daen lebih mengerikan. Ia digerebek polisi karena rumahnya yang besar di Jakarta digunakan sebagai tempat jual-beli manusia; dari bayi, anak-anak, gadis, sampai janda. Lagi-lagi kampungku geger setelah polisi mengirimkan mayat Sulhan yang konon ditembak mati saat hendak melarikan diri. Odah lagi-lagi terbelalak. “Temanmu itu kaya-kaya tapi bajingan semua, ya!” katanya kepadaku.

Sulhan lain lagi. Ia memang kaya raya, tetapi dikenal sebagai tukang kawin-cerai karena hartanya sebagai pejabat berlimpah. Jantungnya kumat setelah dilabrak bini tuanya, gara-gara ia selingkuh dengan sekretaris barunya. Nyawanya tak tertolong dan jantungnya nyaris copot saat ia menenggak obat kuat . Sulhan mati di atas perut sekretarisnya itu, tanpa sehelai benang pun menutupi perut buncitnya. Mayatnya juga dikirim ke kampungku. “Wah, brengsek semua teman-temanmu itu!” umpat Odah sengit.

 

Kini keempat sahabatku sudah dikebumikan selamanya, termasuk Murod. Kebetulan keempatnya ditanam di pemakaman umum yang hanya ada satu-satunya di kampungku. Sesekali aku datang ke pemakaman sahabat-sahabatku itu untuk sekadar menyabit rumput yang sudah tinggi atau mengenyahkan dedaunan kering yang menutupi tubuh kuburan. Nyaris tidak ada yang mengurusi kuburan itu.

 

Odah datang menghampiri. Tumben, ia tidak setegang seperti biasanya, bahkan pakai peluk-peluk pinggang segala. Malu sendiri, meski di tengah makam luas ini tidak ada orang lalu-lalang. Muncullah sifat keperempuananya yang dulu membuatku jatuh cinta.

“Kang...,” katanya, “Kamu jangan pergi ke kota, ya, di sini saja bersamaku dan anak-anak!”

Aku menggelengkan kepala sambil menarik nafas panjang. “Tidak bisa,” kataku. “Kau terlambat, aku telah membuat keputusan harus pergi!”

“Jangan, Kang, maafkan aku dulu-dulu!”

“Loh, bukankah kamu yang sering menyuruhku pergi ke kota biar kaya?”

“Sekarang tidak lagi, Kang, sungguh!”

“Ah, terlambat,” kataku, “Aku harus segera pergi sekarang juga!”

Kutinggalkan Odah sendirian di pemakaman itu, dia meraung-raung mengejarku. Sementara aku memperlebar langkahku sambil menahan tawa. Kaki yang kulangkahkan tidak ke arah pulang. Sengaja memang. Kulangkahkan kaki menuju jalan raya, sebagaimana orang biasa hendak pergi ke kota mencegat bus.

Odah di belakang semakin meraung-raung dan berhasil menyejajari langkahku. Kurasa di semakin kebingungan, sementara tawaku nyaris meledak dan tetap kusembunyikan. “Kang, benar nih mau pergi ke kota?” tanyanya menggenggam tanganku.

“Siapa bilang?” kataku melepaskan genggamannya, “Aku cuma mau beli rokok!”

***