Pesta Perkawinan Amtenar Kota (Anita 5)

Sabtu, 1 Oktober 2016 | 11:00 WIB
0
488

Cerber: Pepih Nugraha

Mencari uang lebih mudah di kerumunan. Itu pemahaman lama yang masih diyakini kebenarannya. Bagi Raka tidak mutlak benar, sebab ia tidak terlalu mengejar uang. Baginya cukup makan hari ini dan ada persiapkan untuk sehari besok saja, itu sudah lebih dari cukup.

Akan tetapi, naluri pergi ke arah kerumunan tetap ia miliki demi menjual air niranya. Di kerumunan uang pasti banyak terkumpul dibanding tempat sepi seperti sehari-hari pedukuhannya. Jarak berbilang harus ditempuhnya ke kota kecamatan, di sanalah tempat beradanya kerumunan.

Maka usai sholat subuh Raka meninggalkan gubuknya di atas huma, menuruni anak lembah yang akan membawanya ke kota kecamatan. Dua tabung bambu berisi air nira sudah bertengger di pundaknya. Rancatan terbuat dari bambu untuk memikul dua tabung itu sudah melengkung menyerupai busur panah, saking beratnya beban yang harus dipikul.

Berselempang kain sarung kotak-kotak dengan kopiah hitam yang dipasang melintang di kepala, Raka memulai kehidupannya. Raka selalu ingat kata-kata almarhum bapaknya, katanya kalau bangun untuk kerja mencari kehidupan jangan sampai dadahului kokok ayam. Bahkan ketika ayam masih tertidur, Raka sudah menuruni anak lembah. Angkutan umun kemudian membawanya ke kota kecamatan.

Sebelum pukul sembilan pagi, Raka sudah tiba di pusat kerumunan. Bukan pasar, tetapi aula besar tempat para panggede dan orang berada pesta atau mengadakan upacara kawinan. Mentari sudah meninggi dan memancarkan panasnya sampai ke bumi. Panas mentari yang di atas rata-rata pertanda bakal datangnya rezeki yang baik pula, setidak-tidaknya bagi Raka si tukang air nira.

 

Tidak salah, di antara kerumunan itu banyak yang menyerbu dua tabung air nira yang Raka dagangkan, praktis tidak ada saingan selain penjual es cendol atau pedagang asongan air dalam kemasan plastik.

 

Semakin mentari meninggi dan panas membakar bumi, semakin berduyun-duyunlah serpihan kerumunan itu menyerbu air niranya. Maka tidak aneh, sebelum matahari mencapai ubun-ubun air nira Raka sudah nyaris tandas.

"Sebenarnya di gedung ini ada pesta apa, Nyai, bukan main ramainya?" tanya Raka pada pembeli terakhir, seorang perempuan muda berkain kebaya ditemani pasangannya.

"Pesta kawinan."

"Subhanallah... Ramai bukan main, banyak panggede datang," gumam Raka.

"Benar, Mang. Maklum amtenar kota yang kaya-raya meminang gadis desa dekat-dekat sini, jadi yang diundang juga orang-orang penting!"

Raka mengangguk-angguk takjub.

Perempuan muda dan pasangannya itu selesai menegak air nira penghabisan. Sebelum ia membayar, Raka sudah mengumpulkan uang hasil jerih payahnya itu. Uang yang sebagian besar berbentuk recehan logam itu ia ikat dengan selampenya, lalu ia masukkan ke dalam kain sarungnya. Tidak lupa ia berterima kasih kepada Sang Pemberi Hidup, sebagaimana pernah diajarkan mendiang bapaknya.

"Nyai, ngomong-omong siapa gerangan yang pesta besar-besaran di gedung ini?" Raka memberanikan diri bertanya sebelum si perempuan muda dan pasangannya berbalik badan untuk segera memasuki aula.

"Pak Johan, amtenar Jakarta, pejabat di kementrian energi..."

"Emh, maksud Amang pengantin perempuannya, Nyai?"

"Yuanita Handaruan."

Yuanita Handaruan...??

"Oh, terima kasih, Nyai," Raka sedikit tergagap. Wajahnya mendadak tegang yang celakanya terbaca oleh si pembeli air nira terakhir tadi.

"Lho kok seperti terperanjat begitu? Memangnya situ kenal sama pengantin perempuan, Neng Yuanita?"

"Eh, tentu tidak, Nyai, apalah Mamang ini."

Sempat terngiang di telinga Raka kata-kata kekasihnya beberapa tahun lalu di bawah lembah subur saat purnama bercahaya.... "Untukmu, Raka!"

Perempuan muda dan pasangannya segera ditelan mulut aula yang makin ramai. Musik mengalun mengepung sekeliling. Diam-diam Raka mengeja nama yang sudah sangat dikenalnya semasa duduk di bangku kelas satu SMA.

Yuanita Handaruan...

Anita.

(Bersambung)

***

[irp posts="1007" name="Musim Paceklik Yang Mencekik (Anita 4)"]