Benarkah di Pilkada Jakarta Suara Perempuan itu Suara Tuhan?

Jumat, 30 September 2016 | 22:14 WIB
0
513
Benarkah di Pilkada Jakarta Suara Perempuan itu Suara Tuhan?

Sebagai laki-laki, saya sendiri merasa seksi. Terbukti, bisa bikin seorang perempuan jatuh cinta, dan kemudian ia bersedia saya nikahi. Apakah penerimaan perempuan yang kini menjadi istri saya itu karena tak ada pria lain yang lebih seksi? Oh, tidak juga. Pasti banyak di luar sana.

Pemilihan kepala daerah alias Pilkada, yang jelas-jelas pil yang tak bisa ditenggak, dipastikan akan mampu membawa efek tak kurang dari pil koplo yang dibahasa-kerenkan dengan Benzodiazepin, rentan membuat para istri tergoda untuk memilih salah satu dari mereka. Di sinilah korelasi terminologi seksi tadi dengan Pilkada DKI bertemu.

Bagaimana tidak, sebagai calon gubernur, ada tiga kandidat mencuat; Anies Baswedan yang konon punya senyum yang bisa bikin perempuan deg-degan, Agus Yudhoyono yang mampu membuat para gadis melongo, hingga Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang potensial bikin jantung wanita rontok.

Tak ada penelitian khusus saya lakukan untuk menyejajarkan ketiga kandidat itu dari sisi pesona. Tapi, dari apa yang berseliweran di akun media sosial, saya menemukan kesimpulan itu; para pria itu membuat kepedean saya sebagai pria seksi meluntur!

Penyebabnya, tentu saja, nama para tiga pria itu pastilah paling banyak disebut dan dibicarakan para wanita se-Jakarta. Sedangkan saya, istri tetangga saja hampir tak ada yang tahu siapa nama lengkap saya. Tragis bukan?

Tapi tunggu dulu. Saya tidak sedang berusaha memaksa menyandingkan diri dengan mereka. Apalagi, meski tak ada yang mengakui pun, di depan istri tetap saja saya deklarasikan diri sebagai pria paling seksi se-DKI dan bahkan sedunia. Kalaupun secara lisan istri saya sendiri pun tak pernah mengakui itu, tapi saya punya bukti kuat berupa fakta sahih karena pernah mengantarkannya ke ruang bersalin!

Ya, saya hanya ingin meraba-raba isi kepala perempuan se-DKI saja, bukan hal-hal lainnya.

Itu juga terilhami cerita menjelang pemilihan presiden lalu, saat sosok Joko Widodo ditunjuk sebagai figur paling dipuja wanita dalam salah satu survei yang dilakukan Pusat Data Terpadu (PDB) pada 2013 lalu. Didik J. Rachbini selaku pendiri PDB saat itu membeberkan, berdasarkan survei tingkat elektabilitas Jokowi, 16,1 persen disukai perempuan dan hanya 13,5 persen disukai kalangan pria.

Itu baru survei, yang di masa Majapahit mungkin disejajarkan dengan nujum.

Tapi memang kemudian terbukti, suara perempuan adalah suara Tuhan! Sedikit meloncat dari term yang kerap digunakan ahli-ahli politik yang gemar menyebut suara rakyat adalah suara Tuhan. Jokowi meninggalkan kursi gubernur DKI, dan meloncat cepat ke kursi presiden, hingga bikin mata banyak orang ikut loncat dari rongganya.

Lagi, berkaca ke Jokowi, keseksian seorang lelaki akhirnya tak dihitung berdasarkan manis tidaknya senyum ditebar, atau dari menarik tidaknya menyusun kata-kata. Bahkan, istri saya saja sempat bilang jika Jokowi kerap berbicara dengan nada yang terkesan terbata-bata.

Di situlah, pikiran perempuan tak mudah dimengerti. Mata lelaki tak mudah menembus isi kepala mereka, dan ini saya kira bukan semata-mata bahwa rata-rata rambut kaum hawa memang jauh lebih lebat dari Kaka Slank--misalnya.

Jokowi yang disebut planga-plongo, tapi kemudian terpilih sebagai presiden setelah para pesaingnya justru bersujud syukur karena merasa sukses "mengibuli" Tuhan dan memenangkan mereka--berdasarkan quick count berbau euforia.

Bagaimana dengan kali ini?

Saya tak bisa menunjuk secara persis, kira-kira siapa dari para calon itu yang memiliki magnet terkuat di kalangan perempuan. Apakah Agus yang gagah dan kental hawa militer lebih seksi? Anies yang kalem dan lihai dalam komunikasi publik? Atau, Ahok yang kerap meledak-ledak dan sama sekali tak punya keahlian memoles kata-kata?

Begini. Saya tertarik pada Veronica Tan (maaf, Pak Ahok, bukan naksir, cuma tertarik). Kenapa? Karena perempuan secantik ini bisa dibuat jatuh cinta oleh Ahok. Maka itu, saya membayangkan ada berapa perempuan di DKI ini yang bisa melihat sosok petahana tersebut seperti Veronica.

Dalam beberapa wawancara, Veronica sempat berterus terang menyebut Ahok sebagai lelaki kampung karena memang berasal dari daerah yang terbilang kental hawa kampung. Sedangkan dia sendiri adalah perempuan kota. Beberapa kali dia berusaha keras mengubah Ahok untuk lebih "kekotaan" dalam berbicara, namun tetap tidak berubah. Menariknya, cinta Veronica kepada pria itu pun tak berubah.

Tapi, berapa banyak perempuan di Jakarta yang memiliki pikiran yang sama dengan Veronica? Saya kira, wanita yang telah memberikan tiga anak untuk Ahok tersebut justru berharap tak ada yang berpikiran yang sama dengannya. Sebab jika itu terjadi, alamat dia harus berbagi ranjang. Tentu saja, perempuan yang dididik secara militer pun takkan begitu saja kuat secara mental dalam berbagi suami, bukan?

Maaf, sedikit ngelantur. 

Namun akhirnya, perempuan umumnya lebih menyukai para pria yang jujur. Keseksian pria kerap diukur dari kejujuran, dan itu yang kerap bikin seorang perempuan tak ingin melepaskan pria-nya. Tapi tentu saja kadar kejujuran itu pun yang tidak menyakiti mereka, sih ya? Sebab, saya sendiri jika sedang jalan-jalan di mall dan nyeletuk ke istri, "Eh SPG di sebelah sana itu, mulus sekali, ya?" boleh jadi saya menerima hukuman ganda, mendapatkan ekspresi cemberut, atau diboikot selama seribu satu malam--tanpa bantuan Lampu Aladin.

Nah, pertarungan di sini, jika tiga kandidat gubernur itu dapat membuktikan kejujuran mereka di depan para istri se-Jakarta--kecuali istri saya, lantaran dia masih ber-KTP Jawa Barat. Jika ada kandidat yang sekadar melemparkan kata-kata indah selayaknya rayuan gombal, percayalah perempuan metropolitan punya insting sangat tinggi dalam membedakan lidah lelaki asli dengan lidah buaya--yang dapat saja dipotong mereka untuk penyubur rambut saja.

Berusaha mengecoh para perempuan itu dengan janji manis, ya mungkin para perempuan itu akan membalas dengan senyum manis. Tapi, di saat bersamaan mereka pun akan menyajikan kopi manis, namun sudah lebih dulu dibubuhi sianida! Ya, karena sidang Jessica Kumala Wongso yang berbulan-bulan tak kunjung usai  itu, memberi inspirasi penting bagi mereka bagaimana arti lain dari secangkir kopi.

Sedangkan jika mampu meyakinkan mereka, yakin dan percayalah, suara perempuan adalah suara Tuhan.

***