Keputusan Partai Gerindra mengusung pasangan Anies Baswedan dengan Sandiaga Uno sebagai bakal calon gubernur DKI Jakarta dan wakilnya di saat injury time merupakan keputusan yang tepat dan "maknyus". Dengan majunya Anies sebagai calon gubernur, sulit bagi pasangan gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Djarot Saiful Hidayat untuk menang satu putaran.
Bukan itu saja, Pilkada DKI Jakarta yang berlangsung dua putaran dengan Anies yang dimajukan, pasangan Ahok-Djarot terancam kalah, setidak-tidaknya Pilkada akan berlangsung ketat dan menegangkan.
Merujuk pada hasil survei Poltracking Indonesia pada awal September lalu, simulasi Anies yang berpasangan dengan Sandiaga Uno berpotensi besar mengalahkan pasangan Ahok-Djarot. Memang dalam hasil survei itu Ahok-Djarot masih unggul tipis, yakni dengan skor 37,95 persen versus 36,38 persen.
Namun seiring perjalanan waktu sampai pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta putaran pertama pada 15 Februari 2017 yang akan datang, komposisi angka statistik ini bisa berubah, tergantung performa pasangan calon dan kinerja tim pemenangan. Hasilnya bisa keunggulan Ahok-Djarot makin melebar dibanding Anies-Sandiaga. Atau sebaliknya, Anies-Sandiaga yang bakal menyalip pasangan Ahok-Djarot.
Sebagaimana diketahui bersama, tiga pasangan calon gubernur DKI Jakarta dan wakilnya telah terbentuk. Pasangan pertama adalah Ahok-Djarot yang diusung PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, dan Hanura. Pasangan kedua Anies-Sandiaga yang diusung koalisi dua partai alias Koduapa yaitu Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pasangan ketiga Agus Harimurti Yudhoyono berpasangan dengan Sylviana Murni didorong Partai Demokrat (PD), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Yang menarik dan luput dari perhatian publik adalah, tampilnya Ahok, Anies, dan Agus (Trio "A") berasal dari hak prerogatif masing-masing ketua umum partai, yakni Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Sehingga, sulit dielakkan bahwa Pilkada DKI Jakarta 2017 ini adalah kelanjutan dari rivalitas Pilpres-Pilpres sebelumnya, yakni Pilpres 2004, 2009, dan 2014. Meminjam ucapan mantan Presiden SBY yang juga ketua umum PD, perhelatan demokrasi lokal ini adalah "Pilkada rasa Pilpres".
Untuk menang telak sehingga Pilkada berlangsung satu putaran, setiap pasangan calon harus memenangi 50 persen suara plus 1. Jika kurang dari jumlah itu, Pilkada berlangsung dua putaran, dimana putaran pertama berlangsung 15 Februari 2017 sedangkan putaran kedua 19 April 2017.
Bagaimana cara melihat peluang masing-masing calon jika tidak melihat hasil survei Poltracking Indonesia?
Survei bukan satu-satunya penentu, meski terkadang sering terkesan "mendahului" hasil. Kinerja tim pemenangan dan jumlah suara partai politik pendukung bisa menjadi kunci kemenangan, paling tidak bisa dijadikan gambaran peta kekuatan masing-masing pasangan calon.
Mari kita lihat komposisi kursi yang diperoleh 10 partai politik pada Pileg 2014 lalu:
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 28 kursi
Partai Gerindra 15 kursi
Partai Keadilan Sejahtera 11 kursi
Partai Persatuan Pembangunan 10 kursi
Partai Demokrat 10 kursi
Partai Hati Nurani Rakyat 10 kursi
Partai Golongan Karya 9 kursi
Partai Kebangkitan Bangsa 6 kursi
Partai Nasional Demokrat 5 kursi
Partai Amanat Nasional 2 kursi
Koalisi PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura 52 kursi
Koalisi PPP, PKB, PAN, PD 28
Koalisi Gerindra dan PKS 26
Logika sederhananya, jika melihat kepada kekuatan suara yang diperoleh partai politik pendukung, Ahok-Djarot seharusnya menang satu putaran saja, sebab kursi partai pendukung yang diperolehnya sudah hampir mendekati 50 persen yang berarti mayoritas, yakni 52 dari 106 kursi DPRD DKI Jakarta.
Jika berpegang pada perolehan suara yang tergambar dalam kursi DPRD, seharusnya yang maju ke putaran kedua itu adalah Agus-Sylviana, karena perolehan kursi partai pendukung 28 sementara Anies-Sandiaga "hanya" 26 kursi. Namun akibat perbedaan dukungan suara yang sangat tipis inilah diperkirakan elektabilitas dan popularitas Anies justru di atas Agus. Kok bisa?
Anies misalnya, memiliki jaringan kuat di perguruan tinggi atau komunitas dosen dan mahasiswa selain juga menjadi "ikon" komunitas besar Indonesia Mengajar. Badan Anies juga sudah setengah politisi dan setengah ilmuwan yang mahir bertutur kata. Setengah politisi, karena Anies secara sadar pernah mengikuti konvensi PD untuk bakal calon Presiden RI pada 2014 lalu. Jangan lupa pula, Anies adalah representasi dari "Islam" atau "Muslim" sebagai mayoritas yang suka atau tidak suka isunya bakal diembuskan juga.
Namun faktor PPP dan PAN yang sekarang masuk ke "koalisi berkuasa" yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di mana preferensi KIH adalah pasangan Ahok-Djarot, maka tiga "partai-partai hijau" bernafas Islam termasuk PKB yang sudah sejak awal ada di KIH, jelas sangat menguntungkan Ahok-Djarot meski realitasnya mereka mengusung Agus-Sylviana. Apalagi jika Pilkada berlangsung dua putaran.
Elektabilitas dan popularitas Agus yang tiba-tiba muncul di pentas Pilkada DKI Jakarta atas dorongan ayahanda, jelas masih belum teruji. Sebagai debutan, pasangan Agus-Sylviana juga belum masuk radar survei. Diperkirakan, dari sisi elektabilitas maupun popularitas, Agus belumlah sebanding dengan Anies, apalagi Ahok.
Dengan demikian, ini pekerjaan besar tim pemenangan Agus-Sylviana agar rajin memoles dan memperkenalkan pasangan ini kepada publik Jakarta, khususnya warga yang sudah punya hak pilih.
The politics is art of 'poles memoles' di mana untuk yang satu ini Agus bisa langsung berguru pada suhunya alias pada ayahandanya sendiri, SBY. Sisa waktu menuju palagan Pilkada sesungguhnya harus benar-benar dimanfaatkan oleh pasangan "pengantin baru" ini.
Setuju!?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews