Sulitnya Menghapus Jejak Digital, Bakal Jadi Bumerang Calon Gubernur?

Sabtu, 24 September 2016 | 15:23 WIB
0
293
Sulitnya Menghapus Jejak Digital, Bakal Jadi Bumerang Calon Gubernur?

Tak ada kawan atau lawan abadi dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan abadi.

Adagium spekulatif dan mengawang-awang yang sangat terkenal ini menemukan kenyataannya pada Pilkada DKI Jakarta yang akan berlangsung pada 15 Februari 2017 mendatang.  Hal ini terlacak pada jejak digital di Internet ketiga calon gubernur DKI Jakarta yang akan berlaga.

Seperti telah diketahui bersama, tiga pasang calon gubernur sudah terbentuk didorong oleh partai masing-masing. Pasangan pertama, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat diusung PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, dan Hanura.

Pasangan berikutnya yang cukup mengejutkan publik adalah Agus Harimurti Yudhoyono yang berpasangan dengan Sylviana Murni. Pasangan “pengantin baru” ini diusung Partai Demokrat (PD), Partai Pesatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Pasangan yang mendaftar terakhir adalah Anies Baswedan dengan Sandiaga Uno. Pasangan ini juga mengejutkan, tersebab Sandiaga yang digadang-gadang sebagai bakal calon gubernur Partai Gerindra dan telah berpasangan dengan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera, terpaksa harus legawa tukar posisi dengan Anies yang setelah dihitung-hitung Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, dianggap lebih cocok sebagai calon gubernur.

[caption id="attachment_1023" align="alignleft" width="396"] Ahok, Anies, Agus (Foto: Tribunnews.com)[/caption]

Dari ketiga calon gubernur yang kebetulan berhuruf awal sama, yakni Ahok, Agus, dan Anies, ternyata meninggalkan jejak digital di Internet yang bisa diakses siapapun, jejak yang sangat sulit dihilangkan begitu saja. Jejak digital Ahok dan Anies paling banyak, sedang jejak Agus boleh dibilang paling minim karena jarang atau bahkan tidak ada media yang mengutip ucapannya. Jejak Agus justru “diwakili” ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono yang mantan Presiden RI.

Jika jejak digital itu ada pada masing-masing akun media sosial seperti Facebook atau Twitter, itu akan mudah dihapus pemiliknya. Tetapi itu juga bukan jaminan akan terhapus semuanya, sebab bisa jadi beberapa orang sudah menangkapnya (capture) dan memproduksinya dalam “meme” yang menggelitik gaya pemain media sosial.

Lebih sulit lagi menghapus jejak digital yang sudah ditayangkan media online arus utama di mana hak cipta kontennya sudah dimiliki masing-masing media tersebut. Bahkan cara ini mustahil dilakukan kecuali seorang calon bisa membujuk pemilik media tersebut untuk menghapusnya. Inipun berisiko bagi media tersebut, sebab boleh jadi sejumlah orang sudah berbagi tautan itu dan sudah mengurung serta menangkapnya dalam bentuk “meme”.

 

Alhasil, publik bisa menilai konsistensi sekaligus inkonsistensi seorang calon gubernur. Lewat jejak digital itu, publik juga bisa mengukur keajegan sikap atau kegalauan seorang calon gubernur. Ini nyata!

 

Simak misalnya jejak digital Anies Baswedan yang ternukil pada media online Republika, Kamis 3 Juli 2014, berjudul “Anies Sebut Prabowo-Hatta Diusung Para Mafia”. Posisi Anies saat itu adalah selaku juru bicara pasangan calon Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dalam berita itu Anies mendorong publik untuk memilih kandidat yang dinilai dapat membawa perubahan. Menurut dia, kubu kompetitor, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa diusung oleh sejumlah partai politik yang dikerubuti para mafia, seperti dugaan kasus korupsi migas, haji, impor daging, Alquran, dan lumpur Lapindo.

Sulit membayangkan, apa jadinya kalau kemudian Prabowo mengetahui jejak digital yang termuat Republika itu di saat justru oleh dirinyalah Anies dimajukan sebagai calon gubernur DKI Jakarta mendampingi Sandiaga. Sulit membayangkan bagaimana rikuhnya Anies ketika Prabowo mengetahui dan membaca jejak digital yang belum lama berselang itu, bukan?

Jejak digital lainnya adalah ucapan Susilo Bambang Yudhoyono saat menjadi Presiden RI tahun 2009. Kantor Berita Antara pada 22 Desember 2009 memuat berita berjudul “Presiden: Perwira TNI-Polri Jangan Bercita-cita Jadi Gubernur”. Kalau tujuh tahun kemudian SBY justru “memaksa” anak sulungnya sendiri yang masih aktif sebagai anggota TNI untuk menjadi calon gubernur DKI Jakarta, rasanya seperti kena pepatah “menjilat ludah sendiri” atau “Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri”.

"Yang tidak benar kalau kalian memasuki akademi TNI Polisi lantas cita-citanya ingin menjadi bupati, waikota, gubernur, pengusaha, dan lain-lain. Tidak tepat," kata SBY dalam acara pengarahan kepada taruna, pengasuh, dan perwira TNI-Polri di Graha Samudra Bumi Moro, Markas Komando Armada Kawasan Timur, Surabaya.

Tentu saja publik akan mudah “memelintir” bahwa penunjukkan Agus Harimurti, anaknya sendiri yang masih menjadi anggota militer aktif, sebagai hal “yang tidak benar”. Tetapi kenapa SBY justru melakukannya?

Lantas apakah Ahok tidak punya jejak digital? Justru Ahok-lah yang paling banyak!

Mau berita apa saja tentang Ahok, pasti ada. Bukan hanya sebatas teks, bahkan sejumlah video di Youtube pun menjadi viral. Misalnya Ada Ahok yang sedang marah-marah mengusir wartawan, Ahok yang sedang memaki dengan ucapan yang kelewat kasar, ada sikap dan ucapan Ahok yang tidak konsisten semisal ingin maju lewat jalur independen tetapi nyatanya didorong dari jalur partai, atau Ahok yang menggusur pemukiman penduduk atas nama penataan kota. Akan tetapi, ada juga jejak digital Ahok yang membangun masjid megah di Balai Kota, misalnya.

Namun demikian, umumnya orang dalam hal ini pengguna media sosial, hanya akan mengingat jejak digital yang masuk kategori “kontroversial” yang bahkan cenderung negatif, sedangkan yang baik-baik dan adem-ayem malah dilupakan karena memang tidak menarik dan tak punya greget.

Memang demikianlah nature pengguna media sosial di internet.

***