Yusril Ihza Mahendra pernah melempar gagasan mengenai Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia, yakni mengubah Jakarta menjadi “Federal Territory” sebagaimana Ibu Kota Malaysia, Kuala Lumpur. Konsekuensinya, Jakarta bakal dipegang seorang pejabat setingkat menteri.
Dengan cara ini, masalah koordinasi untuk mengatasi banjir, macet, pemukiman, kesehatan, dan kesejahteraan yang selama ini hanya diselesaikan di level daerah akan lebih cepat diatasi karena menjadi perhatian nasional.
Jika ide ini dapat direalisasikan, maka tidak akan ada lagi pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta. Sementara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI juga akan dihapus. Sebagai gantinya, anggota DPRD DKI diintegrasikan ke DPR dengan membentuk Komisi Ibu Kota. Menteri Jakarta akan bertanggung jawab kepada Presiden, sementara Wali Kota dan Bupati tetap ada dan bertanggung jawab kepada menteri.
Dengan ide ini Yusril yakin, Jakarta di bawah pimpinan pejabat setingkat menteri akan mudah dikelola dan koordinasi dengan pusat akan lebih mudah dilakukan. Pasalnya, Menteri Jakarta itu setingkat menteri-menteri kabinet di bawah Presiden RI.
Yusril mengungkapkan ide ini 25 Februari 2016 saat ia memulai niatnya untuk menjadi calon gubernur DKI Jakarta, baik melalui jalur perseorangan maupun jalur partai. Namun sampai ulasan ini diturunkan, nasib Yusril belum menentu dan bahkan namanya hilang dari peredaran tergantikan Anies Baswedan yang semula tidak diniatkan untuk bertarung di palagan Pilkada DKI Jakarta 15 Februari 2017 mendatang.
Saat ini pasangan yang sudah terbentuk dan didaftarkan ke KPU adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat. Pasangan gubernur petahana Ahok-Djarot ini dimajukan PDI Perjuangan.
Pasangan lainnya adalah Agus Harimurti Yudhoyono dengan Sylviana Murni yang didorong empat koalisi partai sisi alias Koppasis yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat (PD).
Koalisi dua partai alias Koduapa, yakni Partai Gerindra dan Patai Keadilan Sejahtera (PKS) masih menimang-nimang nama calonnya apakah Sandiaga Uno yang akan dijadikan bakal calon gubernur dan Anies Baswedan wakilnya, atau sebaliknya Anies yang jadi bakal calon gubernurnya. Dalam pusaran penetapan pasangan ini nama Yusril hilang dari peredaran.
Namun demikian, gagasan Yusril mengenai perlakuan khusus kepada Jakarta sebagai Ibu Kota Negara menunjukkan arti penting wilayah seluas 7,6 ribu kilometer persegi yang dulu bernama Batavia ini. Jika Presiden RI dan wakilnya sering disebut sebagai “RI-1” dan “RI-2”, tidaklah berlebihan kalau PepNews! menyebut Gubernur DKI Jakarta sebagai “RI-3” yang lebih penting dan jauh lebih populer dari sekadar Ketua DPR, Ketua DPD, dan bahkan Ketua MPR.
Kota Jakarta yang berdiri 22 Juni 1527 atau sudah berumur 489 tahun sering disebut “Indonesia Mini” dalam arti sesungguhnya. Kota ini merupakan “melting pot” dari berbagai suku bangsa yang terserak di Tanah Air ini bersama penduduk asli yang disebut Betawi.
Sering disebut-sebut pula, 70 persen jumlah uang NKRI beredar di Ibu Kota Jakarta ini. Untuk alasan itulah mengapa Kota Jakarta menjadi sangat penting dan strategis, yang saat ini diperebutkan oleh elite partai politik.
Tidak salah kalau mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menyebut “Pilkada rasa Pilpres” untuk pertarungan Pilkada DKI Jakarta 2017 ini. Soalnya, hampir semua elite politik yang terkait langsung dengan kader yang akan dicalonkannya seperti Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, dan Ketua Umum PD Susilo Bambang Yudhoyono, dan bahkan pendiri PAN Amien Rais, rela “turun gunung” alias cawe-cawe dalam penentuan pasangan calon masing-masing.
Ahok tentu saja GR sendiri tatkala SBY menyebut “Pilkada rasa Pilpres”, sebab dia langsung “memelintir” pernyataan SBY yang memajukan puteranya sebagai bakal calon gubernur itu dengan mengatakan, “Bagus dong, berarti saya kelasnya Pilpres.”
Secara tidak langsung, Ahok sesungguhnya sedang menohok untuk tidak mengatakan SBY “turun kelas” dengan hanya sekedar mengurusi politik lokal, dalam hal ini mengurusi bakal calon gubernur. Padahal publik tahu, level SBY adalah elit politik nasional dengan palagan Pilpres yang pantas untuknya, bukan level Pilkada.
Namun demikian sesungguhnya bukan hanya SBY saja yang “turun kelas”, karena Megawati, Prabowo, dan Amien juga “ikut nimbrung” dan terlibat dalam penentuan pasangan calon. Bahkan Megawati lebih dahulu terlibat dalam lobi intensif dengan Ahok dan mengantarkan Ahok-Djarot ke KPU.
Turun gelanggangnya Megawati memancing SBY menggelar pertemuan Cikeas dan Prabowo menggelar pertemuan Kertanegara. Sedangkan Amien yang sibuk dengan pernyataannya agar publik Jakarta tidak memilih Ahok, menunjukkan “turun kelas”-nya dari Bapak Reformasi menjadi sekadar politisi level lokal.
Untuk sebuah kekuasaan yang meski sekadar “Gubernur tapi rasa Presiden”, para pentolan elite partai politik itu rela turun gunung meski harus menurunkan derajat kelasnya. Jakarta adalah “Indonesia Mini” yang gengsinya tidak kalah mentereng dibanding menteri bahkan ketua lembaga tinggi negara lainnya seperti Ketua DPR atau Jaksa Agung.
Dalam konteks “the will to power”, menguasai Jakarta, jelas sama dengan menguasai Indonesia yang kalau dikaitkan dengan perputaran uang dan pertumbuhan ekonomi, tidak bisa lagi disebut sebagai “mini” lagi. Menguasai Jakarta sama dengan menguasai Indonesia.
Itu sebabnya Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah “copy paste” Pilpres 2014, termasuk elite politik yang terlibat di dalamnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews