Tidak keliru jika mantan Presiden RI sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut Pilkada DKI Jakarta 2017 sebagai “Pilkada rasa Pilpres”. Alasannya, konstelasi politik lokal melibatkan elit politik nasional seperti Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, dan SBY, sehingga mirip pertarungan di ajang Pilpres.
Pernyataan SBY dilontarkan kepada wartawan di Cikeas saat sejumlah pentolan empat partai politik, yakni PPP, PAN, PKB, dan PD menggodok bakal calon gubernur untuk melawan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat dan telah diusung oleh PDIP bersama Golkar, Nasdem, dan Hanura.
Namun koalisi empat partai sisa alias Kopassis yang berada di kediaman SBY itu sampai ulasan ini diturunkan belum berhasil mengusung bakal pasangan. Sejumlah nama bakal calon beredar, antara lain Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno, Anies Baswedan, dan putra SBY sendiri, Agus Harimurti Yudhoyono.
Selama ini koalisi dua partai alias Duapa, yakni Partai Gerindra dan PKS yang tidak hadir di Cikeas, sudah menyebut pasangan Sandiaga Uno dan Mardani Ali Sera sebagai bakal calon. Akan tetapi, Prabowo Subianto selaku Boss Gerindra belum memberi restu, baru pernyataan sepihak PKS sajalah bahwa pasangan Sandiaga-Mardani sudah pasti.
Dengan turun gunungnya “duo pendekar” yang mantan jenderal di Cikeas, yakni SBY dan Prabowo, plus Megawati yang sudah “mengawal” Ahok-Djarot ke KPU, memang pernyataan SBY bahwa “Pilkada rasa Pilpres” tidak keliru.
Namun kesan yang muncul kali ini sulit dielakkan, bahwa “duo pendekar” SBY-Prabowo sedang ramai-ramai “mengeroyok” Megawati dengan “dendam” masa lalu yang masih membara.
SBY, misalnya, meski sudah dua kali berhasil mempecundangi Megawati di dua kali Pilpres, 2004 dan 2009, tetap ingin melakukan “hattrick”, berharap menang untuk yang ketiga kalinya saat jagoannya kelak mengalahkan Ahok-Djarot yang dielus-elus Megawati. Politik memang seperti makan kuaci, tidak pernah puas dan tidak pernah membuat kenyang.
Bagi Prabowo, kekesalannya atas Megawati yang dianggap ingkar janji terhadap “Perjanjian Batutulis”, masih belum reda. Rasa kecewa Prabowo yang mendalam tidak akan hilang begitu saja karena atas ingkar janjinya Megawati itulah peluangnya menjadi Presiden RI pada Pilpres 2014 melayang sudah.
Ini gara-gara Megawati mencalonkan Joko Widodo. Padahal di “Perjanjian Batutulis” jelas-jelas disebutkan, pada Pilpres 2014 giliran PDIP dalam hal ini Megawati yang akan mendukung Prabowo selaku calon presiden. Tetapi kenyataan bicara lain dan bagi Prabowo, sikap Megawati ini sangat mengecewakannya. Wajar kalau dalam Pilkada DKI Jakarta ini Prabowo ingin membalas rasa sakit hatinya itu.
Namun demikian, pernyataan SBY bahwa apa yang terjadi pada konstalasi politik lokal Jakarta sebagai “Pilkada rasa Pilpres” sesungguhnya menyimpan bumerang yang tak terlihat. Bumerang yang secara tidak terduga menghantam balik si pemilik pernyataan.
Ahok, misalnya, langsung menanggapi pernyataan SBY itu dengan mengatakan, "Bagus dong, berarti saya kelasnya Pilpres.” Meski kesannya becanda, pernyataan Ahok justru menekankan makna sebaliknya, bahwa dengan cawe-cawenya di urusan politik lokal Jakarta, SBY sebenarnya sedang “turun kelas” dari level Pilpres ke level Pilkada.
Pernyataan Ahok tentu saja diakhiri dengan derai tawa “ha ha ha” seperti biasanya, meski pada akhirnya mengapresiasi sikap SBY selaku elite politik nasional level Presiden mau turun langsung menangani urusan politik lokal di Pilkada Jakarta 2017 untuk “sekadar” memilih Gubernur.
Namun sebenarnya, yang "turun kelas" itu bukan hanya SBY, melainkan juga Prabowo dan bahkan Megawati yang lebih dulu "turun kelas" dengan mengantar Ahok-Djarot mendaftarkan diri sebagai pasangan bakal calon gubernur dan wakilnya ke KPU.
Jangan-jangan, "turun kelas"-nya "duet jenderal" SBY-Prabowo itu justru terpancing Megawati.
Who knows...
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews