Dilema Jurnalis di Lapangan; Pilih Humanisme atau Profesionalisme?

Kamis, 15 September 2016 | 20:30 WIB
0
578
Dilema Jurnalis di Lapangan; Pilih Humanisme atau Profesionalisme?

Kepada saya ada yang melempar pertanyaan seperti ini; "Apakah seorang wartawan di lapangan bisa beralih dari peristiwa faktual demi mengabdi pada kemanusiaan, karena saya membaca ada seorang wartawan yang demi sebuah momen yang hanya mungkin ada sepanjang hidupnya dan ia memilih momen ketimbang kemanusian sehingga momen ini menghantar ia pada penghargaan tertinggi jurnalis tetapi penyesalan menghantar ia pada bunuh diri."

Tentu saja saya membalas komen itu dengan senang hati. Saya bilang, "Iya, yang Anda maksud adalah momen yang diabadikan fotografer Kevin Carter tentang anak balita Sudan yang menderita kelaparan hebat, yang ajalnya akan segera tiba, sementara di belakangnya telah menunggu seekor burung nasar (vulture) atau burung pemakan bangkai. Momen dalam foto itu memang sangat menancap dalam ingatan!"

Saya membuka-buka kembali buku jurnalistik saya. Foto yang bicara banyak itu diabadikan di Sudan yang tengah bergolak akibat peperangan. Foto itu mengguncang dunia dan karenanya memenangkan hadiah Pulitzer tahun 1993. Belakangan, atau setahun kemudian, Carter memilih bunuh diri karena mengalami penyesalan yang mendalam beberapa saat setelah menerima hadiah paling bergengsi di bidang jurnalistik itu. Rupanya telah terjadi peperangan yang hebat dalam batinnya, yang berakhir dengan keputusannya yang tragis itu: bunuh diri.

Kalau saya dihadapkan pada momen itu, saya tentu saja akan bertindak seperti Carter: mengabadikan momen itu terlebih dahulu, entah itu lewat foto maupun video. Barulah jika ada kesempatan, saya menolong anak itu!

Kelihatannya keji dan tidak berperikemanusiaan, ya? Boleh jadi demikian. Inilah sebabnya mengapa jurnalis sering dibenci di berbagai pelosok dunia karena dianggap selalu mengedepankan profesionalisme ketimbang humanisme. Jurnalis sering dicap si Raja Tega, yang perasaannya kurang tersentuh oleh penderitaan kemanusiaan, demikian pendapat sementara orang.

Mengapa saya harus mengabadikan terlebih dahulu baru menolong kemudian? Lagi-lagi karena saya mengedepankan profesionalisme ketimbang kemanusiaan. Jahat sekali, ya? Tetapi tentu saja dengan catatan khusus. Misalnya untuk contoh kasus foto Kevin Carter yang "sangat berbicara" itu.

Sederhana saja pertimbangannya, yakni dengan mengabarkan peristiwa memilukan lewat hasil bidikannya di koran-koran dunia, apa yang dikerjakannya telah mengubah pandangan dunia mengenai kelaparan yang demikian dahsyat di Sudan. Bahkan mungkin bantuan dan perhatianpun mengalir ke anak-anak Sudan khususnya dan umumnya anak-anak Afrika.

Beda kalau si jurnalis abai pada momen yang hebat ini lalu sibuk menolong, maka tidak ada kabar buruk kepada dunia mengenai bencana kelaparan di Afrika. Terlebih lagi, bukankah tugas jurnalis itu mengabarkan, dan bukan mendedikasikan diri untuk terjun langsung menolong, sebagaimana yang dilakukan para volunteer. Justru dengan mengabarkan kepada dunia lewat foto-fotonya itu, volunteer dengan sendirinya datang.

Jadi, saya tidak sependapat dengan pengabaian masalah kemanusiaan.

Ada satu kejadian nyata, di Tanah Air, di mana seorang wartawan yang ditugaskan meliput kerusuhan di Papua, saat deadline tiba, dia tidak mengirimkan beritanya. Editor bertanya mengapa peristiwa kerusuhan yang demikian besar dan menewaskan banyak orang, tidak diliput, tidak ditulis dan tidak ada pula laporannya. Jawaban si jurnalis, "Wah, saya nggak nulis berita, sebab saya sibuk menolong korban kerusuhan!"

Tentu saja ini jawaban konyol dan maaf, tolol, si jurnalis. Momen yang begitu penting terlewatkan, sementara koran itu hanya mengandalkan satu-satunya laporan lengkap dari si jurnalis yang kebetulan ditugaskan di Papua. Editor di Jakarta marah besar. Tidak lama kemudian, si jurnalis diberhentikan karena dianggap tidak punya lagi kepekaan terhadap berita, dengan kata lain jurnalis tidak punya lagi "nose for news".

Memang menjadi dikotomi yang saling bertentangan. Dari sisi kemanusiaan, si jurnalis tentulah "hero". Akan tetapi di sisi jurnalistik, dia benar-benar "zero". Dia tidak bertanggung jawab pada profesi "suci"-nya yang seharusnya mengabarkan berita penting kepada pembacanya.

Dalam suatu kesempatan meliput kerusuhan di Ambon, saya melihat dengan mata kepala sendiri, seseorang dibunuh secara keji dengan cara yang tidak usahlah saya deskripsikan di sini. Anda bisa bayangkan bagaimana saya bisa menolong kekerasan luar biasa yang sulit dibayangkan imajinasi liar sekalipun.

Kalau saya tampil sebagai "hero" dengan mencoba menolong si korban, sayalah yang menjadi giliran pembantaian berikutnya. Jurnalis seperti saya, dituntun oleh nalurinya, lebih memilih menjauh sampai pasukan keamanan tiba.

Demikian salah satu "seni" meliput di daerah bergolak yang sulit saya temukan dalam buku-buku jurnalistik sekalipun. Dalam pekerjaannya itulah, khususnya meliput di daerah konflik dan bencana, seorang wartawan kemungkinan akan dihadaplan kepada persoalan memilih antara dua kutub yang saling berlawanan secara diametral ini: mengedepankan humanisme atau profesionalisme, mendahulukan kemanusiaan atau pekerjaan.

Jika pilihan itu jatuh menimpa saya, saya akan memilih yang terakhir. Kendati Anda benci dengan pilihan saya, tetapi bagi saya pembaca menunggu informasi yang bakal saya tulis.

Jahat memang.

**

Catatan: tulisan saya di Kompasiana ini ditayangulang untuk pembaca PepNews!