Cermin

Kamis, 15 September 2016 | 15:00 WIB
0
181
Cermin

Cerpen: Pepih Nugraha

Asyik juga memandang diri sendiri dari halaman tetangga. Seperti memandang cermin raksasa bernama Nusantara, aku melihat diriku berada di dalamnya. Demikianlah, kadang kau perlu pergi jauh hanya untuk menangkap bayanganmu di tanah yang kautinggalkan.

Seperti memutar film sekuel, bayangan diriku fragmen demi fragmen bermunculan. Berkelebat siliberganti. Pekerjaan yang menunggu, kesibukan yang seperti tidak ada habisnya, orang-orang di dekat dan di sekelilingku, bermunculan membawa kenangan sendiri-sendiri. Sementara aku kesepian di sini, di Negeri Tumasik.

Negeri mungil ini sudah terhitung sering kudatangi, meski hanya sekilas saja. Sekarang, untuk kurang lebih 72 jam ke depan, aku berada di negeri yang gempita ini. Temasek blv tidak pernah sepi, bahkan untuk menyeberang sekalipun harus menunggu waktu.

Ketika berada di puncak Conrad Centennial, aku bisa memandang negeriku dari kejauhan, memandang diriku sendiri, juga memandangmu!

Surat ini kutulis buat orang yang mengerti benar perasaanku selama ini, orang yang tidak sekadar memandang diriku sebagai teman, sahabat, ayah, atau bahkan seorang suami. Dia adalah orang yang memandang diriku sebagaimana apa adanya. Sebagaimana aku, tanpa embel-embel apapun di belakangnya.

Dan, kautahu betapa berat kaki ini melangkah meski tak ada lambaian tangan perpisahan atau ucapan selamat jalan!

Tetapi ketika burung besi yang membawaku terbang semakin menjauh, aku masih melihat kau melambaikan tangan di apron, di jalur dimana burung besi tadi melata untuk kemudian menengadah menembus mayapada. Dari kejauhan aku memandangmu, meski hanya bayangan. Kau tak akan pernah sendirian, sayang!

"Kau akan baik-baik di sana," katamu.

"Semoga," kataku. "Kau juga baik-baik di sini, ya!"

Kau mengangguk. Lalu kita sama-sama menarik selimut tinggi-tinggi, mencari kehangatan, karena dentaman air hujan di luar menampar genting sedemikian dahsyat dan mencekam, membawa serta angin yang menyelusup melalui tirai kamar.

Selagi tubuh ini dimangsa burung besi dan berada dalam perutnya, pernah terbayang sebuah gelembung raksasa. Kau yang berada dalam gelembung itu ikut melayang, melambung semakin tinggi.

Harapan, tentu saja aku harus berada bersamamu dalam gelembung raksasa itu. Tapi menembus gelembung itu, bukanlah pekerjaan mudah bagiku. Bila kutembus gelembung itu, ia akan pecah bagai kaca kristal, dan kau akan terempas karenanya.

Aku hanya bisa memandangmu dari kejauhan, meratapi dirimu yang melayang semakin jauh. Aku takkan lama memandangmu, juga memandang diriku, dari halaman negeri tetangga. Lusa, mungkin aku sudah pulang ke Tanahair dan akan menemuimu lagi.

Harapanku, kau masih bisa kupandangi dengan penuh takjub, kuhirup harum nafasmu, dan kubelai perlahan rambutmu.

Harapanku, aku masih bisa mengusap pipimu yang bening bak pualam.

Harapanku, aku bisa tetap berusaha untuk berada dalam gelembung raksasa di mana kau ada di sana, dengan cara apapun.

Kecuali kau tak menghendakiku lagi.

***