Dibanding partai-partai baru yang lahir pascareformasi , Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) boleh dibilang tertua di antara partai-partai yang lahir karena kecewa terhadap Partai Golkar. Meski lebih senior dibanding partai lainnya besutan para mantan jenderal, perolehan suara pada Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014 sebagai "mata uang" untuk mengkonversikannya ke dalam kursi parlemen, partai ini boleh dibilang "gurem".
Lebih parah lagi, partai yang didirikan mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Edi Sudradjat ini terancam retak dengan terjadianya dualisme kepemimpinan atau kepengurusan. Jauh dari ingar-bingar politik dan pesta pora berlebihan, pada 28 Agustus 2016 pucuk pimpinan PKPI beralih dari Isran Noor kepada Abdullah Makhmud Hendropriyono.
Peralihan pucuk pimpinan di tubuh partai besutan para mantan jenderal ini sepi dari pemberitaan media massa, senyap dari pergunjingan politik level nasional. "Gurem" atau guram memang kecil dan nyaris tak terlihat sehingga media tidak terlalu tertarik meliput gerak penting di tubuh partai. Padahal dualisme kepemimpinan di tubuh partai adalah isu penting dan menarik.
Satu kubu kepengurusan lagi dipegang Mayor Jenderal (purn) Haris Sudarno. Pria berusia 74 tahun ini adalah mantan Panglima Komando Daerah Militer Brawijaya. Pada Kongres Luar Biasa (KLB) di Jakarta beberapa pekan lalu, Haris terpilih sebagai Ketua PKPI "Perjuangan". Sutiyoso dan Sri Edi Swasono berada di balik naiknya Haris. Sedang Irsan berada di belakang Hendropriyono. Alhasil, ada dua "matahari" di tubuh PKPI.
Namanya juga retak dan terancam perpecahan, Haris mengatakan Kongres Millenium", merujuk nama sebuah hotel di Jakarta tempat di mana Hendropriyono terpilih sebagai ketua partai, sebagai tidak sah dan aneh karena Irsan sebagai motor penggerak kongres sekaligus ketua umum partai sebelumnya sudah dipecat melalui sidang pleno internal partai. Sidang pleno itu sekaligus mendudukkan Haris sebagai pejabat sementara ketua umum.
Konon, keretakan di tubuh PKPI mulai nampak sejak Irsan Noor, mantan Bupati Kutai Timur, terpilih sebagai ketua umum partai pada 23 Juni 2015 lalu menggantikan Sutiyoso, mantan Kepala BIN yang juga purnawirawan letnan jenderal, yang mengundurkan diri terkait jabatan barunya sebagai Kepala BIN.
Irsan, masih menurut Haris, jarang hadir ke kantor untuk kemajuan partai. Irsan yang baru satu tahun menjabat pucuk pimpinan partai kemudian menjawabnya dengan "penyerahan" jabatan ketua umum kepada Hendropriyono melalui kongres yang diadakannya sendiri. Haris mensejajarinya dengan KLB alias kongres tandingan.
Kurang beruntung
Perjalanan PKPI di panggung politik nasional dibanding partai-partai lainnya pascareformasi wa bil khusus yang terkait Partai Golkar memang kurang menggembirakan untuk tidak mengatakan mengenaskan. Bandingkan misalnya dengan Partai Gerindra yang dibesut Prabowo Subianto dan Partai Hanura yang dikibarkan Wiranto, kedua partai yang sama-sama didirikan para mantan jenderal ini cukup "berbicara" di pentas politik nasional.
Partai bentukan mantan jenderal lainnya meski tidak terkait langsung Partai Golkar, yakni Partai Demokrat (PD) yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono , termasuk paling moncer dan dominan pada Pemilu 2004 dan 2009. Pada dua pemilu ini PD sukses mengantarkan pendirinya, yakni SBY, sebagai Presiden RI selama dua periode. Inilah pencapaian spektakuler PD selaku partai baru di pentas politik modern Indonesia.
Juga Partai Nasdem bentukan mantan Ketua DPP Partai Golkar Surya Paloh mendapat kursi parlemen yang signifikan meski baru bertarung di Pilpres 2014. Sedangkan perjalanan PKPI pada Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014 sangat menyedihkan. Pada Pemilu 2014 partai ini tereliminasi karena perolehan suaranya yang di bawah 1 persen atau persisnya 0,90 persen. Sedangkan ambang batas perolehan suara minimal 2,5 persen suara sah.
Bersama Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra, PKPI harus "merangkak" lagi dari bawah agar bisa mengikuti Pemilu berikutnya.
Sekadar mengingatkan kembali, di bawah ini daftar 10 partai yang selamat pada Pemilu 2014 lalu dan dua partai yang tereliminasi karena gagal memenuhi ambang batas 2,5 persen suara dari 125 juta suara nasional;
1. Nasdem 8.402.812 - 6,72 persen
2. PKB 11.298.957 - 9,04 persen
3. PKS 8.480.204 - 6,79 persen
4. PDI Perjuangan 23.681.471 - 18,95 persen
5. Golkar 18432312 - 14,75 persen
6. Gerindra 14.760.371 - 11,81 persen
7. Demokrat 12.728.913 - 10,19 persen
8. PAN 9.481.621 - 7,59 persen
9. PPP 8.157.488 - 6,53 persen
10. Hanura 6.579.498 - 5,26 persen
14. PBB 1.825.750 - 1,46 persen
15. PKPI 1.143.094 - 0,91 persen
Saat pertama didirikan, PKPI masih bernama Partai Keadilan dan Persatuan (PKP). Partai yang dideklarasikan di Jakarta tanggal 15 januari 1999 ini lahir karena kekecawaan Jenderal Edi Sudrajat yang kalah berperang di pentas Munas saat memperebutkan kursi Ketua Umum Partai Golkar. Rival yang memenangi kursi itu adalah politisi sipil yang dikenal "licin" (baca cerdik) dan sarat pengalaman, yakni Akbar Tandjung.
PKPI bermula dari pembentukan organisasi kemasyarakatan bernama Gerakan Keadilan dan Persatuan Bangsa (GKPB) pada tahun 1998 setelah Rezim Soeharto tumbang. Ormas ini dikoordinasikan oleh mantan pejabat Orde Baru yaitu Siswono Yudhohusodo, Sarwono Kusumaatmadja, David Napitupulu, dan Tatto S. Pradjamanggala. Bersama Akbar Tandjung, mereka sebenarnya dikenal sebagai pentolan Angkatan 1966.
Sebagai partai debutan, pada Pemilu 1999 PKP hanya meraih 1,01 persen suara sehingga tidak cukup untuk memenuhi syarat maju Pemilu berikutnya. Ketentuannya, PKP harus mengubah namanya dan dipilihlah nama Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia alias PKPI. Pimpinan partai tetap di tangan Edi Sudradjat.
Pada Pemilu 2004 partai ini meraih 1,3 suara alias cuma "kursi semata wayang" (1 kursi) dari 550 kursi yang diperebutkan. Pada Pemilu 2009 perolehan suara partai ini lebih merosot lagi, yakni 0,9 persen suara, yang berarti kurang dari ambang batas pemilihan 2,5 persen. Habislah seluruh kursi PKPI di DPR.
Langkah ke depan
Sesuai namanya yang menyandang kata "Persatuan", ujian pertama PKPI adalah menambal keretakan yang terjadi di antara dua kubu, yakni kubu Hendropriyono dan Haris. Alangkah ironisnya, partai yang sudah "gurem" alias kecil tetapi masih harus terbelah pula. Bisa-bisa lebih kecil dari sekadar "gurem" dan jangan sampai media menyebutnya sebagai partai "kuman" karena saking kecilnya.
PKPI harus segera menemukan keunikan dan kelebihannya yang bisa dijual kepada publik. "Keadilan" dan "Persatuan" adalah tagline yang mestinya diimplementasikan atau setidak-tidaknya tercermin dalam kegiatan yang menju ke arah dua kata itu. Bagaimana menjual ciri khas atau brand partai yang lekat dengan keadilan dan persatuan, adalah tugas berat yang harus dipikulnya. Misalnya cuci otak publik dengan implementasi bahwa "keadilan hanya terjadi saat seluruh rakyat Indonesia bersatu" atau "Persatuan adalah kunci menuju keadilan".
Itu kemasan yang harus dijual. Selebihnya adalah implementasi para kadernya di lapangan dengan program-program yang menyasar kebutuhan rakyat akan keadilan dan perlunya persatuan untuk memperkokoh keindonesiaan.
PKPI perlu tenaga pemasaran yang mumpuni di saat beriklan di media massa khususnya televisi sangat mahal dilakukan, yang hanya bisa dilakukan dengan leluasa oleh taipan media seperti Hary Tanoesoedibjoe dengan iklan-iklan sosok Hary dan "lagu kebangsaan" Perindo yang menggema di ruang publik, mengalahkan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang hanya diputar di saat pembukaan acara televisi.
Tetapi yang terpenting, duet Hendropriyono dan Haris harus memberi contoh sekaligus membuktikan terlebih dahulu kepada publik bahwa mereka berdua bisa bersatu, sebelum mengumbar janji dan beriklan bahwa PKPI adalah Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews