Setelah Erdogan, Duterte Jadi Idola Baru karena Jagoan

Kamis, 8 September 2016 | 13:05 WIB
0
483
Setelah Erdogan, Duterte Jadi Idola Baru karena Jagoan

Tidak ada aturan yang melarang warga negara Indonesia untuk mengidolakan pemimpin negara manapun, termasuk mengidolakan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Presiden Amerika Serikat Barack Obama, atau Presiden Joko Widodo alias Jokowi sendiri di sini. Akan tetapi yang menarik adalah mengikuti pola pengidolaan terhadap persona tertentu, termasuk pemimpin suatu negara, oleh sebagian orang Indonesia akhir-akhir ini.

Media sosial adalah bukti bagaimana tokoh-tokoh yang disebutkan di atas menghiasi laman-laman pemilik akun tertentu di Indonesia dalam bentuk meme. Mengidolakan sosok atau pemimpin jauh lebih baik dibanding menghujat atau menghina sosok tertentu, sehingga pengidolaan harus dimaknakan sebagai hal positif.

Tahun 1977-1978 saat duduk di kelas enam sekolah dasar, saya demikian terpikat oleh sosok pemimpin spiritual Iran Ayatollah Khomeini, yang saat itu masih berada di tempat pembuangannya di Paris, Perancis. Foto Khomeini dengan jenggot panjang dan sorban melilit kepalanya yang termuat di koran Suara Karya dan Pikiran Rakyat demikian memikat hati saya, sampai-sampai saya menggambarnya dan sempat dipajang di majalah dinding. Bangganya bukan main.

Saya tidak paham dan tidak tahu persis siapa sosok keren yang saya gambar itu. Yang saya tahu kemudian, dia musuh besar Raja Iran Shah Reza Pahlevi yang saat itu berkuasa di Iran dan menjadi simbol pemimpin koruptor lalim. Yang saya tahu pula, gambar itu lekas-lekas diturunkan dari majalah dinding dan saya tidak mendapat penjelasan memuaskan dari guru saya saat itu mengapa gambar itu terlarang dipajang. "Tidak boleh, dia itu tokoh Syiah!"

Alhasil, saya terlalu prematur mengetahui bahwa Islam pun terbagi-bagi, setidak-tidaknya dua golongan besar yang saya tahu kemudian, yakni Sunni dan Syiah. Tetapi citra keduanya tidak sama-sama baik. Oleh guru saya Sunni dianggap baik, sedangkan Syiah tidak. Padahal, saat itu Khomeini akan datang ke Iran untuk menumbangkan rezim Shah Iran sebagai sosok pemimpin korup dan lalim.

Tidak pantaskah Khomeini diidolakan? Bukankah dia adalah "hero" yang akan menumpas kejahatan? Tetapi mengapa saya tidak boleh mengidolakannya? Padahal, saat saya berlibur caturwulan di pemukiman padat penduduk di Tambora, Jakarta, beberapa tetangga sekitar rumah kakek-nenek di sana memasang foto Ayatollah Khomeini. Jelas-jelas mereka sangat mengidolakannya.

Beranjak akil balig saat duduk di SMA, hampir semua teman laki-laki mengidolakan sosok Mick Jagger, pentolan grup band The Rolling Stones. Lidah merah yang melet tidak proporsional menjadi simbol kekinian di kalangan anak-anak remaja seusia saya dulu. Belum sah kalau di celana abu-abu mereka belum terlukis lidah melet panjang itu dan belum diakui sebagai anak gaul kalau belum bisa bernyanyi.... "It's the honky tonk women... Gimme, gimme, gimme the honky tonk blues".

Beranjak kuliah di tahun 1980-an, tiba-tiba sebagian teman kuliah mengenakan T-shirt bergambar Ernesto Guevara Lynch de La Serna alias Che Guevara, seorang pejuang revolusi Marxis Argentina dan seorang pemimpin gerilya Kuba. Wajahnya yang macho dengan rambut gondrong yang tertutup baret sedemikian gagahnya menghiasi busana kaus oblong mahasiswa. Stiker berupa wajah Che Guevara menempel di sepeda motor dan kaca belakang mobil. Ah, betapa kerennya. Tahun 2000-an Ahmad Dinedjad mulai diidolakan, mungkin oleh mereka yang simpati terhadap Syiah.

Namun darti semua sosok yang diidolakan dalam rentang waktu tertentu itu, tidak ada satupun di antara mereka yang mengidolakan pemimpinnya sendiri, Presiden Soeharto. Wajah "Smiling General" itu hanya ada di koran-koran halaman satu setiap harinya, juga di televisi. Barangkali, ini hanya barangkali, pemerintah "menyucikan"  gambar Soeharto sehingga terlarang dipasang di sembarang tempat.

Setelah vakum selama empat dasawarsa terhitung dari maraknya Che Guevara, tiba-tiba sosok Recep Tayyip Erdogan muncul di Indonesia, wa bil khusus usai perhelatan Pilpres 2014 dengan Jokowi sebagai pemenangnya, mengalahkan sosok yang sekarang juga muncul sebagai idola, yakni Prabowo Subianto.

Secara geografis, Indonesia sangat jauh dari Turki. Secara politis, Erdogan adalah seorang demokrat-sekularis, yang kurang dilekatkan sebagai Islamis. Soal gagah dan berani, Vladimir Putin ada di atas Erdogan. Tetapi itu tadi, Erdogan tiba-tiba mampu membuat sebagian warga negara Indonesia klepek-klepek dan termehek-mehek. Erdogan tentulah tidak memiliki ilmu pengasih apalagi ilmu pelet. Puncaknya, mereka memimpikan Erdogan bisa menggantikan Jokowi di sini.

Tidak ada yang salah dari orang-orang Indonesia yang mengidolakan Erdogan, itu bagian dari hak asasi yang harus dihormati. Hanya karena diketahui Erdogan menjalin persahabatan dengan Israel yang Yahudi dan juga bersahabat dengan Putin yang komunis, berangsur-angsur pamor Erdogan agak meredup. Setidak-tidaknya di media sosial sosok Erdogan tidak lagi digambarkan sebagai "heroic", Islami dan pemberani, tetapi beralih menjadi sosok lembut yang pengasih, penyayang, dan pemaaf.

Duterte, Berani atau Nekat?

Kini datang idola baru. Rodrigo "Rody" Roa Duterte namanya. Biasa disingkat Duterte saja. Pria yang menjadi Presiden Filipina sejak Juni 2016 dan ini tiba-tiba menyita perhatian sebagian warga negara Indonesia atas keberaniannya melawan penjahat narkoba di negerinya. Sudah terdengar selentingan bagaimana kalau Duterte menggantikan Jokowi saja untuk menghabisi bandit narkoba di negeri ini. Pria berjuluk Digong yang seorang politikus sekaligus pengacara Filipina keturunan Visayan ini dianggap "hero" baru tinimbang Jokowi yang dianggap "lemah".

Dianggap "heroic" karena keberanian dan kenekatan Duterte membunuh tersangka pengedar narkoba tanpa melalui proses hukum. Tembak di tempat saja. Alhasil, ribuan nyawa melayang. Apa yang dilakukan Duterte sama dengan kasus "penembak misterius" alias petrus zaman Soeharto. Bedanya, Duterte lebih berani dan terang-terangan, sedang "Petrus" masih menyimpan misteri sampai sekarang, meski korbannnya sama saja, yakni ribuan nyawa melayang tanpa proses pengadilan.

Pengidolaan terhadap Presiden Filipina oleh sebagian penduduk Indonesia di sini semakin menjadi-jadi ketika dengan beraninya Duterte mengatakan Presiden AS Barack Obama sebagai "son of whore" alias "anak pelacur" hanya karena Obama mengingatkan Duterte untuk tidak melanggar hak asasi manusia. Keberanian Duterte menghina Obama tentu saja dinilai sebagian orang Indonesia sebagia sikap "heroic", pemberani dan keren dibanding Jokowi sendiri.

[caption id="attachment_586" align="alignright" width="432"]

Presiden Joko Widodo[/caption]

Menarik untuk dicermati, selepas berlangsungnya Pilpres 2004 yang merupakan pemilu langsung dan menempatkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI setelah mengalahkan petahana Megawati Soekarnputri, pengidolaan terhadap sosok tertentu tidak terdengar.

Pun ketika untuk yang kedua kalinya SBY berhasil mengalahkan pasangan Megawati-Prabowo di Pilpres 2009, suasana masih senyap. Pengidolaan terhadap sosok tertentu seperti Erdogan, Putin, Jong-un, dan Duterte baru muncul setelah Jokowi terpilih sebagai Presiden RI di tahun 2014 setelah mengalahkan Prabowo-Hatta Radjasa yang lebih populer.

Apa hikmah bagi Presiden Jokowi atas fenomena pengidolaan sebagian rakyatnya terhadap tokoh-tokoh asing di luar dirinya? Introspeksi, tentu saja. Sebab, jangan-jangan Jokowi memang harus bertindak lebih keras, tegas, dan lebih telenges dari sekadar apa yang dilakukannya selama ini.

Membenci musuh-musuh sangat tidak relevan. Sebaliknya, Jokowi harus selalu mencintai musuh atau haters-nya, sebab hanya musuh dan haters-lah yang menunjukkan kesalahan dan kelemahannya selama ini. Dapat dimengerti mengapa nama-nama fenomenal di media sosial seperti Jonru, Deyang, dan sosok pengeritik lainnya bebas berkiprah karena mungkin "kteativitas" mereka masih dibutuhkan.

Namun demikian yang belum terjawab, mengapa sedemikian banyak orang membeci Jokowi dan sebagian dari mereka mentransformasikan kebencian dengan menunjukkan kecintaan kepada Putin, Jong-un, Erdogan, dan kini Duterte. Padahal di masa lalu, kekecewaan pendukung Megawati-Muzadi dan Megawati-Prabowo yang kalah dalam Pilpres tidak ditunjukkan dengan membenci SBY, apalagi kemudian sampai mengalihkan kebencian itu dengan mencintai serta memuja-muji orang asing.

***