Masih Pantaskah Megawati Sebut Jokowi sebagai "Petugas Partai"?

Kamis, 8 September 2016 | 22:31 WIB
0
231
Masih Pantaskah Megawati Sebut Jokowi sebagai "Petugas Partai"?

Tak ada penyesalan yang datang di awal, ia selalu datang belakangan. Siapapun harus belajar dari masa lalu karena "yang telah berlalu" adalah sekolah kehidupan senyatanya yang membuat seseorang seharusnya semakin bijaksana. Merenungkan, memikirkan, dan menyerap saripati masa lalu merupakan investasi paling berharga untuk masa kini dan mendatang, termasuk bagi seorang Megawati Soekarnoputri.

Tetapi bukan penyesalan akibat telah melakukan kekeliruan pada masa lalu yang dikemukakan Ketua Umum DPP PDIP dan Presiden ke-5 RI itu. Misalnya penyesalannya karena pernah menyebut Presiden Jokowi sebagai "Petugas Partai", melainkan penyesalan karena banyaknya anak-anak muda saat ini yang menggunakan media sosial untuk menjelek-jelekkan orang lain, termasuk menjelek-jelekkan Presiden Joko Widodo sendiri.

Pernyataan Megawati yang fenomenal di mana ia menyebut Jokowi sebagai "Petugas Partai" memang sudah lama berlalu dan seharusnya menjadi pelajaran, tepatnya dilontarkan pada hari Rabu 14 Mei 2014 atau menjelang Pilpres 2014. Persisnya pernyataan Megawati yang di lontarkan di Kantor DPP PDI Lenteng Agung, Jakarta Selatan itu sebagai berikut; "Pak Jokowi, sampeyan 'tak jadikan capres, tapi Anda adalah petugas partai yang harus menjalankan tugas partai."

Spontan, pernyataan bernada kurang elok yang dikemukakan seorang ketua umum partai dan mantan Presiden itu langsung menuai badai bully (perundungan)  gegap gempita dari pengguna Internet, khususnya media sosial. Mereka menyebutnya sebagai ucapan "tak pantas" dan "tak seharusnya" dilontarkan Megawati, meskipun dilontarkan sebelum Pilpres alias Jokowi belum terpilih.

Meskipun kena bully, toh label Megawati terhadap Jokowi sebagai "Petugas Partai" terus saja melekat, seakan-akan predikat itu memang pantas diberikan kepada kader partai di manapun, khususnya yang duduk di pemerintahan, tidak terkecuali Presiden RI.

Saat memberikan sambutan dalam pembukaan Sekolah Politik bagi calon kepala daerah di Resort Kinasih, Depok, Jawa Barat, Selasa 6 September 2016 lalu terungkap, Megawati justru yang melancarkan protes kepada Jokowi karena menganggapnya membiarkan dirinya di-bully publik akibat dua kata yang dilontarkan itu.

Megawati juga menyebutkan, Jokowi yang mengerti duduk persoalan itu malah tidak membelanya. "Saya bilang ke Pak Jokowi, Dik, ngono kok enggak belain saya sih? Lah situ yang ngerekomendasi siapa toh?" kata Megawati sebagaimana terbaca di Kompascom.

Megawati rupanya punya pandangan dan definisi sendiri mengenai terma "Petugas Partai", di mana baginya seluruh kader PDIP yang telah menempati posisi strategis, baik di struktur partai atau di pemerintah, memang disebut sebagai petugas partai. "Saya ini juga petugas partai. Kongres partai yang menyuruh kita ini bertugas di mana. Kalian ini pun petugas partai. Awas loh kalau nanti enggak ngaku," ujar Megawati seperti menakut-nakuti kadernya sendiri.

Kalau sekarang Megawati mengeluhkan publik khususnya pengguna media sosial mem-bully Presiden Jokowi, jangan-jangan mereka meniru perundungan awal yang dilakukan Megawati terhadap Jokowi dengan menyebutnya "Petugas Partai". Memang pada saat perang Pilpres berkecamuk antarpendukung, kata-kata bernada merendahkan ini dijadikan amunisi oleh pendukung Prabowo-Hatta untuk menyerang balik Jokowi.

"Sekarang saya lihat anak muda sopan santunnya enggak ada. Di medsos Presiden sendiri dijelek-jelekin. Saya mikir kita ini negara apa toh," kata Megawati usai melantik pengurus Baitul Muslimin Indonesia di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Kamis 8 September 2016.

Megawati menilai, perilaku menjelek-jelekkan orang lain, dalam hal ini Presiden Jokowi, di medsos itu tak sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Megawati pun mengakui pernah di-bully di media sosial. "Orang enggak kenal saya saja ikut mem-bully, saya dielek-elek (dijelek-jelekkan)," ungkapnya.

Internet memang "terra incognita", lahan tak dikenal di mana semua orang bisa melakukan apa saja. Merundung dan merisak orang lain di media sosial semudah memijit tombol "publish" lalu tayang sedetik kemudian. Tetapi bagi orang yang mau belajar dari masa lalu, belajar dari 'sekolah kehidupan', ucapan dan tindakan memang harus dijaga. Kecuali ia tidak mau belajar dari sekolah kehidupan itu tadi.

***