Stasiun Penantian (Anita 1)

Rabu, 7 September 2016 | 08:38 WIB
0
385
Stasiun Penantian (Anita 1)

Cerber: Pepih Nugraha

Jelang tengah malam. Stasiun kereta api di sebuah kota kecil itu masih menyisakan tanda-tanda kehidupan dengan cahaya lampu neon yang menerabas ke luar jendela kaca. Kereta api terakhir belum dapat dipastikan kapan akan tiba. Seorang pemuda berdiri menunggu di sana. 

Kedinginan menampar wajahnya. Matanya menatap Barat ke arah datangnya kereta api kelak, tak peduli lapar yang menekan perutnya. Ia berharap datangnya seorang perempuan turun dari kereta api itu. Ia siap menyambut apa adanya.

"Karena ini menyangkut hidupku, kuminta ia menjemputku malam ini di stasiun kecamatan. Malam ini..." 

Terbaca kembali pesan yang tertulis di henpon itu.

Dan, kereta malam itu belum juga tiba. Kelelahan yang luar biasa karena telah menunggu sejak tadi petang telah memerangkap ingatan pemuda itu ke masa silam, ke masa lima atau enam tahun yang lalu....

Anita seorang bunga desa. Wajahnya cantik alami. Usianya baru akan menginjak tujuh belas. Tanpa harus dipoles, kecantikan sudah memancar dari raut wajahnya yang sederhana. Tak terhitung kumbang kampung yang berkunjung, sengaja datang bertandang. Tentu untuk mencari simpati bahkan kalau bisa mendapat saripati. Namun sejauh ini Anita bergeming. Pilihannya jatuh pada seorang pemuda desa. Raka namanya.

Raka anak tunggal seorang penyadap aren di kampung di mana Anita tinggal. Badan tegapnya bukan karena hasil olah raga, tetapi hidup dan kehidupannya memang keras. Ia piatu sejak kanak-kanak. Sampai tumbuh menjadi pemuda, bapaknya belum menikah lagi. Sering ia membantu bapaknya menyadap aren. Bahkan kerap ia melakukannya sendiri tatkala si bapak sakit. Itu sebabnya ototnya kuat dan liat seperti kawat. Baik Raka maupun Anita sama-sama duduk di bangku sekolah menangah atas di kampung mereka.

Meski Raka tergolong hidup sederhana, bahkan boleh dibilang berkekurangan, ia punya otak yang encer. Ia pelajar teladan di sekolahnya, khususnya untuk mata pelajaran pasti alam. Ia menjadi oase sebagai tempat bertanya matematika atau ilmu kimia, padahal tidak punya buku pelajaran yang memadai. Sayang, Raka harus keluar dari sekolahnya dengan alasan biaya. Ini terjadi beberapa bulan lalu.

Kini kegiatan sehari-harinya menangkap belut di sawah, mencari udang sungai, memancing ikan liar di danau, menangkap burung belibis, atau menyadap pohon aren di kaki gunung.

Diam-diam Anita jatuh cinta dan tanpa ragu menyatakan rasanya itu pada suatu petang, selepas Raka menyadap aren.

"Aku tidak bisa menerimamu, Anita. Aku ini putus sekolah, tidak punya masa depan, orangtuamu pasti marah kalau mereka tahu," Raka halus menolak. Tetapi Anita meyakinkan bahwa orangtuanya tidak sekaya yang ia duga. "Jadi tidak ada alasan kamu menolak cintaku, Raka, kecuali kamu mau menyakiti hatiku."

"Bukan begitu. Kamu pasti kecewa denganku, Anita, kamu tahu keadaanku yang seperti ini, bukan?"

"Ya aku tahu. Itu bukan masalah buatku. Aku mencintaimu, Raka!"

Petang itu sepasang remaja beranjak dewasa beriringan pulang menuju rumah masing-masing. Hati Anita berbunga-bunga. Tidak demikian Raka. Hatinya galau. Tidak pernah ia punya perasaan seperti ini sebelumnya. Bagi Raka, ini cinta pertamanya. Bagi Anita, ini cinta yang kesekian kalinya.

Ia lebih berpengalaman dalam menguasai keadaan. Lebih mahir dalam berdamai dengan hatinya. Raka belum mampu berdamai dengan hatinya. Dan saat mengantar Anita ke rumahnya, Raka tidak mau menampakkan dirinya di depan orangtua Anita. Bersembunyi dan bahkan pergi berlari.

Suatu hari Anita mencari Raka. Ada rindu yang membebani dadanya. Rindu yang sudah lama dipendamnya. Beberapa hari ini dia belum bertemu Raka. Tidak berhasil menemuinya di gubuknya, Anita menyusul ke kebun aren, tempat di mana Raka biasa menyadap nira di kaki gunung. Tetapi yang dicari tidak ada. Biasanya Raka masih berada di atas pohon aren dengan kaki-kaki kekarnya menginjak tangga buatan. Sekarang Raka tidak ada, seperti raib ditelan raksasa.

"Raka.... Rakaaaa... Di mana kamu!"

Tidak ada jawaban. Anita sudah hampir putus asa. Senja sebentar lagi akan turun. Warnanya yang jingga terlukis di langit barat. Tatkala Anita sudah benar-benar putus asa dan siap-siap membalikkan badan untuk pulang, diam-diam Raka mendekapnya dari belakang. Anita kaget bukan kepalang. Ia terlonjak, hatinya ikut melompat. Dadanya dipenuhi bebungaan aneka warna. Senang bukan kepalang.

"Rakaaaa...!!! Kamu bikin aku kaget, tahu!?" Nadanya marah, mencubit mesra pinggang Raka, tetapi pelukannya kepada pemuda itu semakin erat. Anita dapat mencium aroma keringat kekasihnya. Sungguh sangat menggodanya.

"Nah, mari kita pulang, Anita, senja sudah akan berakhir," kata Raka menuntun Anita pulang.

"Aku tak mau buru-buru pulang, Raka!" Anita malah berdiri mematung.

"Tidak mungkin, rumah kita masih jauh. Kamu akan kegelapan saat tiba di rumah nanti."

"Aku tak peduli," balas Anita seraya menarik lengan Raka ke bawah. Ke tanah kering.

Raka terjatuh dan terguling di rerumputan. Anita menyergapnya dan dalam hitungan detik sudah berada di samping Raka. Mendekapnya erat. Menyemburkan nafasnya yang segar ke wajah Raka. Bau keringat Raka, wangi aroma mulut Anita, bercampur di tempat itu. Codot melintas di kepala mereka, sementara suara jangkrik membentuk paduan suara dengan binatang malam lainnya. Bulan muda semakin menampakkan wajahnya tatkala mentari sudah tergelincir.

"Kita harus pulang, Anita!"

"Aku tidak mau," bisik Anita di telinga Raka. Perlahan. Sangat pelan.

Mendadak degup jantung Raka berdebur seperti ombak Laut Selatan, apalagi saat Anita mulai membuka sendiri kancing bajunya.

Oh, betapa cantiknya dirimu tatkala sinar rembulan mulai melumuri wajahmu, Anita, pikir Raka, rasanya tak pantas aku memilikimu. Kini Raka bisa menatap wajah Anita dari dekat, bahkan tanpa jarak. "Kuberikan untukmu, Raka," bisik Anita.

Raka tergagap, sementara dengan sekali sentakan Anita telah berhasil menguasai Raka sepenuhnya.

"Jangan, Anita, kita belum boleh melakukannya!"

Hening. Bening.

(Bersambung)

***