Akar

Senin, 5 September 2016 | 01:20 WIB
0
545
Akar

Kalau saya bercerita tentang akar, pastilah saya sedang teringat salah satu lagu ciptaan Iwan “Abah” Abdulrachman, penyanyi balada yang saya juluki sebagai “trubador” dari Bandung Utara. Kalau saya tidak salah ingat, Abah Iwan pernah menciptakan lagu berjudul Akar. Tidak ada makna lain dari akar selain penopang tumbuhan yang tersembunyi di dalam tanah.

Saya tidak tahu persis liriknya, tetapi masih ingat makna atau isi lagu itu. Lewat dentingan gitar akustiknya, Iwan dengan grup Kalikausar yang pada tahun 1977 pernah menggetarkan pecinta lagu-lagu balada dengan Sejuta Kabut-nya, bercerita tentang sebuah akar. Ya, akar pohon.

Akar, katanya, adalah satu elemen dari tumbuhan yang bekerja dalam sunyi, bekerja dalam kesendirian, bekerja tanpa terlihat oleh siapa pun karena ia berada di dalam bumi. Karena bekerja tanpa dilihat dan terlihat siapapun, ia terhindar dari keriaan, sok berjasa, dan sok penting. Ia menyerap air  untuk memberi makan batang pohon, ranting, menyegarkan dan menghijaukan daun, mengembangkan aneka bunga, juga menghasilkan buah ranum yang bermanfaat buat kehidupan.

Namun demikian, akar tidak pernah muncul ke permukaan, mengabarkan kepada khalayak: “Ini lho aku akar, yang berjasa memperkokoh batang pohon, memperindah daun dan bunga, juga memberi pohon itu buah yang ranum!” Ia bekerja dalam kesendirian tanpa mau menonjolkan seabrek jasa yang telahdi perbuatnya.

Kalau saya letakkan sifat akar pada kehidupan sekarang, boleh jadi di antara kita tidak ada yang mau bekerja seperti akar. Bekerja tanpa dilihat orang berarti tidak mengundang perhatian, tidak mengundang simpati, tidak mengundang perhatian bos atau atasan, dan dalam tataran bekerja akan tidak mengundang penilaian. Tidak ada nilai berarti tidak ada bonus dan penghargaan. Ukurannya adalah materi.

Anda harus selalu menunjukkan kepada atasan Anda: ini lho hasil kerja saya, ini lho kerja saya lebih bagus dari yang lainnya. Bahkan tidak jarang, kita harus menunjukkan “kerja” sebelum kita bekerja yang sesungguhnya agar bisa disebut punya rencana-rencana dahsyat ke depan.

Anda yang mau jadi anggota Dewan, tentulah sifat akar tidak cocok buat Anda. Belum kerja nyata pun, Anda umumkan di spanduk, poster dan baliho bahwa saya akan, akan dan akan kerja, akan berjuang untuk rakyat (rakyat yang mana, Bro?). Mungkin Anda lebih cocok disapa “Tuan/Puan Akan” atau“Mrs/Mrs Will Be”. Untuk zaman sekarang, memang sifat politisi di manapun akan seperti itu. Bicara dulu, kerja buat konstituen belakangan, bahkan bila perlu lupakan saja itu konstituen. Duh…

Para pejabat, mulai pejabat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi sampai pejabat pusat kekuasaan (Indonesia), akan selalu menunjukkan hasil kerja nyata. Ini lho prestasiku! Ini lho pengangguran sudah berhasil diturunkan, volume perdagangan sudah berhasil dinaikkan, sudah berhasil swasembada beras, BBM pun sudah berhasil diturunkan, dan seterusnya… Ya, akan seperti itu. Jauh dari sifat akar, bukan?

Tetapi percayalah, masih ada di antara kita yang bernaung di bawah Ibu Pertiwi bekerja seperti akar, bekerja dalam diam dan bahkan dalam kesendirian. Mereka antara lain para pemulung, para pengayam tikar, para pujangga, para penyadap aren, para penyemai benih, para nelayan di tengah lautan, para petani garam, atau para peneliti di laboratorium.

Selain untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya, tentunya mereka bekerja untuk kepentingan orang lain agar bisa dipetik manfaatnya. Mereka adalah warga yang tangguh, warga yang punya sifat seperti akar, yakni bekerja dalam kesendirian dan jauh dari keriaan.

Anda boleh saja menyepelekan para pemulung di mana pun, tetapi mereka telah berjasa kepada lingkungan kita. Ia tidak harus bicara: saya berjasa kepada kalian karena membantu menjaga lingkungan hidup. Anda boleh saja menyepelakan kerja petani garam di Jeneponto, Sulawesi Selatan atau di Madura sana, tapi tanpa mereka yang kerja dalam keheningan dan kesendirian, percayalah masakan yang tersaji bakal tanpa cita rasa. Jika menyepelekan kerja penyadap aren yang bekerja di hutan dalam keheningan dan kesendirian, niscaya kue yang Anda santap dan hidangkan tidak akan bercita rasa legit.

Masihkah di antara kita tersisa orang-orang yang bekerja sepeti akar, yang tidak terlihat dan barangkali tidak perlu dilihat saat mereka bekerja?

Jika ada, mereka itu sungguh orang-orang yang tangguh.

***

Catatan: Tulisan ini diambil dari buku yang saya tulis, Ibu Pertiwi Memanggilmu Pulang (Bentang Pustaka 2013)