Arwah

Minggu, 4 September 2016 | 14:30 WIB
0
270
Arwah

Cerpen: Pepih Nugraha

Gofar meradang. Pikirannya sungguh terusik, hatinya berontak. Hampir semua penduduk sekampungnya akhir-akhir ini cuma bicara satu hal; arwah Kaonah yang gentayangan ke setiap sudut kampung, arwah perempuan yang selalu menampakkan dirinya jelang tengah malam. Bagaimana tidak meradang, Kaonah adalah emaknya sendiri yang meninggal lima hari lalu.

Penyakit aneh merenggut nyawa ibunya itu. Tak ada satu pun dukun yang sanggup mengobati sakitnya. Pernah dibawa berobat ke dokter di kota kabupaten. Kata dokter, Kaonah harus dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin di Bandung karena mengidap penyakit kanker. Gofur tak tahu apa jenis penyakit itu. Kata orang, kanker adalah penyakit kutukan.

Ia tak terima cerita lama itu, tetapi menyerah pada keadaan, yaitu tidak bisa membawa emaknya berobat ke Bandung. Bapaknya yang cuma buruh tani dan dirinya yang kerja serabutan, tidak mungkin membawa ibunya ke Hasan Sadikin. Alhasil, Kaonah dibawa kembali pulang ke rumah, ajal dibiarkan begitu saja menjemputnya.

Lima hari lalu Kaonah dipanggil Tuhan. Mayatnya segera ditanam. Tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit dengan dua bola mata yang hampir tersembunyi di balik kelopak. Rambutnya terurai, masih hitam legam. Anak-anak takut melihat mayatnya, bahkan orang dewasa.

Pada malam harinya, beberapa jam setelah Kaonah dikuburkan, terjadi keributan yang mengguncang seisi kampung. Konon, Jaja dan Maksum, dua peronda yang bertugas malam di pos jaga malam Jumat itu, didatangi sesosok perempuan berambut panjang, berbusana putih, dan sorot mata yang tajam. Mereka berdua mengenali sosok itu sebagai Kaonah yang datang dari dunia lain.

Seisi kampung terbangun pada tengah malam itu demi mendengar jeritan Jaja dan Maksum. Kentongan bambu ramai dibunyikan. Ada yang coba ke luar rumah mencari tahu apa yang terjadi, tapi kebanyakan memilih menarik selimut kembali tinggi-tinggi.

“Sumpah, aku tadi melihatnya di depan pos ronda ini,” dengus Jaja dengan nafas yang memburu tatkala beberapa orang sudah berkerumun di tengah malam yang mencekam itu. Gofar satu di antara kerumunan itu.

“Yang kamu lihat siapa?” tanya tetua kampung.

“Hantu perempuan. Kurasa... dia Kaonah.”

Gofar menyeruak maju dari kerumunan. “Jaga mulutmu, Ja! Arwah emakku tak mungkin gentayangan. Arwah adalah rahasia Allah, kamu jangan ngarang-ngarang!”

“Seumur-umur aku belum pernah lihat arwah gentayangan seperti itu, baru malam ini aku melihatnya,” timpal Maksum. “Kebetulan aku dan Jaja sama-sama melihatnya.”

“Tapi yang kalian lihat itu bukan emakku, bukan arwah gentayangan,” Gofar balik badan. Sebelum berlalu ia berpesan, “Biarlah aku sendiri yang meneruskan ronda malam ini!” Gofar kemudian menghilang ditelan kegelapan. Satu persatu anggota kerumunan berpencar, lalu menghilang di balik rumah masing-masing. Jaja dan Maksum diberi kompensasi untuk tidak meneruskan ronda malamnya, toh Gofar telah bersedia meneruskan tugas mereka.

Setelah kerumunan memudar dan lenyap, tinggallah kesunyian malam yang menekan, sepenggal sisa malam yang dikuasai suara jangkrik, burung hantu dan terkadang lolongan anjing sayup-sayup di kejauhan.

Gofar tercenung sendiri di pos jaga. Bulan telah lama bersembunyi di balik bukit, sedangkan gemintang yang bertebaran di langit tak mampu menerangi dan menembus kegelapan kampung Luhurjati, kampung di kaki bukit di mana Gofar tinggal. Sekeliling pos jaga hitam kelam, bahkan ujung telunjuk pun tak nampak, meski lentera yang dibawanya masih menyala.

Jelang dinihari kecil, lentera kehabisan minyak tanah. Padam. Kini cuma kegelapan sempurna yang melingkupi Gofar. Beruntung, kantuk menyerangnya di saat kegelapan mendaulat suasana. Gofar tertidur sambil duduk, menyandarkan tubuh di dinding bambu pos ronda. Rasanya belum pulas benar tatkala seseorang memanggil namanya. Semula suara itu seperti datang dari kejauhan. Tetapi lama-lama, suara itu semakin mendekat dan terus mendekat.

“Gofarrr...”

Pemuda yang baru akan menginjak usia 20 tahun itu mengusap-usap wajah di tengah kegelapan, meyakinkan diri apa yang sebenarnya terjadi. Pandangannya tertumbuk pada kegelapan. Ia tidak bisa melihat apa-apa, kecuali bintang-gemintang di cakrawala. Ia lebih mempertajam pendengarannya. Tidak bisa dipungkiri, nyalinya ciut juga tatkala menghadapi kegelapan sempurna seperti ini. Keringat dingin di tengah malam yang dingin mulai keluar deras, jantungnya berdebur keras.

“Gofarrr...” suara itu terdengar kembali.

Jelas, itu suara Kaonah, suara emaknya memanggil namanya. Tetapi, si empunya suara belum menampakkan diri. Terjadi pergulatan hebat di alam pikirannya antara percaya dan tidak akan adanya arwah gentayangan, terlebih lagi keyakinan bahwa itu arwah emaknya sendiri. Perang paling hebat berkecamuk dalam batinnya. Tidak, tidak mungkin! Tidak mungkin arwah emak gentayangan, pikirnya menenangkan diri.

“Kalau kau emakku, tampakkanlah wajahmu, Mak, aku kangen,” bisiknya di tengah kegelapan. Tidak ada jawaban. Hening paripurna. Jangankan menampakkan diri, suara memanggil-manggil namanya pun kini menghilang ditelan deru angin dinihari.

“Dasar Jaja dan Maksum pengecut, tukang kibul, tukang ngarang-ngarang, biang gosip,” umpat Gofar, “Mereka sangka emakku jadi arwah gentayangan, mana buktinya? Dasar keparat!” Gofar berlalu menuju rumah saat adzan awal mulai mengumandang. Ia bermaksud tidur di gubuknya, menemani bapaknya yang ia tinggal sendirian. Kantuk menyerangnya dari segala penjuru...

Keesokan harinya beberapa penduduk kampung menemukan Gofar tengah tertidur pulas di atas pusara emaknya.

***