Algojo

Sabtu, 3 September 2016 | 09:36 WIB
0
220
Algojo

Cerpen: Pepih Nugraha

ke tanah perjuangan ini aku datang 

dari tanah pergolakan ini aku berpulang

Sebagai algojo, aku baru saja menyelesaikan tugasku mengeksekusi seorang tawanan dengan cara membakarnya hidup-hidup. Sesungguhnya tugas yang harus kulakukan ini tergolong cukup ringan, sekadar menyulut sumbu kain yang sudah dilumuri bensin dan api pada kain yang sudah tersulut api itu akan menjalar ke arah seorang tawanan yang berdiri menunggu maut di dalam sebuah kerangkeng besi. Itu saja.

Kalian tentu paham, Istriku dan anakku, pakaian tawanan itu pun sudah kulumuri minyak yang mudah tersulut, bahkan seluruh badannya dari ujung rambut sampai ujung kaki sudah bermandi bensin. Kulihat tawanan itu mengatupkan tangan, kukira berdoa kepada Tuhan yang sama dengan Tuhan yang biasa kusembah. Ia menatapku tegar, tidak memancarkan tatap meminta belas kasih apalagi dendam dan permusuhan, sesaat aba-aba ujung kain harus segera kusulut dengan diiringi doa perjuangan yang menggetarkan. Bagiku, terasa sebagai doa pengantar maut. Dan, hari ini aku adalah malaikat Elmaut pencabut nyawa itu.

Tawanan di dalam kerangkeng besi yang tak berdaya itu paham, maut sangat bergantung pada mulut imam besar kelompok kami. Sementara tugas ringanku sebagai algojo hanyalah sekadar menyulut ujung kain sebagai sumbu berminyak dengan korek api raksasa yang sudah menyala-nyala di tanganku. Selesai.

Penunjukkanku sebagai algojo untuk mengeksekusi tawanan yang satu ini sungguh di luar dugaan. Aku adalah algojo paling lembek, paling perasa, dan paling pengasih. Kalian tentu tahu, Istriku dan anakku, dari puluhan eksekutor yang ada di kelompok perjuangan kami, akulah algojo yang paling punya hati. Ya, begitulah rekan-rekan sesama algojo meledekku. Maka ketika imam besar kelompok kami menunjukku sebagai algojo untuk menghabisi nyawa tawanan spesial ini, para algojo lain tidak percaya.

Subhanallah... kau yang melakukannya, Akhi? Sungguh kehormatan buatmu, aku cemburu dibuatnya,” kata seorang teman algojo. Aku diam. “Sebentar lagi gambarmu akan dikenal dunia, meski wajahmu tertutup burqa. Setidak-tidaknya menunjukkan kepada dunia bahwa kami punya hukum sendiri,” kata rekan algojo lainnya. Aku tetap diam.

Ya, mereka bahkan jatuh iri mengapa aku yang ditunjuk, bukan dia Si Raja Tega atau dia Si Penjagal Maut. Mengapa harus aku Si Lembek Berperasaan yang harus melenyapkan nyawa dan raga tawanan ini? Hanya imam besar kelompok kami sajalah yang tahu!

Perlu kuceritakan serba sedikit di sini. Kelompok perjuangan kami membuat serangkaian eksekusi sebagai sebuah tontonan gratis yang disebarkan ke seluruh dunia melalui media sosial, khususnya situs berbagi video yang sangat efektif, melebihi media jenis apapun. Berbagai jenis hukuman maut telah dipertontonkan kepada seluruh dunia atas nama perjuangan menegakkan yang kami yakini sebagai paling benar di dunia ini. Kelompok kami ingin berkuasa di atas Bumi ini, menyingkirkan seluruh kafir yang tidak sealiran dengan kelompok kami.

Sebagai algojo, hukuman yang pernah kusaksikan dan bahkan pernah kulakukan sendiri sangatlah beragam; mulai dari menembak kepala tawanan dari jarak satu sentimeter, menusuk jantung tawanan dengan sangkur dan menendangnya ke lubang maut saat masih sekarat, menggantung tawanan di plafon bangunan, menyalib tawanan di tanah lapang, menggorok leher tawanan yang tidak berdaya seperti menggorok seekor hewan, sampai membakar tawanan yang sudah tewas.

Maafkan Istriku dan anakku jika aku bicara terlalu vulgar. Ini kumaksudkan agar kau kelak tidak mengikuti jejak-langkahku, Anakku.

Dan kini, cara yang harus kulakukan sebagai algojo adalah membakar tawanan hidup-hidup. Direkam dan gambarnya kemudian disebarkan ke seluruh dunia. Dan hatiku sebagai algojo benar-benar bergemuruh. Perang batin berkecamuk hebat dalam dadaku. Kalian harus tahu perasaanku, Istriku dan anakku, aku memang algojo yang lembek dan perasa.

Benar kata kawan-kawanku sesama algojo, aku adalah algojo paling lembek dan paling menyimpan belas-kasih. Kadang aku ragu saat pisau mulai menempel di leher tawanan untuk sekedar ditusukkan ke tenggorokan lalu digesekkan sekali, dan terpisahlah kepala dari badan dalam hitungan detik.

Selalu ada doa-doayang dimaksudkan untuk mengiringi kepergian tawanan ke alam baqa. Kadang yang terpikir saat eksekusi kulakukan bukan pada si tawanan, tetapi pada istri dan anak-anaknya. Ya, seperti kalian berdua itulah. Karena aku punya istri dan anak yang masih kecil, yang telah kutinggilkan di Tanah Air setahun yang lalu. Ya, aku punya kalian. Ah, apa kabar kalian berdua di Tanah Air, orang-orang tercintaku? Semoga kalian baik-baik saja. Tentu aku segera pulang sehabis menuntaskan tugas terakhirku sebagai algojo.

Kau tahu, betapa batinku menjerit hebat tatkala beberapa detik kemudian api yang ganas sudah menyulut seluruh tubuh tawanan itu. Semoga ini tidak akan pernah terjadi padamu, Anakku!

Teriakannya yang melengking membelah langit hanya kesia-siaan belaka, yang hanya menjadi konsumsi pengguna situs video berbagi selepas ritual maut ini. Tubuh tawanan dalam kerangkeng besi itu tetap berdiri di atas ke dua kakinya, menunjukkan semangatnya yang pantang tunduk menyerah, meski api sudah melahapnya. Hanya ketika tubuhnya sudah meleleh saja kedua kakinya mulai ambruk.

Kedua tangannya yang meleleh kemudian bersandar pada kerangkeng besi, membiarkan tubuhnya perlahan-lahan dilahap api sampai tuntas. Api yang kusulutkan tadi.

Dengan ekor mataku, aku bisa melihat imam besar di seberang api yang berkobar tersenyum puas, mengacungkan tangan ke udara terbuka sambil memekik kebesaran Tuhan. Sedangkan aku, kupanjatkan doa ampunan bagi tubuh tawanan yang sudah hangus terbakar dengan bau sangit daging yang menusuk penciuman. Sebentar lagi tubuh hangus itu akan ditimbun rerentuhan bangunan, rata dengan tanah. Innalilahi...

Aku balik badan setelah menyelesaikan tugas ini. Teman-teman algojo menyambutku bak pahlawan. Padahal, sungguh, yang baru saja kulakukan adalah perbuatan paling pengecut dan menjijikkan yang pernah kulakukan sebagai lelaki, sebagai algojo. Sekali lagi aku ingin memanjatkan ampunan untuk satu hal yang telah kulakukan barusan dan satu hal lagi yang akan kulakukan ini, yaitu membebat seluruh tubuhku dengan bom bunuh diri.

Aku tahu, sebagaimana biasanya, imam besar selalu memanggil eksekutor yang telah menjalankan tugasnya dengan sukses. Aku, tentu saja dipanggilnya beberapa saat setelah “tugas suci” itu kulakukan. Kupastikan lagi bom bunuh diri yang membebat tubuhku tidak menonjol ke luar, yang bisa menggagalkan rencana terakhirku di medan laga ini. Kupastikan sekali lagi bahwa tombol peledak yang selintas mirip cincin berbatu zamrud itu berfungsi baik.

Ia, imam besar itu, menyambutku dengan tangan terbuka lebar seperti hendak menenggelamkan tubuhku. Senyumnya merekah dan siap memelukku. Dan, ia benar-benar memelukku erat seperti tak berniat melepaskanku dalam waktu dekat.

Aku bisa merasakan, sebagai pejuang terlatih di medan perang, ia paham apa yang sedang dirasakannya tatkala ia memeluk tubuhku. Ia tertegun dan berontak hendak melepaskan pelukannya. Namun tombol pemantik bom bunuh diri berkekuatan besar itu segera kutekan, menghasilkan suara dentuman dahsyat, meremukkan seluruh daging menjadi serpihan kecil dan bahkan menghancurkan tembok-tembok beton.

Istriku dan anakku, aku tak tahu lagi apakah aksi mautku yang membuat tubuhku, tubuh imam besar, dan para pengawal sekelilingnya hancur berkeping-keping ini ada yang mengunggahnya di situs berbagi video dan bisa kalian tonton berdua di Tanah Air, sebagaimana gambar tawanan yang telah kuhabisi dengan api tadi.

Paling tidak di alam baqa, aku berharap masih bisa menontonnya. Sekali saja.

ke tanah perjuangan ini aku datang

dari tanah pergolakan ini aku berpulang

***