Bukan Jodoh

Rabu, 17 Agustus 2016 | 04:59 WIB
0
220
Bukan Jodoh

Cerpen: Pepih Nugraha

Seperti biasa, ia selalu ceria saat berjumpa. Wajahnya berbinar seperti bocah mendapat mainan baru, padahal usia sudah menginjak 40. Kadang ia tak kuasa menyimpan rasa kangen yang membuncah di hatinya. Bisa jadi begitu.

Tak ragu ia memelukku saat bertemu, bahkan mungkin jika tak mengindahkan malu, aku sudah dicumbunya di pusat keramaian kota. Demikianlah pembawaan Kang Jaka, kekasihku, yang sedang kuceritakan ini. Kau bisa menebak dari mana kekasihku itu berasal, bukan?

“Malu dong, Kang, ini ‘kan tempat umum. Ini Jakarta, bukan Paris,” kataku melepaskan dekapannya sekuat tenaga di teras Plaza Senayan.

“Kangen banget, Cantik, nggak sanggup Akang tanggung nih,” jawabnya.

Panggilan “Cantik” selalu tersemat dari bibirnya, bukannya memanggil namaku yang sebenarnya, Irma. Well, perempuan mana yang hidung nya tidak cungat-cungit menendang langit-langit mendapat pujian selangit semacam itu. Bagi perempuan sepertiku, panggilan “Cantik” tidak bisa diartikan lain selain sanjungan yang nilainya lebih berharga dari sekadar batu akik.

Jika jalan bareng, sudah biasa ia menggandeng lenganku seakan-akan mendekap pinggangku yang kata orang lumayan ramping, bahkan kadang tidak ragu ia memijit hidungku keras-keras karena katanya hidungku bangir meski tergolong mungil. Setiap hari kudapati banjir pujian, kadang aku melarangnya karena merasa apa yang diucapkannya terlalu berlebihan, lebay. Seperti anak remaja kasmaran saja.

“Sekarang memuji karena sedang sayang-sayangnya, jangan-jangan kalau sudah bertemu perempuan lain yang lebih dari Irma, mungkin Akang lupa,” kataku mengutip percakapan klasik sejumlah sinetron. Disindir begitu bukan jawaban yang kudapat, tetapi malah aksinya mengangkat tubuhku tinggi-tinggi seperti adegan film India. “Kang, jangan!” teriakku sembari memukuli bahunya. Benar, malu dan risi rasanya sama orang yang melihatnya.

Hemm…. itu kejadian beberapa waktu lalu, saat asmara masih mengelagak di hatiku, di hatinya. Saat masih dekat, masih lekat, saat masih sayang. Hari ini aku harus membuat putusan yang mungkin tak terpikirkannya!

Kang Jaka duduk tepat di depanku setelah aku memintanya datang di teras sebuah restoran. Saat dia hendak mencium pipiku sebagaimana kebiasaannya kalau bertemu, kutolak tegas sambil mengelak menjauh. Dia bengong seketika, bibirnya cuma menangkap angin. “Kenapa, Ir, kok nggak seperti biasanya?” tanyanya. Aku menggelengkan kepala.

Dia menyandarkan tubuh diujung di kursi, sepertinya ia sudah punya rasa. Wajah yang biasanya berbinar mendadak pucat seperti bara tersiram air. Benar ia sudah berumur 40-an lebih, tetapi wajahnya masih menyimpan sisa-sisa kejayaan masa lalu, lumayan tampan seperti pria jelang usia 30-an.

“Kang,” kataku. Perlahan ia mengangkat wajah. “Irma nggak akan bicara, tapi izinkan Irma menulis sesuatu di tisu ini,” kataku.

Selembar tisu putih seperti kapas kutarik dari tempatnya. Pulpen sudah kusiapkan. Kemudian aku menulis sesuatu seperti tanpa berpikir bagaimana bunyi kalimatnya…. RELEASE ME… lepaskan aku!

Tisu kuserahkan. Mula-mula ia menampik, tetapi aku memaksanya untuk menerima tisu itu, khawatir dia beralasan tidak bisa membacanya. Hanya dua kata, membentuk kalimat pendek yang mengena dan bernada perintah pula. Aduh, kenapa tiba-tiba aku menjadi manusia yang jauh dari sikap ksatria, perempuan yang tidak punya perasaan? Kenapa harus menyuruh kang Jaka yang memutuskan hubungan ini? Kenapa tidak sekalian saja kuputuskan hubungan ini?

Kulihat ia seperti tidak percaya. Ia menggeleng pelan, lalu menunduk. Kulihat ada air yang menggenangi matanya. Ah, ternyata Kang Jaka cengeng, pikirku. Tapi, boleh jadi itu bukan cengeng biasa, mungkin saking tidak percaya akan permintaanku saja yang tak ada hujan tak ada angin, mendadak seperti datangnya tsunami.

“Boleh tahu apa kesalahan Akang, Ir?” tanyanya hampir tak terdengar, meski sebenarnya suasana restoran ini terhitung sunyi.

“Nggak ada kesalahan apapun, Kang…,” balasku. “Yang salah kita berdua, bertemu dalam waktu yang kurang tepat; Akang sudah beristri, sudah beranak pula, demikian Irma sudah punya suami, Mas Norman. Maafkan Irma ya, Kang, bukan Irma nggak sayang Akang… Nyatanya Irma nggak bisa mendua!” Kukutip lagi percakapan klasik di film-film Rhoma Irama masa silam.

“Ir,” katanya tanpa kuasa meneruskannya, tenggrorokannya seperti tercekat.

“Kang, Irma harap yang sudah lewat jangan diingat lagi, ya. Serba indah memang, penuh suka-cita. Percayalah, ikatan cinta ini sewaktu-waktu bisa tersambung kembali kalau masing-masing kita sudah sendiri-sendiri, ini niat jahat memang. Sekarang Irma hendak berbakti kepada Mas Norman, Irma mengaku salah karena sudah terlibat dalam cinta terlarang ini hanya karena betapa sayangnya Irma sama Akang selama ini. Bukti Irma sayang, ‘kan Irma yang nggak bisa memutuskan hubungan ini, malah menyuruh Akang yang memutuskan Irma….”

Ia kemudian berdiri. Kupikir ia akan menampar pipiku keras-keras karena merasa tersakiti, seakan-akan hubungan yang telah dibina selama dua tahun itu seperti tak ada artinya, tak pernah menapak dalam sejarah kehidupan asmara antara aku dan dirinya.

“Ir, maafkan Akang, ya,” katanya kemudian. Hanya itu. Kulihat matanya berkaca-kaca lagi. Setelah mengajakku salaman, ia balik badan pergi tanpa menoleh lagi ke belakang.

Aku menarik nafas panjang, semata-mata hanya bisa berdiri di tengah kerumunan orang yang sedang menyantap hidangan di restoran itu. Kulirik meja, ternyata tisu itu masih tergeletak di sana, sedikit tertebak angin senja, tersingkap, RELEASE ME…. Disengaja atau memang lupa, entahlah. Kuraih tisu itu, kugenggam erat, sementara air mata sekarang gantian membanjiri pipiku. “Maafkan aku, Kang,” batinku.

“Kang….!!!” akhirnya aku berteriak memanggilnya, akan tetapi suara yang keluar hanya memantul di bilik hati, tidak terucap di bibir.

Jujur, ada hasrat yang menggoda untuk mengejarnya dan kukatakan bahwa pesan di tisu itu hanya bohong semata dan karenanya tidak usah diambil hati, anggap saja tidak ada. Tapi rasa bersalahku kepada Mas Norman yang tidak bersalah sangat menekan batinku. Tetapi, rasa iba kepada Kang Jaka juga sulit kuelakkan. Pastilah hatinya terluka menahan pedih karena permintaanku untuk memutuskan segera hubungan ini.

Asmara kandas di tengah jalan, hilang di persimpangan, kemudian karam sebelum mencapai pelabuhan. Kupikir itu jalan terbaik buatku saat ini. Ia perlahan-lahan memudar dan menghilang.

Sejak peristiwa itu aku tidak pernah melihatnya lagi, ia lenyap ditelan waktu dan pergi entah ke mana.

 

***