Sebuah Kejutan

Rabu, 17 Agustus 2016 | 16:44 WIB
0
204
Sebuah Kejutan

Cerpen: Pepih Nugraha

"Aku bosan dengan kemiskinan," Wina membatin suatu ketika saat ia menjatuhkan pilihan kepada Wimar, anak mantan bupati yang royal dan kaya. "Memacari Rohmat apalagi sampai menikah jelas menutup harapanku hidup lebih baik," pikirnya.

Rohmat adalah teman sepermainan semasa kecilnya, sama-sama anak petani miskin. Ia punya ketangkasan anak-anak desa sebagaimana umumnya. Ia pemanjat pohon kelapa yang tangguh, penangkap belut yang licin, dan penakluk kerbau ngamuk yang berani. Tubuhnya atletis alami dengan otot-otot yang kekar menonjol, bukan tubuh yang dibentuk di ruang-ruang gim. Itu sebabnya Wina terpikat.

Tetapi, kemiskinan membuatnya lekas bosan. Berjodoh dengan Rohmat akan berarti memelihara keadaannya untuk tetap tinggal di gubuk bambu beratap rumbia. Angan-angan untuk hidup lebih baik menguap begitu saja. Tetapi, tidak ada sedikit pun ketegasan dalam diri Wina. Ia bahkan mengiyakan saja kalau ia bersedia dinikahi Rohmat asalkan calon suaminya itu mampu mengumpulkan biaya nikah Rp 15 juta.

Benar-benar permintaan main-main, melecehkan dan tidak sungguh-sungguh, sebab Wina sendiri yakin, Rohmat tak akan bisa meluluskannya!

Sebuah pesan singkat tiba-tiba masuk ke ponsel Wina: "Win, aku hampir berhasil mengumpulkan Rp 15 juta buat biaya nikah kita. Segera kuserahkan padamu jika uang sudah terkumpul. Aku kangen kamu. Rohmat."

Wina membaca pesan itu di keremangan lampu kamar hotel sambil duduk di tepi ranjang. Seorang pria muda bertelanjang dada tidur rebahan di sampingnya. Tangan pria itu membelai punggungnya.

"SMS dari si Rohmat, bukan!?" Wina mengangguk. "Sudahlah Win, lupakan saja. Kita hanya berdua di kamar ini, ayolah, Manis, berikan yang terbaik untukku malam ini!"

"Sebentar, Wimar, beri aku kesempatan bernafas!"

"Okay, tapi jangan lama-lama ya, Sayang...!"

Wina mengancingkan kembali bajunya yang tadi sempat hendak dibuka paksa Wimar. Biasa hasrat lelaki kalau sudah berada di ubun-ubun, tidak pernah mengindahkan waktu dan tempat, yang kadang tidak ada bedanya dengan hewan berkaki empat.

Di sudut kamar hotel, ia menelusur kembali SMS demi SMS yang dikirim Rohmat selagi Wimar rebahan asyik dengan iPhone-nya. Wina mulai membaca satu-persatu: "Win aku dapat order kiriman barang ke Tanjungpriok, moga lancar". SMS lainnya, "Aku kangen sama kamu, Win, tapi aku bertahan di Jakarta demi pernikahan kita". Lanjut SMS ini, "Win, sebentar lagi cicilan motorku lunas". Atau Rohmat hanya sekadar menulis, "Win, Jakarta hujan, kamu sedang apa?"

Wina menyibakkan rambutnya yang tergerai, pikirannya terus hinggap pada masa-masa lalu bersama Rohmat. Kadang rasa bersalah menekannya. Satu pernyataan yang kerap mengusik batin terdalamnya: mengapa ia tega menyia-nyiakan kesungguhan Rohmat, menganggapnya tiada, dan sekadar obyek  main-main belaka?

Kemiskin yang mendera orangtua memaksa Wina berani ambil risiko; memacari anak mantan bupati itu.

Nyatanya Wimar amat pencemburu, meski Wina sudah menyerahkan apapun yang dia miliki, termasuk kesuciannya. "Aku baru tenang kalau kamu sudah putuskan si Rohmat itu!" kata Wimar. Wina tak menggubris omongannya.

Harapan akan hidup yang lebih baik  membuatnya harus membunuh segala rasa iba kepada Rohmat, sekaligus rasa cintanya yang dulu pernah tumbuh subur. Suatu senja yang cerah, Wina duduk bersama Rohmat di sebuah dangau di tengah sawah. Sebentar lagi adzan maghrib dari langgar terdengar. Sekumpulan burung sudah beranjak istirahat, tetapi sekawanan kalong mulai keluar berbondong-bondong mengotori langit.

"Sungguh kamu cinta padaku, Rohmat?"

"Aneh kalau kamu masih ragukan cintaku, Win!"

"Bahkan saat aku berkata terus-terang setelah ini...?"

"Aku siap mendengarnya, itu takkan menggoyahkan cintaku."

"Benar begitu?"

"Ya!"

"Aku...."

tenggorokan Wina tercekat, sejenak keraguan menyumbat.

"Nanti sajalah."

"Tidak. Teruskan, Win!"

"Apa yang akan kamu harapkan dariku? Kamu pasti kecewa... "

"Aku nggak ngerti, Win."

"Aku sudah tidak suci lagi...."

Ia berharap melihat kemarahan Rohmat yang meledakkan suasana senja tatkala suara adzan maghrib mulai terdengar. Setidak-tidaknya lelaki itu menampar pipinya sebelum beranjak pergi, menghamburkan kata-kata makian paling kasar khas lelaki, lalu menghilang pergi karena merasa dikhianati. Tidak ada yang terucap di antara keduanya, hanya kecipak katak yang lari ketakutan dikejar ular sawah.

Sebagaimana yang dituntut Wimar saat pertama kali merenggut kesuciannya tadi malam, Wina ingin Rohmat memutuskan cintanya secepat ia bisa. Harapan itu sirna. Rohmat wajar saja bersikap, sedemikian nyantai seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Setelah diam beberapa saat, ia mengembangkan senyumnya. Senyum paling tulus. Kedua tangan terbuka lebar lalu memeluk erat kekasihnya. Itulah pelukan pertama Rohmat, dan anehnya Wina tidak berontak. Setelah mencium ubun-ubun kekasihnya, Rohmat mengajaknya pulang. "Aku cinta kamu, Win," katanya. "Segera aku kembali untuk menikahimu setelah kerja keras di Jakarta!"

Wina tercenung di tepi ranjang setelah menelusur pesan demi pesan.

Pada saat yang bersamaan, di suatu tempat terpisah yang berbilang jarak ratusan kilometer, sebuah truk yang melaju kencang menabrak keras sepeda motor di tikungan. Pengemudi sepeda motor terpental ke udara dan ketika jatuh menghantam jalan aspal, tubuhnya sudah tidak bergerak. Warga menutupi tubuh si korban dengan koran untuk menghindari kengerian pejalan selain menghormati si mayat, sementara polisi memeriksa kemungkinan adanya identitas di dompet atau tas ranselnya. Nihil. Polisi hanya menemukan segepok amplop coklat berisi uang kertas. "Insya Allah buat biaya nikah," demikian kalimat yang tertulis di bagian depan amplop.....

Usapan lembut berubah menjadi sergapan kasar Wimar yang sejak tadi memendam hasrat kelelakiannya. Ia menunggu terlalu lama. Bagai singa terluka, lelaki itu demikian dahsyat merobek busana kekasihnya tanpa belas kasih, apalagi sikap santun. Wina menghindar ketakutan.

Tak disangka, ketakutan Wina menjadikan Wimar malah makin tak terkendali. Ia tarik dan kemudian melemparkan tubuh gadis itu ke atas tempat tidur seperti memainkan boneka, lalu berupaya mengatasinya. Wina berontak kuat.

"Gila kamu, Wimar!"

"Tunggu apa lagi? Kamu yang bikin aku gila!"

"Aku nggak mau!!!"

"Jangan sok suci kamu, ya! Ingat..... aku sudah membelimu!"

Teriakan "tolooooong" jelang tengah malam memecah hening, menembus batas dinding kamar hotel. Wina terdesak di sudut kamar nyaris tanpa busana, hanya sehelai handuk yang memagari tubuhnya. Tidak ada benda apapun yang ia gunakan sebagai senjata, sementara lelaki itu mendengus semakin mendekat.

Namun beberapa detik kemudian satuan pengaman hotel dibantu tamu lainnya berhamburan mendobrak pintu darimana datangnya teriakan. Tidak lama kemudian kicauan Twitter dan status Facebook ramai membincangkan anak mantan bupati yang melakukan percobaan perkosaan di sebuah hotel, lengkap dengan  fotonya. Wajahnya babak-belur dihakimi massa....

Malam itu juga Wina sudah berada di stasiun menanti Argo Lawu dari Surabaya berhenti. Ia ingin melewatkan malam mengerikan itu secepat ia bisa. Air mata jatuh menimpa bumi tatkala seraut wajah mulai membayang dan terus membayang.

Jerit peluit kereta api memecah keheningan dan deru mesin berubah menjadi sebuah harapan.

Tanpa berkirim kabar sebelumnya, ia nekat ke Jakarta malam itu juga.

"Rohmat tunggu ya.... Aku punya kejutan untukmu!"

***