Risma Bukan Srintil Yang Menanti Malam "Bukak Klambu"

Senin, 8 Agustus 2016 | 08:58 WIB
0
559
Risma Bukan Srintil Yang Menanti Malam "Bukak Klambu"

Tri Rismaharini alias Risma bukanlah tokoh Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Risma adalah Walikota Surabaya yang kini menjadi buah bibir, yang ketenarannya mengalahkan walikota New York sekalipun, terkait ingar-bingar Pilkada DKI Jakarta.

Namun demikian, keelokan sekaligus kemolekan Risma dari kacamata politik lokal Jakarta bisa dianalogikan sebagai Srintil, perempuan belia kembang desa yang saat "dibaptis" menjadi seorang ronggeng usianya baru menginjak sebelas, seusia dengan Karmila yang dinyanyikan almarhum Farid Hardja.

Horornya, Srintil harus mengikuti ritual menyeramkan sebelum benar-benar dinobatkan sebagai ronggeng sesungguhnya yang telah kemasukan roh "inang". Menyeramkan, karena Srintil harus menjalani ritual "bukak klambu" berupa "lelang" keparawanannya (virginity), sebagaimana diwajibkan dukun ronggeng Kartaredja. Sakarya, kakek yang membesarkan Srintil, manut saja karena itulah ritual turun-temurun yang wajib dilakoni oleh setiap calon ronggeng di pedukuhannya.

Singkat cerita, Srintil yang anak Santayib, pembuat tempe bongkrek yang mati bersama sejumlah penduduk kampung setelah makan tempe bongkrek buatannya, "melelang" keperawanannya pada malam yang telah ditentukan. Namun, "lelang" keperawanannya saat acara "bukak klambu" itu sesungguhnya lelang bohongan alias tipuan tingkat tinggi berbau kolusi.

Lho kok bisa? Bisalah, sebab beberapa menit sebelumnya, Srintil telah menyerahkan "kesuciannya" secara suka-rela kepada Rasus, pacar yang menjadi teman mainnya sehari-hari, sebelum "lelang" itu diritualkan kepada sejumlah lelaki berpunya. Kepada Rasus-lah cinta pertama Srintil dilabuhkan.

Melalui trik Sakarya dan Kartaredja yang membuat mabuk peserta lelang, sesungguhnya itu adalah malam "bukak klambu" artifisial. Namun apapun bentuk dan prosesinya, ritual itu dinyatakan sah dan Srintil otomatis resmi menjadi penari ronggeng dari Dukuh Paruk.

Tentu saja Risma bukan Srintil. Analogi ini pun mungkin berlebihan. Tetapi sebagaimana Srintil, wajah Risma memancarkan pesona;  elok sekaligus molek. Risma menjadi magnet yang menyedot perhatian publik yang berharap ada sosok baru yang memimpin Jakarta.

Dengan sendirinya sosok Risma memang dihadirkan untuk melawan calon petahana, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Bagi sejumlah elite politik lintas partai, acara malam "bukak klambu" bersama Risma sedemikian mereka nantikan, di mana harapan besar diletakkan; yakni dapat menyunting Risma, meski Rasus sudah merenggut "keperawanan"-nya terlebih dahulu. Bukan persoalan besar. Bagi parpol lain, yang penting berada dalam kamar yang sama di mana "bukak klambu" dilakukan, itu sudah menjadi semacam portofolio keberhasilan, sekaligus kebanggaan; Risma adalah jaminan mutu.

Tentu saja Risma bukanlah Srintil. Namun toh Risma tinggal menunggu keputusan "Sakarya", yakni orang yang mengasuh dan membesarkannya, apakah akan segera dipanggungkan menjadi ronggeng yang sudah kemasukan "inang" alias roh leluhur atau masih harus ditimang-timang dengan selaksa pertimbangan kapan "bukak klambu" dilaksanakan. Sekali "Sakarya" berkehendak, tidak bisa Risma menolak. Itu hukum Dukuh Paruk yang wajib dipatuhi. Ia harus hijrah dari pedukuhannya ke Ibukota tanpa syarat.

Tetapi jika Risma itu Srintil yang menunggu hari-hari  penentuan dirinya menjadi "ronggeng" (baca: bakal calon gubernur), ia tetaplah bunga desa yang elok nan molek. Banyak kumbang mendekat dan menyuntingnya, bahkan banyak yang ingin melempar sampur untuk sekedar dekat dengannya, bila perlu menyelipkan lembaran berharga.

Jakarta adalah panggung terbuka untuk berbagai pertunjukkan. Ibukota ini bukan hanya tempat di mana tanjidor, yapong, dan cokek dari Betawi biasa dimainkan dengan gemulai namun ritmik. Bukan pula tari campak dan sepen dari Bangka Belitung dengan gerakannya yang tegas. Bukan sekadar itu.

Publik masih ingin menyaksikan panggung Jakarta dimeriahkan oleh satu lagi tarian ronggeng yang dinamis dan mendebarkan. Penari ronggengnya tidak lain dari Srintil yang masih harus menunggu kehendak dan putusan final Sakarya.

Srintil loh ya.... bukan Risma!

Sakarya loh ya.... bukan Mega!!

***