Catatan Harian Yang Menjadi Cerita

Sabtu, 6 Agustus 2016 | 09:58 WIB
0
577
Catatan Harian Yang Menjadi Cerita

Dulu saya menulis diary atau catatan harian di buku tulis. Dengan kemajuan teknologi informasi, khususnya saat blog gratisan mewabah, saya biasa menulis catatan harian di media sosial seperti blog dan Facebook ini. Catatan harian yang semula "rahasia pribadi" di mana tak seorang pun bisa membacanya, kini menjadi catatan virtual. Semua orang bisa membaca diary kita.

Keuntungan atau kerugiankah? Tergantung. Bagi yang biasa menulis catatan harian secara reflektif atau mengungkap sekelumit kejadian kecil tapi berkesan, jelas ini keuntungan. Sebab, terbuka peluang catatan hariannya di komentari banyak orang. Boleh jadi di antara komentar itu ada yang memperkaya, menyanjung, sampai mengkritisi.

Akhirnya menjadi banyak teman, bukan? Dan itu menyenangkan. Kerugiannya? Nyaris tidak ada, kecuali sebagian rahasia hidupmu diketahui orang!

Sebelumnya saya membuat postingan "Jangan Main-main dengan Diary" yang cukup ramai dibaca. John Berendt, seorang penulis kenamaan mengatakan, diary adalah salah satu pintu masuk untuk membuat tulisan, fiksi maupun nonfiksi. Saya sendiri sampai sekarang rajin membuat catatan harian; apa saja yang berkesan di hati saya, apa saja yang saya lihat dan alami dan cukup mengusik kesadaran saya.

Contohnya adalah catatan harian yang saya beri judul "Kucing". Menulisnya pun sebagai status Facebook saja. Berikut tulisannya:

KUCING

Semua kucing yang biasa main ke rumah telah tiada, satu persatu berguguran bagai daun kering atau pergi tanpa meninggalkan jejak. Jollie mati karena terlalu sering kawin, Neige mati saat mengandung bayinya di perut, sedang Noir kucing hitam jantan menghilang tak tentu rimbanya. Kadang rindu dengar suaranya saat mereka lapar, menunggu di depan rumah, atau masuk ke dalam begitu saja saat pintu sedikut terkuak. Noir takkan pernah pergi dari pintu kasa yang terkunci sebelum mendapatkan jatah makanan dariku. Sepi rasanya.

Aku jatuh iba kepada seekor kucing cacat yang sering kulihat. Ia kucing yang kesepian, tak punya teman. Kaki kanan depannya buntung. Tetapi setiap kali kupanggil untuk keberi makan, matanya mendadak awas. Ia berhenti hanya untuk memandangku. Saat kudekati, ia beranjak pergi tanpa mau menggubris makanan yang kuberikan. Mungkin ia punya trauma masa lalu atas kaki buntungnya itu dan kehadiranku dipikirnya hanya akan membuat kaki lainnya buntung lagi. Entahlah, tapi aku berdoa semoga kucing buntung itu selamat, tetap menjalani kehidupan dengan semangat....

Begitulah gaya saya membuat catatan harian sebagaimana tertulis di atas. Tidak bertele-tele, tetapi sekelumit pengalaman dan perasaan terwakili dalam catatan harian itu.

Kalau kamu teringat pesan John Berendt bahwa sebuah catatan harian bisa diberi pembukaan, uraian, dan akhir cerita, juga diberi percakapan serta klimaks, maka diary yang kamu tulis pun berpotensi menjadi sebuah cerita; cerita rekaan (fiksi) atau cerita berdasar kisah nyata. Adakah di antara kamu yang berani menggubah atau menyusun kembali diary saya di atas menjadi sebuah cerita yang telah diberi dialog (percakapan), awal cerita sampai akhir kisah?

Jika ada yang berani mencoba, silakan tulis di inbox atau message Nulis bareng Pepih ini dan jika berkenan akan saya tampilkan. Yang saya anggap gubahan terbaik akan mendapat satu buku yang saya tulis, sebuah buku yang berasal dari catatan harian saya berjudul "Ibu Pertiwi Memanggilmu Pulang" terbitan Bentang Pustaka, Yogyakarta.

Berani mencoba?

***