Layang-layang

Senin, 1 Agustus 2016 | 05:16 WIB
0
493
Layang-layang
Layang-layang (Foto: Tribunnews.com)

Cerpen: Pepih Nugraha

ANIS, anak usia enam tahun, petang itu memandang langit biru kejinggaan yang bertaburkan ribuan layang-layang. Musim layang-layang telah tiba. Anak-anak, remaja sampai orang dewasa bersuka-cita memainkannya. Mengulur benang, menarik benang, mengendalikan layang-layang agar bisa meliuk-liuk, adalah kesenangan tak terperikan dan tak kenal usia.

Anis anak yatim.  Tadi siang ia merengek kepada ibunya minta dibelikan layang-layang dan benangnya agar bisa bermain seperti anak-anak lainnya. Bagi seorang janda tukang cuci pakaian, menolak halus permintaan anak semata wayangnya lebih karena jujur tersebab ia memang tidak punya apa-apa.

“Uang buat layang-layang dan benangnya bisa buat makan sore kita berdua, Nak,” katanya menolak permintaan anaknya. Anis paham, mengangguk, dan pamit ingin bermain di lapangan.

Tidak seperti biasa, Anis mencium tangan ibunya yang sedang mencuci sebelum beranjak pergi. Ada rasa sesal di hati sang ibu manakala tidak bisa memenuhi keinginan anaknya.

Petang itu Anis masih memandang ratusan layang-layang yang seakan-akan benda bermagnet yang menempel di langit biru, bergerak ke sana ke mari dengan kekuatan magnet itu. Sebuah layangan putus mendekatnya. Anis pikir, layang-layang putus itu harus kudapatkan biar tidak perlu meminta uang kepada ibunya. Layangan putus adalah benda bebas yang boleh direbut siapa saja. Anis cepat mengejar layang-layang putus yang tampak melayang mendekat itu.

Namun sungguh di luar dugaan Anis, anak-anak lain juga ikut berburu mengejar layangan putus itu.

Nyatanya, ah… layang-layang itu tertebak angin dan membubung kembali seperti ditarik tangan raksasa kembali ke langit. Anis semakin berlari kencang, melewati pesawahan, melintas sungai, bahkan menerjang ilalang. Anak-anak lainnya riuh rendah berburu layang-layang yang sama. Ah, sedikit lagi…. Anis meloncat, melompat, dan layang-layang itu membubung lagi lalu menyeberang jalan raya. “Sejengkal lagi benang layang-layang itu kuraih,” batin Anis seraya berlari mengerahkan sisa tenaga terakhirnya.

Tetapi.... bruaaakk…!!!

Sebuah truk yang melaju kencang tidak bisa menghindar dari seorang anak yang berlari dan menyeberang tiba-tiba. Anak itu terpental bersamaan dengan bunyi rem dan pekik histeris pejalan kaki lainnya, “Allahu Akbar…!!!”

Di tempat lain pada saat bersamaan, seorang Ibu tengah menunggu anaknya tiba di beranda rumah reyotnya. Singkong rebus masih terlihat mengepul di atas piring, ditambah teh gula aren kesenangan anaknya. Tetapi anak itu belum juga tiba.

Sementara Anis, anak itu, langsung terkapar di aspal keras dengan wajah berlumuran darah. Namun demikian senyum bahagia di sela-sela darah segar yang mengalir deras terkembang sejenak di wajahnya sebelum matanya meredup dan beku kemudian.

Di tangannya terlilit benang dan sebuah layang-layang yang telah berhasil ditangkapnya.

***