Hari Pertama

Kamis, 28 Juli 2016 | 04:46 WIB
0
428
Hari Pertama
Pemulung (Foto: Youtube)

Cerpen: Pepih Nugraha

Sepagi ini Adib sudah pamitan pada orangtuanya. Mentari masih enggan memunculkan tubuhnya, langit pun belum terbuka seutuhnya.

Suasana di gubuk-gubuk yang dihuni para pemulung itupun seperti sukar menggeliat. Namun, Adib sudah siap dengan peralatan barunya, sebuah ganco pengait sampah lengkap dengan karungnya. Sudah biasa Adib ikut memulung sampah bersama mendiang bapaknya.

Ini hari istimewa buatnya, sebab baru pagi inilah ia mengutarakan keinginnya untuk mulung sendiri. Adib ingin mandiri.

Istimewa, karena ini hari pertamanya bekerja dangan ganco baru di tangan. Ganco yang terlihat besar dan untuk ukuran tangan mungilnya. Setelah bapaknya meninggal akibat mengidap penyalit TBC akut, Adib terpanggil untuk mandiri, berdikari alias berdiri di atas kaki sendiri.

Ya, ini hari pertamanya bekerja!

“Belum waktunya kamu mulung sendirian, Nak, masih terlalu bocah.”

“Tapi aku sudah kuat, Mak, sudah besar. Dulu bapak sering bilang begitu.”

“Mmmm… baiklah, hati-hati sajalah kalau begitu!”

“Baik, Mak…. Adib pamit, ya!”

Anak itu keluar dari bedeng sewaan berukuran 3×4 meter di mana 25 keluarga berjejalan di tempat berteduh beratap seng yang berderet membentuk tapal kuda itu. Orang-orang menyebutnya “gubuk pemulung”. Di tengah tapal kuda, bertumpuk gunungan sampah yang telah dipilah-pilah. Anak yatim berusia tujuh tahun itu sudah keluar dari gubuknya bahkan sebelum celoteh anak-anak seusianya terdengar.

Adib kini sudah lumayan melangkah jauh, rencananya ia akan mulung di kompleks Villa Nirvana, sebuah perumahan mewah yang pernah ia kunjungi bersama bapaknya semasa hidup. Beberapa keping sampah botol bekas minuman kemasan sudah mengisi karung sampahnya. Topi tetap ia kenakan meski matahari masih sembunyi, bukan karena ia malu. "Biar gaya saja seperti Justin Bieber," katanya suatu hari pada emaknya tentang topi bekas itu.

Pagi di Villa Nirvana telah terjadi kehebohan luar biasa. Anak Pak Johan meraung-raung karena baru saja kehilangan sepeda gunung barunya. Johan mengumpat habis, bagaimana mungkin sepeda yang baru dibelinya kemarin bisa raib sepanjang malam tadi. Tetangga di depannya, Ibu Nunun, juga mencak-mencak karena sandal Crocks anaknya yang baru ia beli juga raib tak berbekas.

“Ini pasti kerjaan pemulung yang sering dibiarkan masuk kompleks rumah kita ini, Pak Jo,” umpatnya saat tetangganya itu masih menekan-nekan ponselnya, menghubungi ketua keamanan setempat.

“Lho, bukankah semua tempat sampah di kompleks ini sudah kita gembok, Bu, dan sudah ada pengumunan kalau pemulung dilarang masuk kompleks perumahan ini!?"

“Lha, buktinya masih banyak barang-barang yang hilang di kompleks perumahan kita ini, Pak!”

"Iya juga sih.”

Keributan itu mengundang tetangga-tetangga lainnya datang berkumpul. Tak ada yang mengomando, satu persatu mereka juga melaporkan kehilangan barangnya masing-masing.

“Kemarin anakku kehilangan sepatu rodanya!”

“Lha, anakku kehilangan raket yang baru dibelinya.”

“Anakku kehilangan….”

“Anakku juga…”

Karena warganya menelepon, Danu sang kepala keamanan datang dengan wajah menyimpan geram. Merasa dipermalukan, ia berjanji akan menangkap dan menghajar pencuri yang berani-beraninya memasuki kompleks perumahan yang dijaganya siang-malam itu.

Saat bersamaan, dari ujung jalan Adib masuk ke kompleks perumahan. Wajahnya memancarkan keriangan anak-anak, dan ia tak tak tahu kalau beban hidupnya sedemikian berat. Pagi itu, tidak ada satpam yang melarangnya masuk. Ia terus memasuki perumahan, mendekati kerumunan warga kompleks yang masih tersengat amarah.

Tetapi Adib kecewa, senyumnya menguap. Seluruh tempat sampah yang tertutup besi itu benar-benar sudah digembok warganya sendiri, tidak bisa lagi dibuka dan dikais-kaisnya seperti biasa. Ia tidak habis mengerti mengapa orang-orang kaya sekarang menggembok sampahnya dan hanya pengangkut sampah resmi dari Pemda saja yang bisa membukanya?

Adib ingat, mendiang bapaknya pernah bilang, itu karena tempat sampah yang ditaruh di depan rumah sering diacak-acak anjing atau kucing, sehingga sering amburadul dan berbau. Padahal alasan utamanya bukan itu, pemulung sampahlah yang sering mengacak-acak tempat sampah itu. Warga keberatan.

Akibatnya, seluruh warga perumahan bersepakat menggembok tempat sampahnya masing-masing. Biar aman. Belum lagi soal seringnya kasus pencurian, seperti yang terjadi pagi ini.

Tidak lama kemudian Adib melintas di kerumunan orang-orang yang sedang heboh itu. Ganconya mulai beraksi mengait sampah plastik satu persatu yang bertebaran. Beberapa pasang mata mengarah padanya. Ada yang benar-benar tatapan tajam, seolah-olah menancap di jidat Adib.

Tiba-tiba Danu sang Satpam melirik, melotot, lalu berteriak geram, “Hei, kemari, kau! Rupanya anak kurang ajar ini pencurinya!”

Mulanya Adib tidak paham, tetapi ia mulai ketakutan tatkala Satpam Danu menghampirinya dengan tangan besarnya yang menjulur. Semua mata menatap adegan itu. Adib mundur beberapa langkah. Bersiap kabur.

“Kamu yang mencuri barang-barang milik warga ini, bukan?”

“Bu…bu.. bukan, Om, a… aku ti…ti... tidak mencuri!”

“Ah, bohong kau!!”

Sebuah tamparan keras bersarang di pipi Adib. Anak itu langsung terjungkal dan tersungkur di jalan beton.

Adib demikian ketakutan sampai-sampai celananya basah. Ngompol. Warga yang melihat Adib kencing malah tergelak nikmat sekali. Lucu mungkin. Seperti belum puas, satpam Danu segera mencengkram kaus lusuh anak itu dan memaksanya mengaku. “Ayo ngaku, kamu yang mencuri barang-barang milik warga sini, bukan?!” teriaknya.

Adib semakin ketakutan. Kepalanya menggelang perlahan.

Sebuah tamparan keras melayang lagi, kali ini hinggap di kepala anak itu. Adib limbung, hilang keseimbangan, dan tubuh kecil itu berputar seperti gasing sebelum terjerembab ke jalan beton untuk kedua kalinya.

Warga tetap diam menyaksikan. Satpam Danu sudah siap mengangkat anak yang sudah tidak berdaya itu untuk ketiga kalinya. Untunglah Bang Mi’un, tukang ojek yang biasa mangkal di ujung jalan perumahan itu lewat. Dia mencegah Satpam Danu melampiaskan kemarahannya lebih lanjut.

“Satpam macam apa kau beraninya menyiksa anak kecil,” teriak Mi’un dengan amarah tertahan, turun dari sepeda motor ojek tanpa mematikan mesinnya.

“Dia pencuri,” kilah Satpam Danu.

“Kau punya bukti?”

Satpam Danu terdiam.

Mi’un pulalah yang akhirnya membawa Adib menjauhi kerumunan warga dengan motor ojeknya, pergi meninggalkan Satpam Danu yang masih murka. Juga warga yang masih penasaran...

Beberapa waktu berselang, di gubuk tempat di mana 25 keluarga pemulung mukim, Mak Adib tengah membasuh wajah anaknya dengan air hangat. Ada luka memar di pipi dan keningnya, sementara bibirnya berdarah.

Bang Mi’un pamit setelah memberi anak itu sebagian uang hasil ngojeknya. “Buat beli obat secukupnya,” kata tukang ojek itu sebelum menghilang.

Mak Adib meminta anaknya untuk tidak mulung lagi. Alasannya tetap, anaknya itu masih terlalu kecil untuk mulung. “Tunggulah beberapa tahun lagi sampai kamu besar, Nak!”

Akan tetapi di luar dugaan, Adib dengan bangga menunjukkan plastik-plastik bekas kemasan minuman yang berhasil dipungutnya kepada emaknya.

“Ini, Mak, hari ini cuma segini ini yang bisa Adib pungut,” mata Adib berbinar. “Besok Adib berjanji akan mungut barang bekas lebih banyak lagi!”

Mak Adib menitikkan air mata.

***