Sulit Dipercaya Jika Parpol Kalah oleh Relawan

Minggu, 24 Juli 2016 | 12:28 WIB
0
307
Sulit Dipercaya Jika Parpol Kalah oleh Relawan

Ada dua topik menarik yang menjadi perbincangan publik dan layak disebut trending topic, yakni "deparpolisasi" dan "Teman Ahok".

 Istilah deparpolisasi menggema lagi setelah terpicu aksi mengejutkan Teman Ahok yang berhasil “memaksa” Ahok, panggilan akrab Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, untuk maju ke Pilkada 2017 melalui jalur perseorangan.

Adalah Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah PDP DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi yang menggemakan kembali deparpolisasi. Setelah relawan yang menamakan diri Teman Ahok  berhasil membuka jalan, Prasetio angkat bicara atas nama partainya, PDI-P.

Ia melihat sinyal adanya upaya deparpolisasi dengan indikasi jelas, yakni meniadakan peran partai politik dalam pemilihan kepala daerah, khususnya Pilkada DKI. PDI-P menyatakan akan melawan deparpolisasi karena dianggap membahayakan eksistensi partai politik.

Prasetio juga mengungkapkan, persoalan deparpolisasi telah dibahas dalam pertemuan yang berlangsung di kediaman Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri beberapa saat setelah Ahok menyatakan akan mengikuti desakan Teman Ahok

Masyarakat tidak bisa menafikan peran partai politik, katanya, sebab bangsa ini dibangun oleh partai politik, bukan semata-mata relawan.

Mengapa hanya PDI-P yang bersuara lantang dan keras atas manuver Ahok dengan Teman Ahok-nya itu? Bukankah ada banyak parpol di negeri ini? Mengapa partai politik yang lainnya hanya berdiam diri tanpa reaksi? Benarkah apa yang dilakukan Teman Ahok itu suatu yang berbahaya bagi partai politik?

Tak ada asap kalau tak ada api. Bila melihat hubungan kausalitas, tentu ada preseden dan tidak serta-merta terjadi begitu saja. Ada peristiwa yang mendahuluinya.

Peristiwa apa lagi kalau bukan penjajakan partai juara ini dalam menyediakan kendaraan bagi Ahok untuk maju pada Pilkada 2017, tetapi tidak gratis.

Sebenarnya istilah deparpolisasi telah muncul saat Megawati selaku ketua umum partai berpidato pada pembukaan Kongres IV PDIP di Bali, April 2015 lalu. Pada kesempatan itu, Megawati menyinyalir adanya gerakan deparpolisasi yang ia sebut makin lantang diteriakkan.

Gerakan deparpolisasi ini disebutkan tidak berdiri sendiri, melainkan ada simbiosis kekuatan antarpartai dan kekuatan modal. Ia menyebut, kelompok yang menyuarakan deparpolisasi itu adalah kaum oportunis.

Ciri kaum oportunis ini, menurut Megawati, tidak mau bekerja keras membangun partai, tidak mau mengorganisasi rakyat, kecuali menunggu dan menunggu untuk selanjutnya menyalip di tikungan.

Dalam pidato pembukaan itu juga muncul istilah "penumpang gelap" dengan merujuk pada relawan nonparpol pada Pilpres 2014 yang mendapat tempat atau jabatan di pemerintahan.

Jika kemudian Prasetio menggaungkan kembali istilah deparpolisasi karena dipicu gerakan Teman Ahok yang memaksa Ahok terpisah dari PDI-P, maksud dan makna deparpolisasi menjadi lain.

Kali ini, pengertiannya bergeser menjadi semacam pemberontakan nonparpol (baca: relawan) yang dianggap menihilkan peran dan partai politik itu sendiri.

Boleh jadi, beberapa relawan yang tergabung dalam Teman Ahok kelak bakal menjadi "penumpang gelap" juga sebagaimana yang sudah terjadi pada pemerintahan Jokowi yang kemudian dikritik pedas oleh Megawati itu.

Namun, bukankah urusan Ahok tidak terkait langsung dengan PDI-P kecuali wakil gubernur Ahok saat ini memang orang PDI-P? Benar bahwa pada Pilkada 2012, Joko Widodo diusung PDI-P sebagai calon gubernur. Akan tetapi, bukankah Ahok diusung partai lain, dalam hal ini Gerindra?

Kemudian, bukankah belum ada "deal" apa-apa antara Ahok dan PDI-P kecuali kesediaan PDI-P menyediakan kendaraan politik bagi Ahok untuk maju ke Pilkada DKI Jakarta sebelum dihentikan Teman Ahok? Lalu, kenapa istilah deparpolisasi dimunculkan kembali?

Konteks Megawati saat menangkap sinyal adanya gerakan deparpolisasi itu jelas, yakni adanya "penyusup" atau "penumpang gelap" dalam wujud relawan yang menduduki tempat strategis di pemerintahan yang seharusnya diduduki orang-orang partai. PDI-P tidak mau hal itu terulang kembali dalam Pilkada DKI jika pertarungan itu dimenangkannya.

Namun, ketika Teman Ahok memaksa Ahok maju dari jalur independen dan bukan jalur partai politik yang kebetulan diincar PDI-P, hal ini sama sekali belum ada kaitannya dengan PDI-P.

Ibarat orang pacaran, hubungannya masih sebatas PDKT (pendekatan) dan belum menyatakan apa-apa, belum berikrar apa pun, apalagi sampai pada ijab kabul membentuk ikatan. Lantas, mengapa dikatakan deparpolisasi?

Menjadi terjawab mengapa partai-partai politik lainnya tidak menanggapi deparpolisasi yang digaungkan PDI-P ini. Sebab, parpol-parpol lain belum "ngebet" menyatakan dukungan kepada Ahok.

Ibarat pacaran, PDI-P mungkin terlalu GR "tembakan"-nya bakal mudah diterima. Namun, tatkala ditampik gara-gara manuver Teman Ahok, patah hatilah dia. Itu sekadar perumpamaan, jangan sensi!

Meski sulit, mengelola kegeraman atau "kemarahan" akibat patah hati ini bisa positif juga bagi PDI-P. Setidak-tidaknya, PDI-P harus segera menyiapkan bakal calon gubernur dan pasangannya dari sekarang yang secara elektabilitas mampu mengalahkan Ahok-Heru.

Modal sebagai partai juara tentu tak dapat dianggap enteng. Dengan massa partai yang fanatik dan dengan 28 kursi DPRD dari 106 kursi, PDI-P bisa langsung mengusung kandidat tanpa harus berkoalisi. Sebab, ambang batas minimal untuk bisa mengusung calon hanya 21 kursi. Partai lain terpaksa harus saling berkoalisi.

Pekerjaan rumah terbesar PDI-P adalah memilih kandidat itu. Boleh jadi, wakil Ahok sekarang yang dari PDI-P, Djarot Saiful Hidayat, digadang-gadang bakal menjadi calon selain memaksa Wali Kota Tri Rismaharini angkat koper dari Surabaya untuk bertarung di Jakarta.

Bisa juga, sekalian "mengawinkan" Tri-Djarot. Selain mereka, agak sulit mencari figur lain untuk sekadar mengimbangi popularitas Ahok-Heru.

Sikap terlalu reaktif atas keputusan Ahok dan menistakan relawan juga tidak terlalu baik buat PDI-P karena kelak bakal ada pertaruhan partai politik di dalamnya; massa parpol versus relawan.

Apa jadinya kalau partai juara dengan segala kekuatan kalah oleh manuver relawan yang dianggap "penyusup" atau "penumpang gelap" yang tidak berkontribusi terhadap negara ini?

Waktu yang tersisa masih cukup lama. Konstelasi politik jelang pilkada bisa berubah pada saat-saat menentukan. Bisa jadi, PDI-P tetap mengusung Ahok meski kemudian dukungan dilakukan tanpa syarat, sebagaimana yang dilakukan Nasdem dan, belakangan, Hanura.

Membiarkan dan melepas Ahok-Heru maju ke arena tanpa saingan kuat, apalagi sampai memenangi pertarungan, akan menjadi pukulan telak bagi partai politik, khususnya bagi PDI-P.

Hal itu jauh lebih menyakitkan dari sekadar fenomena "penumpang gelap" yang tidak ikut bertarung pada pilpres dan tidak harus head to head dengan massa partai politik.

Persoalannya, pada Pilkada DKI Jakarta ini, "clash" bakal tak terhindarkan antara massa partai politik dan para relawan Teman Ahok, relawan Jaringan Suka Haji Lulung, atau relawan pendukung calon independen lain dalam memperebutkan kursi gubernur dan wakilnya.

**

Catatan: tulisan saya ini sudah ditayangkan sebelumnya di Kompas.com