FPI di Pusaran Pilkada DKI

Jumat, 22 Juli 2016 | 12:20 WIB
0
538
FPI di Pusaran Pilkada DKI

Ada yang luput dari perhatian media massa atas peristiwa yang terjadi pada hari Kamis, 25 Februari 2016, lalu di sebuah sudut kota Jakarta.

Hari itu, para ulama, habib, dan para tokoh yang tergabung dalam Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah membuka sebuah acara bertajuk "Konvensi Calon Gubernur Muslim".

 Apa tujuan dan semangat dari diadakannya konvensi yang dimulai pada 26 Februari hingga 10 Maret 2016 itu?

Tidak lain, konvensi diadakan guna menghadapi para calon gubernur beserta wakilnya yang akan berlaga dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, khususnya untuk menghadang Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok, yang akan maju kembali pada pilkada tersebut.

Senin, 7 Maret 2016, Ahok menyatakan diri sebagai bakal calon perseorangan bersama bakal wakilnya, Heru Budi Hartono. Heru tidak lain bawahannya sendiri, yang menjabat Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah DKI Jakarta.

Ahok menuruti kemauan relawannya, Teman Ahok, agar dirinya maju di jalur perseorangan. Kepada relawan, Ahok meminta segera mengumpulkan fotokopi KTP dukungan ulang karena lebih dari 700.000 fotokopi KTP dukungan yang sudah terkumpul bisa dianggap tidak sah akibat belum mencantumkan nama pasangannya.

Teman Ahok punya 150 hari ke depan untuk mengumpulkan data KTP dukungan baru, paling tidak sebanyak 1 juta data KTP dukungan. Sebuah upaya yang tidak mudah.

Tulisan ini tidak bermaksud menjelaskan "kenekatan" Ahok maju dari jalur perseorangan tanpa dukungan partai politik, juga tidak mengulas kemungkinan Ahok menang atau kalah atas "kenekatan"-nya itu. Ini bukan pula tentang reaksi PDI-P yang awalnya disebut-sebut berminat mendukung Ahok.

Bukan. Tulisan ini tentang konvensi untuk menjaring bakal calon gubernur DKI Jakarta yang diselenggarakan para tokoh berbasiskan agama itu.

Selama ini, konvensi itu dianggap "milik" partai politik, bukan milik organisasi kemasyarakatan atau organisasi profesi tertentu.

Sebelumnya, tak pernah kita mendengar, sebuah organisasi kemasyarakatan, ormas keagamaan, dan organisasi profesi menggelar konvensi untuk meloloskan bakal calon gubernur, bupati, dan wali kota untuk sebuah pertarungan politik pilkada.

Pada tahun 2004, Partai Golkar melangsungkan konvensi menjaring calon presiden untuk pilpres. Wiranto memenangi konvensi setelah mengalahkan Akbar Tandjung di putaran kedua konvensi.

Pada putaran pertama, selain Wiranto dan Akbar yang lolos, bertarung peserta konvensi lainnya, yaitu Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan Prabowo Subianto.

Yang menarik, sebelum "lima jagoan" Partai Golkar itu bertarung, konvensi juga menjaring calon di luar Partai Golkar yang bukan politisi. Ia bisa profesional, pemuka agama, budayawan, atau ilmuwan.

Tersebutlah Nurcholish Madjid yang sempat tergiur mengikuti konvensi, meski pada akhirnya Cak Nur mundur teratur. Ungkapan populer atas mundurnya Cak Nur adalah "punya visi dan misi tapi tak punya gizi". Gizi di sini tentu saja materi alias uang.

Bahwa kemudian organisasi kemasyarakatan atau ormas keagamaan berinisiatif mengadakan konvensi untuk menjaring calon perseorangan gubernur DKI Jakarta, tentunya ini hal baru.

Mekanisme baru ini positif dan layak mendapat apresiasi, terlepas tujuannya menjegal Ahok dengan semangat "sektarian" yang pekat sebagaimana disebutkan Ketua Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah Habib Rizieq Syihab.

"Konvensi Gubernur Muslim dimaksudkan untuk mengikhtiarkan sepasang calon gubernur dan wakil gubernur Muslim untuk berlaga head to head melawan Ahok," kata Habib Rizieq Syihab yang juga Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) sebagaimana diberitakan Antara.

Seperti banyak tersiar di media massa, FPI yang didirikan pada 17 Agustus 1998 itu kerap berseberangan dengan Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta dalam beberapa aspek, baik menyangkut ide, kebijakan, maupun tindakan. Bahkan, FPI menolak Ahok selaku gubernur dengan "menciptakan" Gubernur DKI Jakarta versi sendiri.

Aroma SARA; suku, agama, ras, dan antargolongan; menjadi isu yang muncul terang-terangan dalam sejumlah kesempatan, termasuk dalam Pilkada DKI 2017 ketika Ahok menyatakan bertarung kembali melalui jalur independen.

Upaya Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah yang dimotori Habib Rizieq Syihab memang diniatkan untuk menghadang Ahok sekaligus "peringatan" bagi pemilih yang punya hak pilih dalam menentukan pilihannya yang sesuai harapan majelis tersebut. Tengoklah 11 syarat calon peserta konvensi ini!

Ke-11 syarat peserta konvensi adalah: laki-laki, beragama Islam, berakal, sehat jasmani dan rohani, alim, visioner, berpihak kepada kaum lemah, memiliki rekam jejak tak pernah mencela dan memusuhi Islam dan umatnya, bersedia menerima program yang ditawarkan Majelis Tinggi atau Dewan Pemilih, serta siap mendukung dan menjadi juru kampanye calon lain yang terpilih.

Sebagai sebuah syarat yang ditentukan penyelenggara, itu sah-sah saja, kendati sejarawan JJ Rizal menganggap hal yang dilakukan Habib Rizieq dengan konvensi yang dibesutnya sebagai "kemunduran besar" perpolitikan Tanah Air.

Menurut Rizal, politik sektarian sudah tidak bisa diterapkan di alam demokrasi dan sudah selesai sejak Republik Indonesia berdiri.

Baiklah, itu pendapat yang bisa diiyakan atau disanggah, sementara tulisan ini tidak ada urusannya dengan hal itu. Ini tulisan tentang konvensi.

Kembali ke konvensi yang dilakukan secara mandiri oleh organisasi kemasyarakatan dan bukan oleh partai politik. Sesungguhnya, ini bukan hal aneh saat organisasi kemasyarakatan berbasis keagamaan seperti FPI "mengambil peran" yang biasa dimainkan partai politik.

Apa yang dilakukan Teman Ahok dengan mengumpulkan data KTP dukungan itu pun merupakan peran yang diambil alih relawan dari yang seharusnya dilakukan partai politik.

Jadi, ketika Imam Besar FPI mengambil peran itu dalam bentuk konvensi menjaring calon independen berbasis keagamaan, ya hal tersebut sah-sah saja dan bahkan harus dijadikan role model untuk menjaring calon perseorangan.

Selama ini, tidak ada mekanisme menjaring calon independen. Mereka yang siap secara fisik, mental, finansial, dan pesohor yang memiliki percaya diri tinggi bisa maju begitu saja sebagai calon kepala daerah independen tanpa melewati saringan apa pun.

Padahal, calon independen untuk Pilkada DKI bisa lahir belasan pasang, jauh lebih besar dari kemungkinan calon dari parpol itu sendiri. Bagaimana menilai kualitas mereka?

Dengan pemilih yang terdaftar dalam DPT sebanyak 7 juta nama dan syarat minimal dukungan KTP "cukup" 525.000 identitas, maka kemungkinan calon independen yang bisa melenggang ke arena pilkada setidak-tidaknya bisa 12 pasang.

Bandingkan hal itu dengan syarat minimal jumlah parpol yang dapat mengusung calon minimal yang harus memiliki 22 kursi DPRD. Paling banyak, calon dari parpol kemungkinan "hanya" empat.

Kecuali PDI-P yang memiliki 28 kursi, sembilan parpol lainnya perlu berkoalisi untuk memperebutkan tiga pasang calon tersisa. Bayangkan, calon perseorangan bisa maju 12 pasang sekaligus!

Dengan dasar inilah mengapa konvensi yang dilakukan FPI dan kelompok masyarakat "seiman" menjadi penting. Tidak bisa dimungkiri, konvensi atas inisiatif kelompok masyarakat itu merupakan sesuatu yang baru. Karenanya, ia bisa disebut sebagai preseden. Atas inisiatif FPI ini, konvensi dapat digunakan sebagai instrumen awal penjaringan bakal calon gubernur dari jalur perseorangan.

Kini, mereka yang datang dari kelompok profesional, seperti pengacara, pengusaha, jurnalis, guru, dan pegiat LSM yang percaya diri untuk maju ke arena pilkada, juga bisa melakukan konvensi yang sama seperti apa yang dilakukan FPI. Caranya? Sederhana....

Siapa misalnya di antara para pengacara yang layak maju ke arena pilkada? Ya, bikinlah konvensi di antara organisasi profesi. Peradi, Ikadin, AAI, KAI, dan lain-lain.

Juga di kalangan organisasi profesi, seperti AJI, IJTI, dan PWI, mereka bisa menggelar konvensi siapa di antara anggota mereka yang layak maju. Demikian seterusnya, dan itulah esensi dari konvensi.

Meski luput dari perhatian dan pemberitaan luas media massa, suka atau tidak, konvensi yang dimotori FPI ini tetap bisa dijadikan role model atau contoh yang baik untuk menjaring calon independen, apalagi kalau konvensi diniatkan khusus untuk memajukan Jakarta dan seisinya.

**

Catatan: tulisan saya ini sudah ditayangkan sebelumnya di Kompas.com